sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dana bansos besar, tapi serapan produksi bahan pangan rendah

Besaran bansos tersebut tidak berbanding lurus dengan serapan produksi bahan pangan lokal di daerah.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Kamis, 08 Okt 2020 17:32 WIB
Dana bansos besar, tapi serapan produksi bahan pangan rendah

Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan, Khudori menilai adanya diskoneksi antara program bantuan sosial yang digalakkan pemerintah dengan tingkat produksi bahan pangan di daerah.

Dia menghitung, dana yang digelontorkan untuk sektor ini cukup besar. Yakni, untuk Program Keluarga Harapan (PKH) senilai Rp 8,3 triliun bagi 10 juta keluarga, program sembako Rp15,5 triliun untuk 20 juta keluarga, dan bansos tunai Rp16,2 triliun untuk 9 juta penerima manfaat. Besaran bansos tersebut tidak berbanding lurus dengan serapan produksi bahan pangan lokal di daerah. Bahkan dalam empat bulan terakhir, harga subsektor pertanian hortikultura anjlok di pasaran, begitupun dengan harga ayam peternak.

"Sekarang terlihat ada diskoneksi antara berbagai bantuan yang hampir semua terkait kebutuhan pokok, tapi tidak terkoneksi dengan produksi hulu," katanya dalam webinar, Kamis (8/10).

Rendahnya serapan sejumlah bahan kebutuhan pokok tersebut, dapat dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang merilis angka deflasi tiga bulan berturut-turut. September 2020 terjadi deflasi sebesar 0,05%, setelah sebelumnya di Agustus juga mengalami deflasi 0,05%, dan Juli 2020 yang sebesar 0,10% secara bulanan (mtm).

Tingkat deflasi berturut-turut tersebut, lanjut Khudori, menunjukkan gejala yang tidak baik. Selain itu juga mencerminkan adanya depresiasi di tingkat petani dan peternak.

"Ini sinyal enggak bagus. Deflasi berturut-turut menunjukan sinyal buruk bagi pertanian. Harga anjlok seperti tomat, cabai, bahkan di beberapa daerah dibuang," ujarnya.

Untuk itu, dia mengatakan perlunya membangun sebuah kebijakan atau sistem yang saling terkoneksi antara bansos pemerintah dengan penyerapan produksi pangan lokal. Salah satunya bisa dilakukan dengan penyaluran bansos yang sesuai dengan produksi bahan pangan di daerah masing-masing. 

Dia mencontohkan, memberikan bansos berupa sorgum untuk daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang lebih banyak mengonsumsi bahan pokok tersebut dibandingkan beras.

Sponsored

"Inisiatif pemerintah daerah dan lembaga bagus. Misalnya minta ASN (aparatur sipil negara) di provinsi membeli pangan di daerah, tapi ini sporadis. Inisiatif yang tidak tersistem antara bansos yang masif dengan produksi di hulu," ucapnya.

Selain itu, langkah yang dapat ditempuh pemerintah agar terdapat konektivitas sistem kebijakan adalah dengan memanfaatkan program e-warong yang digagas Kemensos untuk menjual bahan pangan lokal.

"Ini momen pemerintah untuk menggerakan pangan lokal. Tinggal mereka membuat sistem," tuturnya.

Menurutnya, dengan diserapnya setiap hasil produksi pangan lokal oleh masyarakat, maka rantai pasokan makanan juga akan semakin pendek, dan menciptakan efisiensi serta turut melestarikan lingkungan.

"Kita tidak pernah berpikir makanan di meja kita itu menempuh jarak berapa puluh kilometer. Semakin jauh makanan itu menempuh perjalanan, semakin tidak efisien dan semakin tidak ramah lingkungan. Kalau bahan pangan itu dipasok lokal, itu bisa membalikkan (serapan produksi petani)," ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid