sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kenaikan BBM, ekonom peringati pemerintah adanya inflasi yang menanjak

Pemerintah diwanti-wanti agar bersiap dengan ‘multiplier effect’ yang akan muncul.

Erlinda Puspita Wardani
Erlinda Puspita Wardani Minggu, 04 Sep 2022 16:02 WIB
Kenaikan BBM, ekonom peringati pemerintah adanya inflasi yang menanjak

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Sabtu (3/9) Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) adalah keputusan yang sulit bagi pemerintah dan menjadi pilihan terakhir. Pemerintah pun diwanti-wanti agar bersiap dengan ‘multiplier effect’ yang akan muncul.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi APINDO Ajib Hamdani mengatakan, ada dua efek yang perlu dimitigasi dengan baik oleh pemerintah karena kenaikan BBM. Pertama, daya beli masyarakat tertekan dan tingkat konsumsi yang mungkin menurun. Kedua, tingkat inflasi yang bisa meningkat dan menjadi potensi masalah baru.

Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi di kuartal II tahun 2022 mencapai 5,44%, bahkan pemerintah memproyeksikan bisa konsisten di atas 5 persen secara agregat di akhir tahun 2022. Menurut Ajib, ini artinya pertumbuhan ekonomi sedang dalam tren positif yang secara signifikan ditopang oleh konsumsi, sehingga untuk mencapai proyeksi pemerintah tadi maka daya beli dan konsumsi masyarakat harus tetap terjaga.

“Merujuk hal kedua, data inflasi di kuartal kedua sebenarnya sudah cukup mengkhawatirkan karena sudah menyentuh angka 4,94 persen,” ujar Ajib Hamdani dalam keterangannya, Minggu (4/9).

Sedangkan proyeksi pemerintah, menurutnya, inflasi hanya di kisaran 3% secara agregat hingga akhir 2022. Tentu karena inflasi ini, akan menjadi faktor yang secara langsung mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat.

“Sebuah capaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan jadi tidak bermakna ketika inflasi juga tidak terkontrol. Karena secara substantif, tingkat kesejahteraan masyarakat tidak naik,” ucap Ajib.

Lebih lanjut, efek kenaikan BBM bisa menaikkan inflasi karena ada dua hal, yaitu aspek keekonomian dan aspek psikologi pasar. 

Pertama, ditinjau dari konteks keekonomian, setiap kenaikan Harga Pokok Produksi (HPP) akan berakibat secara langsung pada harga akhir barang atau jasa. Sehingga, harga di tingkat konsumen akhir atau masyarakat akan mengalami kenaikan.

Sponsored

“Sedangkan dalam konteks psikologi pasar, maka masyarakat yang terbebani konsumsinya karena kenaikan harga-harga, juga akan menaikkan harga produksinya, walaupun tidak ada efek secara langsung atas kenaikan HPP nya,” tuturnya.

Ajib berpandangan, langkah pemerintah yang memutuskan memberikan bantuan sosial (bansos) dengan beragam skema merupakan langkah tepat untuk menjaga daya beli masyarakat. Alokasi bansos yang diambil dari dana APBN, bersumber dari program penanganan pandemic Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Secara jangka panjang, pilihan bansos menurutnya sudah benar untuk mengamankan struktur APBN, karena di tahun depan, masa berlaku Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 sudah habis. Tentu artinya keuangan APBN akan kembali maksimal defisit 3 persen dari PDB.

“Setelah dimanjakan dengan UU ini, sehingga 3 (tahun) tahun berturut-turut APBN bisa defisit di atas 3%, tahun 2023 pemerintah harus kembali menyusun APBN dengan lebih prudent. Alternatifnya adalah dengan menambah penerimaan melalui peningkatan pajak, atau mengurangi beban subsidi. Pengurangan subsidi BBM ini adalah langkah rasional yang didorong oleh Kementerian keuangan untuk mengamankan APBN 2023,” katanya.

Dia menambahkan, hal itu baru menjawab mitigasi pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat. Namun, saat ini pemerintah juga harus benar-benar memperhatikan dampak jangka panjangnya yakni kenaikan inflasi yang saat ini masih dinantikan kebijakan strategisnya.

Berita Lainnya
×
tekid