sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cuan budidaya maggot skala rumahan

Budidaya maggot tidak hanya mengatasi masalah sampah namun juga mendatangkan cuan.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Selasa, 19 Okt 2021 10:07 WIB
Cuan budidaya maggot skala rumahan

Fathimah Himmatina menjadi salah seorang yang terkena dampak pandemi Covid-19. Penghasilannya kian melandai sementara waktunya banyak dihabiskan di rumah saja. Tidak ingin tinggal diam, ia dan sang suami pun berpikir untuk menambah penghasilan dari pundi-pundi lain meski di rumah saja.

Pasangan yang berprofesi sebagai guru ini lantas berkenalan dengan Black Soldier Fly (BSF). Tentara lalat hitam yang bukan sembarang lalat. Serangga ini menghasilkan larva atau belatung yang memiliki banyak manfaat salah satunya pakan ternak.

Fathimah kemudian terpikir untuk memulai budidaya BSF. Awalnya, ia mencoba berbagai cara demi mendapatkan formula terbaik dalam budidaya BSF. Seperti pembudidaya awam lainnya, tak jarang Fathimah menemui kegagalan dalam usahanya itu. Beberapa kali maggot yang dibudidayakannya itu mati, berkali-kali juga lalat dewasa kabur keluar dari kotak penangkaran.

“Dari situ kami terus mencoba untuk membuat alat budidayanya. Sampai beberapa kali mencoba akhirnya ketemu yang tepat dan itu kita uji cobakan ke peternak lele. Alhamdulillah berhasil,” kata dia bangga, kepada Alinea.id, Senin (18/10).

Alat tersebut kemudian dinamai Magobox. Kotak budidaya maggot portabel, low maintenance dan murah. Tidak hanya bisa digunakan untuk memproduksi pakan ternak sendiri dan juga pupuk organik, alat ini juga dapat dimanfaatkan untuk urban farming, alat peraga di sekolah, maupun mendukung program pemerintah untuk pengelolaan sampah organik. 

Impactnya bisa mengurangi sampah organik langsung dari sumbernya, menambah pendapatan peternak dan meningkatkan ketahanan pangan, serta membantu terwujudnya berapa program SDG’s,” urai Fathimah sebagai Founder Almagot Indonesia ini. 

Sponsored

Untuk pasar Magobox, suami Fathimah, Ilham Fauzi mengaku, pihaknya menyasar pembudidaya maggot dari seluruh Indonesia. Selain itu, dirinya juga membidik orang-orang atau para pegiat lingkungan. 

Di lapak e-comerce, untuk satu buah Magobox ukuran XL yang mampu menampung maggot hingga 3 kilogram, dibanderol dengan harga sekitar Rp385.000. Sedangkan Magobox mini dengan kapasitas penampungan 1 kg maggot dipatok dengan harga Rp299.000 dan kandang BSF portabel seharga Rp260.000 per unit. 

“Dari beroperasi sejak Agustus 2020 sampai sekarang, kita sudah rekrut beberapa tetangga untuk bantuin, itu mereka-mereka yang juga kena dampak pandemi,” lanjutnya.

Selain skala UMKM, ada pula perusahaan pengolah sampah organik yang sudah cukup lama berkecimpung dalam dunia konversi sampah dengan teknologi BSF yakni PT Biomagg Sinergi Internasional. Chief Excecutive Officer (CEO) PT Biomagg Sinergi Internasional Aminudi mengatakan, tak seperti lalat rumahan, BSF memiliki lebih banyak keunggulan dalam menguraikan sampah. 

Pertama, lalat tentara hitam adalah serangga yang paling cepat dalam menguraikan sampah organik. Dalam waktu 24 jam, lalat ini mampu mengolah sampah menjadi kompos dengan jumlah 10% dari bobot sampah yang ada. Kedua, BSF juga bisa mengurai kadar bau pada sampah. Ketiga, lalat tentara hitam juga memiliki asam amino dan protein yang tinggi. 

Dengan berbagai kelebihan tersebut, tak heran jika biokonversi sampah menggunakan BSF dapat meningkatkan skala ekonomi dari sampah yang biasanya berakhir di TPA itu. “Kami sadar betul, sampah yang tertimbun di TPA berasal dari rumah tangga. Oleh karena itu, kita menghadirkan solusi agar masyarakat bisa mengolah sampah di rumahnya masing-masing,” jelas Aminudi saat dihubungi Alinea.id, Senin (18/10).

Dia bilang, salah satu caranya adalah dengan menggunakan Magobox. Inovasi Almagot Indonesia ini berupa kotak tempat budidaya maggot, berbentuk kotak ceper seukuran dua ubin yang memiliki rongga udara dan botol kecil di sampingnya. Ukuran minimalis inilah yang cocok dipakai untuk budidaya skala rumahan dan bisa dipindah-geser. Dengan menggunakan Magobox, setiap orang dapat mengolah sampah organik sekitar 5 kg setiap hari. 

Almagot Indonesia dan Biomagg Sinergi International pada akhirnya berkolaborasi untuk mengembangkan dan memasarkan magobox. Sementara itu, saat ini Biomagg mampu mengolah sampah sekitar 2 ton setiap hari. Anak perusahaan dari AWINA Group ini menargetkan dapat mengelola sampah organik hingga 10 ton. Pengelolaan sampah itu, lanjut Aminudi, dilakukan di beberapa kota, seperti di Bekasi, Bogor, Depok, dan Jakarta. 

“Untuk saat ini kita sudah jual produk prepupa, pupuk cair, pupuk padat, sama maggfeed itu suplemen untuk ikan,” ujar pemimpin perusahaan yang sudah berdiri sejak empat tahun lalu ini.

Selain di dalam negeri, pasar maggot maupun kotak budidaya maggot juga masih terbuka lebar di luar negeri. Bahkan, menurut Aminudi porsi pasar global dari produk budidaya BSF jauh lebih tinggi. Hal itu karena di luar negeri, penerimaan lalat tentara hitam sebagai asupan protein sudah jauh lebih dulu berkembang dibandingkan di Tanah Air.

Selain sebagai pakan ternak dan ikan, di luar negeri produk BSF dimanfaatkan pula sebagai bahan baku kosmetik, seperti yang saat ini sudah banyak ditemukan di Korea Selatan. “Di negara tropis seperti kita, budidaya BSF jauh lebih mudah dilakukan, karena kalau di luar (negeri-red), mereka masih terkendala cuaca,” jelasnya.

Karena tingginya minat pasar, baik di dalam maupun luar negeri tersebut, tak heran jika perusahaan ini mampu meraup omzet sekitar puluhan hingga ratusan juta. Dengan mayoritas pembeli Biomagg masih dominan di Pulau Jawa dan terkonsentrasi di Jabodetabek. 

Seperti diketahui, sampah masih menjadi salah satu momok utama di Indonesia, utamanya di kota-kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, Manado, Padang, Semarang, Surabaya dan kota metropolitan lain. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, gunungan sampah pun kian tinggi tiap tahunnya. Tak sebanding dengan kapasitas penampungan dan pengelolaan sampah.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, pada 2020 Indonesia menghasilkan 67,8 ton sampah atau setara 185,8 ribu ton per hari, dengan jumlah sampah yang dihasilkan oleh setiap orang per hari adalah sekitar 0,7 kg. Berdasarkan kategori kota, jumlah timbulan sampah rata-rata harian di kota metropolitan (jumlah penduduk >1 juta jiwa) dan kota besar (jumlah penduduk 500 ribu-1 juta jiwa) masing-masing 1.300 ton dan 480 ton. 

 Dari seluruh sampah, Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar mengatakan, ada 55,87% sampah yang berhasil dikelola sepanjang tahun lalu. Sisanya sebanyak 44,13% sampah masih tersisa karena belum dikelola. 

Adapun pengelolaan sampah dilakukan dengan dua cara, yakni dengan melakukan pembatasan sampah plastik dan mendaur ulang sampah anorganik. “Dengan langkah itu pemerintah menargetkan pengurangan sampah hingga 30% dan penanganan sampah 70% pada 2025,” ujarnya, kepada Alinea.id, Jumat (15/10).

Memberi nilai tambah

Pengelolaan sampah, lanjut Novrizal, tak hanya efektif mengurangi tumpukan sampah yang biasanya berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) namun bisa juga memberikan nilai tambah ekonomi untuk masyarakat. Salah satunya, dengan pengelolaan sampah organik dengan menggunakan maggot atau larva BSF.

Maggot kaya akan protein, jadi bisa digunakan sebagai alternatif pakan ternak,” imbuh dia.

Selain itu, maggot juga bisa menghasilkan produk pupuk cair dan pupuk padat yang bersifat organik. Dengan pupuk organik tersebut, dirinya berharap sektor pertanian organik pun dapat semakin berkembang, seiring dengan maraknya budidaya maggot sebagai salah satu teknologi pengelolaan sampah.

Terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati menjelaskan, pengelolaan sampah dengan maggot menggunakan sampah sisa sayuran, buah-buahan dan sampah sisa makanan lainnya.

Produk yang dihasilkan berupa larva atau belatung dari spesies lalat tentara hitam. Lalu, jika dilihat dari nilai ekonominya, 1 ton sampah organik dapat menghasilkan 200 kg larva.

“Kalau dijual harganya bisa sampai Rp500.000. Dari pada dibuang ke TPA, bau dan menimbulkan polusi, lebih baik kita kembangkan teknologi ini,” urai Rosa, kepada Alinea.id, Sabtu (16/10).

Selain memiliki nilai ekonomi, pengelolaan sampah menggunakan maggot memiliki daya reduksi lebih besar ketimbang dengan pengelolaan sampah menggunakan cara komposting. Kebutuhan lahan pun lebih kecil, yakni hanya seperempat lahan komposting dan waktu setengah kali lebih cepat. 

Sementara itu, Guru Besar Riset Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Agus Pakpahan menjelaskan, dibandingkan pengelolaan sampah menggunakan teknologi komposing, pengelolaan dengan biokonversi BSF memiliki keunggulan lebih banyak.

Beberapa di antaranya adalah proses ini lebih cepat, lantaran dalam waktu 24 jam, proses dekomposisi sudah dapat terjadi. Di saat yang sama, proses pengelolaan sampah menggunakan maggot dinilai jauh lebih fleksibel karena dapat dibuat dengan sistem modular.

Maggot, ujar Agus, juga cukup mudah dikembangbiakkan, lantaran tidak memerlukan perlakuan khusus. Siklus hidup BSF juga relatif singkat, hanya sekitar 40 hari. Fase metamorfosis terdiri atas fase telur selama 3 hari, maggot 18 hari, prepupa 14 hari, pupa 3 hari, dan lalat dewasa 3 hari.

Lalat dengan nama Hermetia illucens itu mati setelah kawin di mana  betina bisa menghasilkan 300-1.000 telur. Lalat jenis ini menyembunyikan telur di tempat aman, seperti di sela-sela kardus atau tumbuhan segar dan hidup. Meski bisa bertelur sangat banyak, namun ledakan populasi sulit terjadi karena predator BSF sangat banyak. 

“Kandungan protein Hermetia illucens membuat burung, kadal, cecak, laba-laba, dan tupai gemar menyantap,” kata dia, kepada Alinea.id, belum lama ini.

Sementara itu, menurut ahli biokonversi sampah itu, kemampuan BSF dalam mengurai sampah tidak perlu diragukan lagi. Setiap ekor lalat tentara hitam rata-rata menghasilkan 500 maggot dalam satu siklus hidupnya. Apabila ada 20 ekor, nantinya akan ada 10.000 maggot.

Dalam satu hari, 10.000 maggot mampu mengurai 1 kg sampah rumah tangga (sisa makanan) dalam 24 jam dan menyisakan 200 gram sampah terurai yang biasa disebut bekas maggot (kasgot). Kasgot dapat langsung dimanfaatkan sebagai pupuk organik. 

Sedangkan maggot yang baru saja menyelesaikan tugas mengurai sampah, dalam tiga hari akan bermetamorfosis menjadi prepupa (fase puasa). Prepupa memiliki kandungan protein hingga 45%, lemak 35%. Dengan kandungan protein tinggi, prepupa dapat dimanfaatkan sebagai pakan unggas dan ikan.

“Dengan produk turunan berupa pupuk cair, pupuk padat dan protein, pengelolaan biokonversi BSF ini efektif menurunkan harga pokok produksi peternakan dan pertanian,” imbuhnya.

Selain itu, BSF juga telah dikenal luas tahan terhadap berbagai bakteri penyebab penyakit dan di saat yang sama, serangga tersebut juga tidak menyebarkan penyakit. Oleh karenanya, menurut berbagai penelitian, olahan maggot juga bisa digunakan sebagai obat stroke dan lainnya. 

Lebih lanjut, Agus mencontohkan, potensi ekonomi sirkular menggunakan biokonversi BSF dari 5.000 kg sampah per hari atau sekitar 1.825 ton per tahun dan dengan nilai investasi awal sekitar Rp3,5 miliar setidaknya dapat menghasilkan pendapatan hingga Rp5,67 miliar per tahun. Artinya, dari investasi tersebut akan menghasilkan tingkat pengembalian investasi hingga 161,7%. 

“Investasi bisa jauh lebih murah kalau bisa menggandeng industri-industri rumahan atau UMKM untuk mengelola biokonversi ini,” ucap dia.

Semakin masif

Sebelumnya, Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar mengungkapkan, biokonversi sampah menggunakan maggot sudah berlangsung sejak lama, namun kian masif tiga tahun terakhir. Hal itu terlihat dari makin banyaknya budidaya lalat tentara hitam skala rumahan yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. 

“Itu karena budidayanya yang cukup mudah dilakukan dan bisa menghasilkan nilai ekonomi cukup besar,” jelasnya, kepada Alinea.id, Jumat (15/10).

Sementara itu,  Kepala Badan Karantina Pertanian (Barantan) Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang mengatakan, saat ini maggot sedang menjadi tren di negara-negara seperti seperti Tiongkok, Amerika, Brazil, India, dan Eropa. Dengan kondisi tersebut, Indonesia berpotensi untuk mengekspor komoditas hasil pertanian tersebut. 

Adapun produk maggot yang berpotensi diekspor antara lain berupa larva segar, larva kering, tepung larva dan minyak larva. Meski memiliki potensi ekspor tinggi, di saat yang sama ada tantangan besar yang harus dipenuhi oleh produsen maggot nasional. Hal itu utamanya persyaratan yang diminta negara tujuan ekspor, maupun yang dipersyaratkan Kementerian/Lembaga terlibat dalam Negeri sesuai peraturan perundangan tentang Keamanan dan Mutu Pakan. 

"Pemerintah yang terlibat dalam rantai pakan dan eksportir maggot harus bahu membahu mewujudkan produk ekspor yang berdaya saing dan memiliki keberterimaan tinggi di negara tujuan ekspor," ujar Bambang, Senin (11/10) lalu.

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid