sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pakta Glasgow dan dilema Indonesia mengurangi dominasi batu bara

Indonesia masih mengalami ketergantungan pada komoditas batu bara, baik untuk pembangkit maupun untuk ekspor.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Rabu, 17 Nov 2021 15:12 WIB
Pakta Glasgow dan dilema Indonesia mengurangi dominasi batu bara

Awal November lalu, Indonesia menjadi salah satu dari 23 negara yang meneken perjanjian untuk mengurangi konsumsi batu bara. Hasil KTT Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia ini mengikat negara peserta untuk mengakhiri konsumsi batu bara untuk produksi listrik pada dekade 2030-an dan menghentikan investasi batu bara di dalam dan luar negeri.

Nyatanya, konsumsi listrik di tanah air terus meningkat. Padahal, listrik dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara karena lebih murah.

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengungkapkan, beban puncak malam tertinggi terjadi pada 14 Oktober lalu pukul 19.00 WIB yang mencapai 28.093 MW (Megawatt). Sedangkan beban puncak siang hari sepanjang 2021 tertinggi pada Rabu 13 Oktober 2021 mencapai 27.740 MW. 

Dari capaian tersebut, pangsa tertinggi konsumsi listrik berasal dari penggunaan rumah tangga yang mencapai 46% dari total konsumsi dengan konsumsi listrik sebesar 85,43 TWh. Kemudian disusul oleh konsumsi listrik sektor industri, dengan pangsa sebesar 30,91% dari total konsumsi listrik dan pertumbuhan konsumsi mencapai 58,04 TWh.

"Aktivitas industri dan perekonomian sudah kembali pulih," kata Zulkifli, Minggu (17/10) lalu.

Kenaikan konsumsi listrik tersebut lantas membuat Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa ketar-ketir. Sebab, mayoritas energi yang digunakan untuk pembangkit yang mengaliri listrik rumah-rumah warga masih berasal dari batu bara. 

Tak heran, jika sampai hari ini dominasi batu bara di Indonesia masih sangat terasa, utamanya di sektor ketenagalistrikan. Berdasarkan data Bank Dunia dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang diolah IESR, pada 2020 sekitar 64% bauran pembangkit listrik berasal dari batu bara.

Sementara itu, menurut Fabby, selain karena daya beli masyarakat yang sudah berangsur membaik, naiknya konsumsi listrik beberapa bulan ini diakibatkan pula oleh subsidi yang masih terus digulirkan pemerintah. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara dan gas untuk PLN sejak 2018 lalu membuat harga masih stagnan di level US$70 per metrik ton.

Sponsored

Ilustrasi. Pixabay.com.

Alhasil, harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) menjadi murah dan tidak mencerminkan biaya sebenarnya. Padahal, harga batu bara acuan (HBA) November 2021 tercatat mencapai angka US$215,01 per ton.

"Jelas saja PLN lebih memilih untuk menyediakan listrik dari PLTU atau PLTG, karena jauh lebih murah dari energi baru dan terbarukan (EBT)," katanya, kepada Alinea.id, Sabtu (13/11).

Andalan ekspor

Selain harga listrik yang murah, ketergantungan terhadap batu bara juga bisa dilihat dari kinerja ekspor si emas hitam ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada semester-I 2021, ekspor batu bara tumbuh 35,7% secara tahunan (year on year/yoy). Dengan kontribusi terhadap total ekspor nasional hingga 13,08% atau setara US$12,70 miliar. 

Secara kumulatif pada periode Januari sampai dengan Juni 2021, volume ekspor tumbuh sebesar 2,4% yoy dengan total volume ekspor sebanyak 213,3 juta ton. Di saat yang sama, nilai ekspor batu bara hingga semester-I 2021 ialah mencapai US$12,70 miliar. 

Dengan besarnya volume dan nilai ekspor itu, tak heran jika kemudian daerah-daerah penghasil batu bara menggantungkan pendapatan asli daerah (PAD) mereka kepada hasil tambang tersebut. Sebab semakin tinggi harga dan permintaan ekspor batu bara dari berbagai belahan dunia, devisa yang dihasilkan oleh batu bara pun kian meningkat.

Meski terus berfluktuasi, selama setahun terakhir harga batu bara masih terpantau menguat 100% lebih dari posisi akhir tahun lalu yang hanya US$81,75 per ton. Di mana rekor harga tertinggi dicapai pada 5 Oktober, yakni sebesar US$295/ton.

Sementara itu, dari dalam negeri Harga Batu bara Acuan (HBA) yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM juga selalu menanjak sejak bulan Maret tahun ini. Kala itu HBA tercatat di angka US$84,47 dan terakhir, November ini harganya mencapai US$215 per ton. Artinya, dalam kurun waktu kurang dari setahun HBA telah menguat hingga 91,34%. Adapun pada bulan sebelumnya, HBA batu bara tercatat senilai US$161,63 per ton.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan, musim dingin yang panjang dan krisis energi di beberapa negara memperpanjang laju kenaikan harga batu bara internasional. Pun dengan faktor komoditas lain, seperti kenaikan harga gas alam.

"Ini merupakan level HBA tertinggi dalam puluhan tahun terakhir. Permintaan dari China terus meningkat menyusul mulainya musim dingin sama kondisi cuaca buruk," katanya, kepada Alinea.id, Senin (15/11).

Sementara itu, salah satu daerah yang mengandalkan PAD-nya dari batu bara ialah Kalimantan Timur (Kaltim) yang menjadi salah satu produsen batu bara terbesar di dalam negeri. Sekitar 62% pasokan batu bara nasional berasal dari Kaltim.

Banyaknya cadangan batu bara di sana, membuat Kaltim menjadikan hasil tambang itu sebagai ujung tombak perekonomian mereka selama dua dekade terakhir. Hal ini dapat dilihat dari sebaran kegiatan pertambangan yang hampir merata di setiap kabupaten/kota. Ada yang dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B).

Dari hasil tambang batu bara saja, perdagangan luar negeri Kaltim dapat mengalami surplus hingga US$10 miliar, di sepanjang 2020. Sedangkan pendapatan sektor tambang sendiri sebesar Rp11,6 triliun pada semester-I 2021. Bahkan, dengan cadangan batu bara sebesar 4,6 metrik ton, produksi batu bara Kaltim masih dapat terus berlangsung hingga 2030 nanti atau lebih lama dari tahun tersebut. Di mana produksi maksimal bisa mencapai 230 ton per tahun. 

Ilustrasi pertambangan batu bara. Foto Reuters.

Dari produksi tersebut sekitar 180 juta ton berasal dari perusahaan tambang skala nasional. Sisanya merupakan perusahaan tambang lokal dan skala yang lebih kecil lagi. "Kalau dikalkulasikan dengan harga batu bara sekarang, nilai (cadangan batu bara) tersebut masih menjadi pendapatan domestik bruto andalan (Kaltim)," ungkap Wakil Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Kaltim Seno Aji, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (14/11).

Dia yakin, meski dapat digantikan dengan sumber energi lainnya, batu bara sebagai sumber energi utama pembangkit listrik, baik di Indonesia dan dunia masih akan tetap eksis sampai beberapa tahun ke depan. Hal itu tercermin dari produksi listrik nasional dari PLTU yang terus meningkat 10% per tahun. 

"Dengan tren tersebut, produksi batu bara diprediksi dapat menjadi sumber energi listrik utama," imbuhnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia yakin, batu bara setidaknya masih akan terus digunakan di Indonesia hingga 2050 atau 2060 nanti. Saat pemerintah benar-benar telah memensiunkan PLTU sebagai pembangkit listrik nasional dan menggantinya dengan pembangkit dari energi terbarukan. 

Namun, berkaca dari negara-negara yang telah mendeklarasikan diri sebagai negara hijau dan saat ini mengalami krisis energi seperti Inggris dan Cina, pada akhirnya batu bara akan tetap menjadi pilihan terbaik. Sebab, selain mudah didapatkan, harga batu bara jauh lebih murah daripada sumber energi lainnya. Tak heran, jika sampai saat ini ekspor batu bara Indonesia ke negara-negara, seperti Cina, India, Korea Selatan, hingga Amerika Serikat masih tinggi.

Berdasarkan data BP Global Company, ekspor batu bara Indonesia paling besar ke Tiongkok, yakni 2,34 eksajoule. India menempati posisi kedua dengan ekspor dari tanah air mencapai 2,04 eksajoule. Kemudian, ekspor batu bara dari Indonesia ke Jepang dan Korea Selatan masing-masing sebesar 0,69 eksajoule dan 0,64 eksajoule. Lalu, ekspor ke negara-negara Asia Pasifik lainnya mencapai 2,78 eksajoule, Eropa 0,01 eksajoule, Amerika Serikat 0,01 eksajoule, dan Timur Tengah 0,01 eksajoule.

"Bahkan, Amerika Serikat yang menyatakan diri sudah banyak menggunakan EBT sebagai sumber energi pembangkit, mereka itu juga masih ekspor ke kita. Dan itu nilainya lumayan banyak," jelas Hendra, kepada Alinea.id, Senin (15/11).

Di sisi lain, saat memutuskan menggunakan EBT, negara pun akan memperhatikan aspek keekonomian dari langkah tersebut. Bahkan bagi perusahaan-perusahaan batu bara, diversifikasi batu bara sangat sulit untuk ditempuh. Pasalnya, lagi-lagi langkah itu membutuhkan ongkos ekonomi yang tak sedikit.

Karenanya, alih-alih diversifikasi dan beralih kepada core bisnis lain, seperti memproduksi EBT, banyak perusahaan batu bara yang memilih untuk tetap memproduksi dan mengekspor batu bara. Sembari menunggu regulasi produksi dan ekspor batu bara, serta biaya produksi EBT tak lagi terlampau mahal. 

"Daripada rugi, kita akan lihat dulu dan masih produksi dulu. Toh sekarang harga batu bara lagi bagus. Sejalan dengan berkembangnya waktu, perusahaan akan melihat opsi mana yang paling tepat," kata dia. 

Meski begitu, Hendra menegaskan, pihaknya akan mematuhi keputusan pemerintah yang berencana memensiunkan PLTU batu bara mulai 2030 nanti. Begitu juga dengan diversifikasi, menurutnya lambat laun juga akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan batu bara. Sebab, dia sadar sepenuhnya bahwa seiring dengan bertambahnya negara yang menggunakan energi bersih sebagai pembangkit listrik, permintaan terhadap batu bara pun akan semakin menipis. 

Ilustrasi pertambangan batu bara. Pixabay.com.

"Makanya kita juga belum bisa tambah pasar (ekspor) baru. Karena sekarang negara-negara sudah mengurangi konsumsi batubara mereka," keluhnya.

PLTU pensiun dini

Namun, terlepas dari PAD berbagai daerah penghasil batubara, diversifikasi batu bara adalah sebuah keniscayaan. Hal tersebut dilakukan seiring dengan komitmen Indonesia untuk mencapai nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060. 

"Pakta Iklim Glasgow mendesak pengurangan emisi yang lebih ambisius, dan menjanjikan lebih banyak uang untuk negara-negara berkembang untuk membantu mereka beradaptasi dengan dampak iklim," ujar Direktur Jenderal PPI KLHK selaku Ketua Delegasi Indonesia pada COP 26 Laksmi Dhewanthi, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Senin (15/11).

Dengan adanya komitmen itu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, bahwa pihaknya siap menanggung biaya penghentian lebih awal atau early retirement PLTU batubara. Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah akan menggunakan APBN dan bantuan dana internasional.

Dari dana tersebut, pemerintah akan mendesain skema pembiayaan yang dapat menampung pendanaan internasional. Namun, pemerintah pun akan mencermati bentuk bantuan internasional yang masuk ke Indonesia dalam rangka pengurangan emisi karbon.

"Menyediakan blended finance, harganya berapa? Mau menyediakan aliran modal masuk ke Indonesia, berapa yang diminta? Mau ikut membangun pembangkit listrik tenaga EBT, berapa kesediaan dananya? Ini yang harus kita orkestrasikan," kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Kamis (21/10) lalu.

Menurutnya, langkah pensiun dini PLTU harus didesain serapi mungkin dan dihitung dengan benar. Sebab, bagaimanapun PLTU yang kebanyakan disediakan oleh swasta memiliki kontrak dengan PLN yang tetap harus dihormati. Apalagi, tidak sedikit kontrak PLTU yang masih berjalan sampai bertahun-tahun ke depan.

"Kalau kita sudah tahu kompensasinya berapa, maka kita bisa hitung kompensasi tersebut bisa tidak kemudian kita pakai untuk membangun EBT. Kita bisa tawarkan kepada pemilik kontrak untuk membangun EBT bersama-sama dengan pemerintah,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (13/11). 

Sementara itu, Kepala Bank Indonesia Perwakilan Kaltim Tutuk SH Cahyono menyampaikan, ketergantungan ekonomi Kaltim terhadap batu bara sebenarnya dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, ekonomi Kaltim tumbuh relatif rendah, tidak stabil, dan tidak berkesinambungan. Bergantung dinamika harga batu bara internasional dan cadangan batu bara.

Kedua, di satu sisi, permintaan batu bara dunia semakin berkurang sejalan dengan upaya pengurangan emisi karbon untuk menahan laju global warming. Permintaan Amerika Utara dan Eropa diprakirakan akan semakin berkurang hingga 2040. Hal yang sama pun pada permintaan Asia Pasifik diperkirakan stagnan hingga 2035. 

Ilustrasi pemanasan global. Unsplash.com.

“Ketiga, dampak penyerapan tenaga kerja sektor pertambangan relatif rendah dan cenderung padat modal. Keempat, daerah utama penghasil batu bara menciptakan ekonomi yang kurang inklusif dengan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi,” ungkap Tutuk, beberapa waktu lalu.

Jika banyak negara, termasuk Indonesia beranjak pada energi bersih, mau tak mau Kaltim harus mencari pendapatan lain di luar sektor pertambangan. Bahkan, kata Tutuk, mengembangkan sektor lain yang sifatnya jangka panjang dan berkelanjutan sudah jadi keharusan. 

"Alternatif terbaik yang kita punya sekarang adalah pariwisata dan UMKM. Itu yang bisa kita maksimalkan sekarang," tegas dia.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Berita Lainnya
×
tekid