sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Healing ala konseling online: Memutus stigma negatif layanan kejiwaan

Startup kesehatan mental menawarkan layanan konseling lebih murah, aman, dan solutif.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Rabu, 18 Jan 2023 18:15 WIB
Healing ala konseling online: Memutus stigma negatif layanan kejiwaan

Sebagai penulis lepas (freelance writer) yang biasa bekerja dari berbagai tempat berbeda, Yuliana N merasa seakan terkungkung, ketika hanya bisa bekerja dari rumah saja. Kondisi work from home pada pertengahan tahun 2020 saat pandemi Covid menggila juga kerap membuatnya kewalahan (overwhelmed). Tidak hanya itu, seperti pekerja kreatif lainnya, pagebluk juga membuat penghasilannya berkurang cukup drastis.

“Ditambah dengan masalah-masalah lain, aku jadi stres,” kisahnya, saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (4/1).

Mulanya, Uli -demikian ia akrab disapa- hanya mencoba mengatasi masalahnya sendiri. Sebulan, dua bulan, Uli merasa lebih baik dan bisa menemukan kembali mood-nya untuk menulis lagi. Namun, cara itu nyatanya tak berlangsung lama.

Perempuan 26 tahun itu sadar, jika yang dilakukannya hanya menumpuk rasa kewalahan dan stresnya menjadi lebih besar saja. Hingga pada satu titik, Uli tak lagi bisa berbicara dengan dirinya sendiri.

“Aku tambah cemas banget dan berakhir enggak bisa nulis sama sekali, enggak bisa konsentrasi. Aku jadi gampang panikan, takut akan apa-apa yang bahkan belum terjadi. Enggak lagi PeDe (percaya diri) dengan hasil kerjaku,” jelasnya.

Pada saat inilah, Uli sadar bahwa dirinya membutuhkan pertolongan segera dari profesional untuk menyelesaikan masalah kesehatan mentalnya. Setelah beberapa waktu berselancar di dunia maya, dia pun menjatuhkan pilihan pada sebuah platform layanan konseling online Ibunda.id. Alasannya, karena platform tersebut cukup banyak membahas hubungan antara orang tua dan anak (parents-child’s relationship) serta kecemasan (anxiety), yang mana kedua hal tersebut dirasa cukup sesuai dengan masalah yang dialami Uli.

“Selain itu, aku sebenarnya suka susah kalau harus ngomong langsung, tapi aku pikir aku benar-benar butuh bantuan profesional dan aku harus berinteraksi langsung, supaya lebih efektif. Jadi lah aku pilih layanan E-Counseling pakai video call,” tuturnya yang terjun ke dunia freelance sejak Desember 2019 silam.

Semula, Uli merasa kikuk pada sesi konseling pertamanya dengan psikolog. Namun, kekhawatirannya itu sama sekali tidak terjadi. Sebaliknya, Uli justru dapat bebas menceritakan apa saja masalah yang tengah dirasakannya dan bisa mengurai keruwetan yang ada di dalam pikirannya. 

Sponsored

“Setelah konseling itu aku benar-benar plong, lega banget. Aku jadi tau, apa aja yang harus aku lakukan,” imbuhnya.

Ilustrasi Pixabay.com.

Lain Uli, lain pula Nanda Ayu. Tanpa mau mengatakan apa masalah yang dihadapinya, perempuan yang karib disapa Nanda ini mengaku menjatuhkan pilihannya kepada layanan konseling daring, setelah mempetimbangkan beberapa hal. Pertama, karena biaya layanan psikologi secara daring relatif lebih murah ketimbang konseling tatap muka.

Sebagai pembanding, mengutip laman resminya, Ibunda.id mematok tarif mulai dari Rp420.000 per sesi untuk layanan konseling tatap muka Counseling Corner. Sedangkan untuk layanan konseling daring, baik melalui chat, telepon, maupun video call tarifnya mulai dari Rp179.000 per sesi. Selain itu, ada pula startup Bicarakan.id yang menawarkan konseling daring seharga Rp249.000 per sesi, sementara konseling tatap muka Rp399.000 per sesi.

“Kalau datang langsung ke psikolog, pasti harganya mahal. Jadi yaudah, cari-cari yang (konseling) daring dan ketemu,” kisahnya, kepada Alinea.id, belum lama ini.

Masalah psikologis berdasarkan tahun periksa

Tahun

Ada Masalah Psikologis

Tidak Ada Masalah Psikologis

2020

70,7%

29,3%

2021

80,4%

19,6%

2022

82,5%

17,5%

Sumber: Swaperiksa PDSKJI

Selain itu, Nanda juga merasa kalau ‘curhat’ dengan psikolog sudah pasti terjamin kerahasiaannya, karena adanya kode etik yang mengikat mereka. Berbeda saat ia menceritakan kegalauannya kepada temannya, yang justru berujung adu nasib atau penilaian yang terlalu objektif. Parahnya, curhatan perempuan 24 tahun ini tersebar ke teman-temannya lainnya dan malah menjadi bahan candaan.

“Sedangkan di psikolog, saya bisa dapat advice (nasehat) yang benar-benar ngebantu kita untuk mencari jalan keluar dari masalah yang sedang kita alami,” jelas konsultan hukum itu.

Memilih daring

Berkaca dari kisah Nanda dan Uli tersebut, beberapa tahun belakangan konseling psikologi online menjadi pilihan banyak orang untuk menyembuhkan dirinya. Fenomena ini terlihat pula dari laporan startup platform riset pasar Populix berjudul Indonesia’s Mental Health State and Access to Medical Assistance.

Dalam survei yang melibatkan 1.005 responden berusia 18 hingga 54 tahun itu, Populix menemukan bahwa belakangan layanan kesehatan mental diakses dengan beberapa cara. Pertama, 61% responden mengakses layanan konsultasi dengan psikolog maupun psikiater langsung di fasilitas kesehatan terdekat. Kemudian 54% responden mengakses layanan melalui aplikasi telekonsultasi, 38% bergabung dengan grup komunitas yang fokus pada kesehatan mental, dan 36% memilih untuk berbicara dengan pemuka agama.

Ilustrasi Pixabay.com.

Dari total responden yang mengakses layanan telekonsultasi, 87% diantaranya memilih layanan daring ini lantaran mudah diakses. Selain itu 76% responden beralasan kalau telekonsultasi dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Tidak hanya itu, 63% memilih curhat melalui aplikasi karena harga layanan konsultasi jauh lebih murah.

Benar saja, dalam survei tersebut juga disebutkan bahwa 46% menghabiskan biaya kurang dari Rp100.000 untuk dapat mengakses konsultasi psikologi daring. Sementara 42% responden menghabiskan biaya Rp100.000-Rp250.000, 7% responden menghabiskan Rp250.000-Rp400.000, dan hanya 5% responden menghabiskan biaya di atas Rp400.000.

Co-Founder dan COO Populix Eileen Kamtawijoyo bilang, lebih dari setengah responden, yang kebanyakan adalah perempuan berusia 18-24 tahun, menyadari bahwa mereka memiliki masalah kesehatan mental. Hal inilah yang kemudian membuat mereka banyak mengakses layanan kesehatan mental.

“Berbagai masalah seperti kondisi perekonomian yang tidak menentu, rasa kesepian setelah sekian lama menjalani pembatasan sosial, tuntutan pekerjaan, hingga permasalahan hubungan yang timbul di masa-masa transisi endemi ini, tentunya turut mempengaruhi kesehatan mental banyak orang," kata Eileen, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Senin (16/1).

Dalam laporan swaperiksa Maret 2020-Maret 2022 yang dirilis Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), pun memperlihatkan adanya peningkatan masalah psikologis yang dialami masyarakat. Di mana pada 2020 angkanya sebesar 70,7% dan meningkat menjadi sebesar 82,5% hingga Maret 2022.

“Dari swaperiksa yang dilakukan oleh PDSKJI ini memberikan gambaran bahwa bagaimana meningkatnya gangguan jiwa khususnya depresi, kecemasan, dan juga kondisi yang terkait dengan trauma psikologis selama pandemi,” ungkap mantan Ketua PDSKJI Diah Setia Utami, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (17/1).

Masalah cemas berdasarkan tahun periksa

Tahun

Ada Masalah Cemas

Tidak Ada Masalah Cemas

2020

68,9%

31,1%

2021

76,1%

23,9%

2022

75,8%

24,2%

Masalah depresi berdasarkan tahun periksa

Tahun

Ada Masalah Depresi

Tidak Ada Masalah Depresi

2020

69,3%

31,7%

2021

77,2%

22,8%

2022

84,1%

15,9%

Dengan kondisi ini dan semakin sadarnya masyarakat terkait pentingya memiliki mental yang sehat, praktis membuat layanan kesehatan mental semakin banyak dicari. Bahkan, bagi masyarakat berusia muda, lebih banyak memilih menggunakan layanan konseling online, dibanding datang langsung menemui psikolog atau psikiater. Layanan kesehatan mental online juga menjadi pilihan, di tengah masyarakat yang di sisi lain masih memandang tabu bahkan memberikan cap buruk kepada penderita masalah mental.

“Padahal belum tentu mereka yang datang ke psikolog atau psikiater itu punya gangguan mental. Jadi, dari pada stres yang diderita semakin parah, lebih baik segera konsultasi, di (platform kesehatan mental) online juga nggak masalah,” imbuh psikiatri di Badan Narkotika Nasional (BNN) itu.

Pada kesempatan lain, Co-Founder SehatMental.id Ade Binarko menilai, kian banyaknya aplikasi kesehatan mental sangat membantu masyarakat yang membutuhkan pertolongan segera dalam waktu cepat. Dia mengibaratkan, dalam sekali klik, seperti direct message (DM) pada platform pengiriman pesan, orang yang memiliki masalah sudah bisa curhat dengan psikolog atau psikiatri yang sudah disediakan oleh platform.

“Konseling online menjadi salah satu tindakan pertolongan pertama bagi individu, seringkali apabila psikolog melihat bahwa kondisi klien terlihat berat, psikolog akan memberikan saran untuk tetap pergi ke psikolog atau psikiater tatap muka agar mendapatkan penanganan yang optimal,” tutur Ade, kepada Alinea.id, Senin (16/1).

Prospek bisnis

Sementara itu, dari sisi bisnis, kian tingginya minat masyarakat untuk ‘berkunjung’ ke platform konsultasi psikologi online membuat startup di sektor usaha ini semakin menjanjikan. Hal ini seiring dengan prospek bisnis startup kesehatan alias telemedicine yang juga masih cerah, meski pandemi sudah berakhir.

Platform penyedia data pasar Statista memproyeksikan, di tahun ini pendapatan startup kesehatan dapat mencapai US$2,38 miliar dan menjadi US$3,57 miliar pada 2026. Di mana pertumbuhan terbesar akan terjadi pada segmen Digital Fitness & Well-Being (platform kebugaran dan kesejahteraan digital), yang mencapai US$1,39 miliar pada 2023 dan menjadi US$2,11 miliar di 2026.

Selain pendapatan, pendanaan terhadap perusahaan-perusahaan rintisan yang fokus pada kesehatan mental juga semakin banyak. CB Insight melaporkan, pada kuartal-I 2021 misalnya, pendanaan terhadap startup kesehatan mental mencapai rekor bersejarahnya, yakni sebesar US$852 juta. Jumlah ini juga naik hampir dua kali lipat dari pendanaan yang berhasil dikumpulkan pada periode yang sama di tahun 2020.

Ilustrasi layanan telemedicine. Pixabay.com.

“Lonjakan alokasi modal untuk startup kesehatan mental pada skala global dan peningkatan jumlah wirausahawan yang memasuki ruang ini menandakan, industri ini akan terus maju, meskipun sekarang masih dalam tahap orbit di wilayah Asia Tenggara,” jelas VP of Investment East Ventures Stacy Oentoro, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, pihaknya mengaku, sekitar tujuh tahun lalu, pendanaan terhadap industri ini memang masih belum besar. Namun, seiring dengan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental yang semakin membaik dan juga terus tumbuhnya perekonomian nasional, praktis membuat investor menunjukkan minat yang kuat untuk mendukung pertumbuhan startup kesehatan mental.

“Terbukti dari jumlah pendanaan yang sudah meningkat empat kali lipat sejak 2015 sampai 2021,” imbuhnya.

Namun, di balik potensi pendapatan dan pendanaan tersebut, startup kesehatan mental masih harus menyingkirkan halangan berupa stigma negatif di masyarakat terhadap orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) atau bahkan kepada mereka-mereka yang mengunjungi psikolog atau psikiatri.

Pendiri aplikasi konseling kesehatan mental dan meditasi online Riliv Audrey Maximillian Herli mencontohkan, ketika seseorang sedang mengalami kesulitan dan lantas menceritakan keluh-kesahnya itu di sosial media, ia justru akan lebih banyak mendapat ejekan dari warganet.

Alih-alih dukungan yang bisa menyemangatinya untuk bangkit kembali dan menyelesaikan masalahnya. Belum lagi cap ‘gila’ atau ‘lebay’ yang masih diberikan banyak masyarakat terhadap orang-orang yang datang ke psikolog maupun psikiatri untuk mendapat pertolongan maupun hanya sekadar bercerita.

Karena itulah, melalui aplikasi yang dibuatnya bersama saudaranya pada tahun 2015 ini, ia memiliki tujuan untuk menghapus stigma buruk terhadap kesehatan mental. “Kami ingin menciptakan aplikasi yang dapat memudahkan siapa saja yang ingin pergi ke psikolog, tentunya dengan harga yang lebih terjangkau,” katanya, kepada Alinea.id, Selasa (17/1).

Untuk menghapus stigma ini, pria yang akrab disapa Maxi ini tidak hanya memandang Riliv sebagai bisnis yang dia lahirkan, namun juga sebagai media untuk membantu sesama manusia. Terkait bisnis ini, laki-laki 30 tahun ini mengaku yang paling penting dalam membangun bisnis startup kesehatan mental ialah bagaimana cara dia dapat memberikan sebanyak mungkin nilai tambah kepada pengguna.

“Karena dengan begitu, Riliv juga bisa semakin berkembang,” lanjut dia.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
Tidak hanya Riliv, stigma negatif pada masalah kesehatan mental juga harus dihadapi pula oleh platform konsultasi psikologi Bicarakan.id. Melalui konten-konten podcast-nya, platform yang baru berdiri pada Maret 2020 ini mencoba memberikan pemahaman tentang apa itu kesehatan mental dan bagaimana cara mengatasinya, dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami masyarakat awam. 

Bicarakan.id juga mencoba memberikan konseling dan psikoterapi ‘sehalus’ mungkin. Sehingga orang-orang yang pernah melakukan konseling dapat benar-benar merasakan manfaat setelah berbicara dan konsultasi dengan psikolog. 

“Kalau sudah begini, aku percaya ini bisa menjadi insentif yang cukup besar buat mereka bisa menerapkan atau menyebarluaskan pengalaman mereka konseling di Bicarakan,” beber Founder sekaligus CEO Bicarakan.id Andreas Handani, kepada Alinea.id, Rabu (18/1). 

Tak hanya itu, startup di bidang ini juga masih harus menghadapi tantangan lain, yakni kondisi layanan kesehatan mental di Indonesia yang masih jauh dari kata baik. Bagaimana tidak, berdasarkan catatan Emotional Health for All (EHFA), di Indonesia hanya ada sekitar 4.400 tenaga kesehatan mental yang tersedia untuk 250 juta penduduk. 

Jumlah ini jelas tidak sebanding dengan banyaknya jumlah penduduk. Apalagi, tidak hanya penduduk usia dewasa saja yang terkadang membutuhkan bantuan professional untuk kesehatan mental mereka. Tapi juga ada anak-anak dengan kondisi khusus yang juga membutuhkan layanan dari tenaga kesehatan mental. 

Hal ini lah yang kemudian menyebabkan terbatasnya akses layanan psikologi, terutama di daerah-daerah di luar DKI Jakarta, terlebih di luar Pulau Jawa. “Bahkan, di Jakarta itu juga masih susah untuk mencari psikolog atau psikiater, karena memang sekurang itu,” imbuh laki-laki yang disapa Andre itu. 

Oleh karenanya, kehadiran startup kesehatan mental, menurut dia, cukup membantu masyarakat untuk mendapatkan akses tenaga profesional dalam waktu yang singkat. Di saat yang sama, startup kesehatan mental juga diharapkan bisa hadir pula dengan tarif yang lebih terjangkau.

“Yang paling penting adalah kita bisa meningkatkan awareness masyarakat terhadap kesehatan mental. Karena dengan begitu, industri (startup kesehatan mental) bisa tumbuh dan masyarakat kita, Indonesia bisa lebih sejahtera secara psikologis,” tutup dia.

 

Berita Lainnya
×
tekid