sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

DDTC: Ada lima kebocoran pajak di Indonesia

Pengamat pajak dari Danny Darusslam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan ada potensi pajak yang belum tersentuh.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Kamis, 04 Apr 2019 21:37 WIB
DDTC: Ada lima kebocoran pajak di Indonesia

Rasio pajak atau tax ratio Indonesia baru mencapai 10%-11%. Padahal sebenarnya tax ratio di Indonesia bisa menyentuh hingga 15% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). 

Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam mengatakan ada potensi pajak yang belum tersentuh atau artinya, terjadi kebocoran pajak. Setidaknya, kata dia, ada lima titik kebocoran pajak.

“Indonesia sebenarnya bisa menyentuh tax ratio 15% terhadap PDB,” kata Darussalam dalam diskusi Urgensi Reformasi Pajak di Jakarta, Kamis (4/4).

Lima titik kebocoran pajak, kata Darussalam, pertama shadow economy atau sektor informal yang tidak bisa terekam datanya untuk dikenakan pajak. Salah satu yang termasuk dalam sektor shadow economy tersebut adalah ekonomi digital. 

Oleh karena itu, Darussalam menyayangkan langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mencabut peraturan pajak bagi bisnis daring (e-commerce), yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 210/2018 pada 29 Maret 2019. 

"Digital economy susah dipajaki," ujarnya. 

Kebocoran pajak yang kedua, kata Darussalam pada level globalisasi. Menurutnya, ada tiga dampak yang disumbang dari level globalisasi ini. Di antaranya kompetisi pajak antar suatu negara atau perang tarif.

Saat ini, negara di dunia berlomba-lomba untuk menurunkan tarif pajak. Di Amerika Serikat, misalnya, PPh Badan turun dari 35% menjadi 21%. Pemerintah Indonesia pun saat ini tengah berencana menurunkan PPh Badan atau korporasi. 

Sponsored

Hanya saja, kata Darussalam, untuk mengimplementasikan penurunan PPh Badan mesti dahulu memperkuat basis pajak. Pasalnya, apabila tidak diikuti dengan perluasan basis pajak, penerimaan pajak akan turun.

"Basis pajak itu subjek pajak ditambah dan objek pajak perlu diperluas. Kalau tidak diperluas, subjek pajak itu-itu saja. Itu kenapa target pajak naik, tapi Wajib Pajak hanya itu-itu saja yang dikejar. Penurunan tarif pajak diperbolehkan sepanjang diikuti dengan perluasan basis pajak," ujarnya. 

Kebocoran pajak yang ketiga, yakni adanya offshore tax evasion atau penggelapan pajak ke luar negeri. Keempat, adanya kebocoran yang berasal dari base erosion and profit shifting atau pengalihan keuntungan ke negara-negara yang memiliki pajak rendah. 

Terakhir, kata Darussalam, kebocoran juga terjadi dalam hal pelaporan pajak yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Hal ini seharusnya bisa diperbaiki dengan menegakkan hukum seadil-adilnya. 

Darusalam meyakini, bila kelima titik kebocoran itu bisa ditutup dengan berbagai kebijakan yang efektif, maka tax ratio Indonesia bisa menyentuh 15%.

"Bahkan, tax ratio ini bisa melebihi standar minimum dari IMF yang berada dikisaran 12,75% sampai 15% terhadap PDB," ujar Darrusalam. 

Di sisi lain, Ekonom UI Fithra Faisal mengatakan, upaya lain yang bisa ditempuh untuk menaikkan tax ratio, yakni dengan memberikan fleksibilitas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menarik pajak. 

Menurut dia, rasio petugas pajak dengan tenaga kerja di Indonesia saat ini jauh dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya.

Di Indonesia, rasio petugas pajak dengan tenaga pekerja 1:3.700. Sementara, China dan India rasionya sudah 1:1.000 dan Vietnam 1:2.000. 

"Indonesia tidak fleksibel. Memang DJP harus dipisah dari Kementerian Keuangan. Harus fleksibel dalam mengelola anggaran dan planning ini bekerja dengan Kementerian Keuangan," ujar Fithra. 

 

 

Berita Lainnya
×
tekid