sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ironi berulang kelangkaan kedelai 

Harga jual yang rendah serta minimnya insentif membuat petani enggan menanam kedelai.

Nurul Nur Azizah
Nurul Nur Azizah Jumat, 08 Jan 2021 16:53 WIB
Ironi berulang kelangkaan kedelai 

Kelangkaan kedelai menjadi ironi yang masih saja terjadi di Indonesia. Sebagai negara pengkonsumsi kedelai terbesar setelah China, Indonesia masih jauh dari swasembada. Konsumsi kedelai sepenuhnya masih bergantung pada impor.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton dengan nilai US$510,2 juta atau sekitar Rp7,52 triliun (kurs Rp 14.700). Sebanyak 1,14 juta ton diantaranya berasal dari Amerika Serikat.

Tak elak, saat harga kedelai impor meroket, Indonesia pun kelabakan. Seperti yang baru-baru ini terjadi, kurang lebih 90% dari jumlah 160.000 pengrajin tahu tempe di Indonesia mogok produksi selama 3 hari. 

Aksi yang terjadi pada 1 sampai 3 Januari 2021 tersebut merupakan buntut dari mahalnya harga kedelai impor. Bahan baku kedelai impor naik dari Rp7.000/kilogram menjadi Rp9.200/kilogram sampai Rp9.500/kilogram.  

Seperti sering terjadi sebelumnya, produksi kedelai dalam negeri yang begitu minim tak mampu membendung derasnya permintaan. Indonesia selalu menghadapi masalah berulang. Kedelai yang ditanam petani lokal tak mampu mengejar kebutuhan konsumsi masyarakat. 

Berdasarkan outlook pangan yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2015-2019, produksi kedelai Indonesia terus menurun, rata-rata 1,49% per tahun. Hal ini berbanding terbalik dengan konsumsi kedelai yang terus naik. Saat ini, rata-rata konsumsi kedelai sebesar 6,59 kg/kapita/tahun dan cenderung meningkat dengan rata-rata 1,73% per tahun. 

Situasinya saat ini, kebutuhan kedelai masyarakat tinggi sementara pasokan dalam negeri tidak mencukupi. Namun, kedelai impor yang jadi andalan stoknya terbatas dan mahal. Imbasnya, kelangkaan kedelai nasional makin kentara. 

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, mengatakan kondisi saat ini merupakan imbas dari kebijakan pasar bebas sejak Indonesia menjadi anggota WTO tahun 1995 dan Letter of Intent (LOI) IMF dengan Pemerintahan Soeharto pada tahun 1998. 

Sponsored

Awalnya, kata dia, produksi petani kedelai di tingkat lokal masih sanggup memenuhi 70% hingga 75% kebutuhan kedelai nasional, impor hanya sekitar 20%. Kondisi ini sekarang berbalik. Kedelai impor menjadi sumber utama kebutuhan kedelai nasional. 

Upaya perlindungan pasar dalam negeri melalui implementasi UU Pangan No 18 Tahun 2021 hingga UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani No 19 Tahun 2013, tak mampu mengerem laju impor kedelai.

Seorang pekerja mengolah biji kedelai dalam mesin di sebuah gudang produksi tahu di Jakarta. Foto Reuters/Supri.

Terlebih, usai hadirnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Menurutnya, UU Cipta Kerja bisa   menyebabkan impor makin leluasa. Pasalnya, larangan impor dijalankan bila kebutuhan dalam negeri mencukupi maupun prioritas penggunaan produk pangan domestik dihapus. 

"Tidak hanya itu, dihapuskannya pasal 11 ayat (2) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman juga membuat produk GMO lebih mudah beredar di Indonesia,” ujar Henry kepada Alinea.id, Kamis (7/1). 

Ia berpendapat, upaya pengenalan benih kedelai hasil rekayasa genetik atau GMO (Genetically Modified Organism) untuk dikembangkan di Indonesia ini berpotensi besar menghilangkan benih-benih kedelai lokal. Apalagi, di Indonesia sendiri impor kedelai juga masih dikuasai oleh korporasi transnasional skala besar seperti Cargill.

Di sisi lain, petani lokal juga makin tidak tertarik dengan penanaman kedelai. Selain karena harga beli di kalangan petani yang tak menguntungkan, juga akibat produktivitasnya yang rendah. 

“Jadi di sini produktivitasnya di bawah subtropis. Meskipun demikian produktivitasnya masih bisa ditingkatkan, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi,” tambah Ketua Pusat Perbenihan Nasional (P2N) SPI, Kusnan secara tertulis kepada Alinea.id, Kamis (7/1). 

Ia menilai pemegang kebijakan masih memandang permasalahan sistem budidaya kedelai sebelah mata. Sebab, tak ada pemetaan aksi kerja serta informasi yang memadai. "SOP-nya seperti apa, daerah mana yang berpotensi juga belum terpetakan secara maksimal, belum juga harga, dan lainnya,” jelasnya. 

Menurutnya, ada varietas unggul kedelai namun belum dioptimalkan hingga ke tingkat petani. Seperti diketahui, Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian di Malang misalnya, menetapkan varietas unggul di antaranya, Detam 1 (2008), Dena 1 (2014), Devon 1 (2015), Dega 1 (2016) yang sesuai untuk tempe. Lalu, Detap 1 (2017), Devon 2 (2017), Derap 1 (2018), Demas 2 (2020) dan Demas 3 (2020). 

Tidak hanya itu, Kusnan menjelaskan, dulu ada varietas gepak ijo, gepak kuning, dan galunggung. Namun kedelai ini sudah tidak diminati oleh petani karena bijinya kecil dan bisa merambat.

Kemudian, kata dia, ada varietas kedelai wilis yang berbiji besar-besar. Lalu saat ini, ada pula kedelai Grobogan yang diminati petani namun produksinya masih dibawah empat ton per hektar. 

Di tengah masalah produksi kedelai yang minim, menurutnya, harga kedelai di kalangan petani lokal juga sangat rendah. Padahal, di era orde baru sempat ada ketetapan bahwa harga kedelai mesti 1,5 kali harga beras. Jika dihitung dengan kondisi saat ini, harga kedelai mestinya bisa mencapai Rp15.000 per kg. 

"Sekarang, siapa yang mau tanam kedelai kalau cuma dihargai Rp6.000 atau setengah dari harga beras? Ya jelas kedelai kalah dengan komoditas lain seperti padi, jagung, maupun hortikultura lainnya seperti kangkung, dan kacang hijau,” paparnya.

Menelisik kebijakan pemerintah

Asisten Deputi Pangan Kemenko Bidang Perekonomian Muhammad Saifulloh tak menyangkal bahwa produksi kedelai dalam negeri hanya sekitar 9,5% dari total kebutuhan. Dari jumlah yang minim itu, 5% masih dialokasikan untuk benih. Sementara, impor kedelai mencapai angka 90%. 

"Tentunya kita tidak akan mengatur komoditas yang 90% nya dipenuhi dari luar negeri. Hanya saja yang perlu kita tertibkan adalah agar importir melaporkan jumlah importasinya dan stok ketersediaan di gudangnya," ujar Saifulloh saat dihubungi Alinea.id, Kamis (1/7).

Ia menyebut, saat ini pemerintah telah menyepakati hasil pertemuan dengan Asosiasi Importir Kedelai Indonesia dan Gakoptindo. Hasilnya, ada 3 langkah pengendalian stabilitas dan ketersediaan kedelai jangka pendek. Di antaranya, langkah 100 hari SOS Operasi Pasar.

Seorang pedagang menawarkan tempe kepada pelanggannya di sebuah pasar. Foto Reuters/Enny Nuraheni.

Pemerintah juga melakukan distribusi pasokan ke Pulau Jawa sekitar 317.000 ton selama 3 bulan.  Kesepakatan soal kuota impor juga sudah diketok, masing-masing importir mendapatkan kuota 12,5%. Harga dari importir dipatok Rp8.000/kg dan sampai di pengrajin seharga Rp8.500/kg.
    
"Langkah 200 hari terkait peningkatan produksi kedelai lokal dan langkah 300 hari terkait dengan pengaturan impor kedelai," imbuhnya. 

Sementara itu, pemerintah juga mendorong upaya untuk menarik minat petani lokal menanam kedelai. Misalnya melalui program pemberian bibit, penyuluhan dan penerapan selisih harga yang cukup tinggi. Harapannya, petani mau menanam kedelai untuk menutupi kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan pasokan kedelai dalam negeri. 

Kepala Subbagian Humas dan Tata Usaha Kementerian Pertanian Munawar Khalil menambahkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL) saat ini tengah mendorong pengrajin tahu tempe untuk menggunakan kedelai lokal. Secara kualitas, kedelai asli dalam negeri juga lebih bagus ketimbang kedelai impor. Mentan juga fokus pada program tahun 2021 untuk meningkatkan produksi kedelai.

"Kami siapkan pasokan kedelai lokal, produksi kita genjot. Kedelai kita pendek-pendek, manis dan disukai masyarakat sehingga ke depan dorong budidayanya. Sesuai arahan Presiden Jokowi, hal ini untuk penuhi kebutuhan pengrajin tahu tempe," tutur SYL yang disampaikan tertulis oleh Munawar kepada Alinea.id, Kamis (7/1).  

Perlu pembatasan impor 

Jika tak segera berbenah, Indonesia semakin sulit menuju swasembada. Utamanya, soal mandiri pangan kedelai. Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina mengatakan untuk mencapai swasembada hal utama yang perlu dilakukan adalah membatasi impor. 

Itu dilakukan bersamaan dengan menggenjot produksi kedelai lokal. Termasuk menarik minat para petani menanam komoditas ini. "Dengan cara menyediakan sarana infrastruktur, dan juga menetapkan harga kedelai di tingkat petani yang sesuai agar para petani kedelai tidak beralih profesi," ujar Nevi kepada Alinea.id, Kamis (7/1). 

Pemerintah, lanjutnya, juga perlu tegas dan ketat dalam mengawasi penerapan Permendag Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. 

"Karena selama ini masih ada petani yang menerima harga dibawah acuan Permendag tersebut," kata dia. 

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi menilai masalah kedelai tak lepas dari rencana kerja Kementerian Pertanian yang belum tercapai. 

Dia bilang, para petani kedelai kini seolah dituntut berjalan sendiri. Kebutuhan para petani, kata dia, hanya sebatas berkutat pada penyediaan pupuk dan infrastruktur. Adapun soal bimbingan teknis terhadap petani seperti membuat desain dan rencana kerja begitu minim.

"Faktanya, rencana kerja itu tidak ada. Yang tanam kedelai itu alamiah saja, yang mau nanam, ya nanam. Yang enggak, ya enggak," ujar Dedi secara tertulis kepada Alinea.id, Kamis (7/1). 

Menurutnya, bila pemerintah dalam hal ini Kementan tidak memiliki rencana kerja yang memadai tentang penanaman kedelai, sampai kapan pun swasembada dalam negeri tak akan tercapai.

Ia mencontohkan, rencana tanam bisa saja dibuat seperti era dulu. Dua kali menanam padi dan satu kali menanam tanaman penyelang dalam dua musim. Misalnya, November sampai April, dua kali menanam padi. Kemudian, Mei menanam kedelai. 

"Tujuannya untuk menjaga kesuburan tanah agar bakteri penyubur itu tumbuh. Itu yang selalu diajarkan oleh PPL (petugas penyuluh lapangan). Nah, hari ini itu tidak ada," jelasnya. 

Di sisi lain, Dedi juga mengeluhkan para petani lokal masih kesulitan menjual kedelai keringnya. Ini disebabkan pedagang kedelai dikuasai oleh jaringan swasta yang lebih tertarik mengambil kedelai impor. 

Kedelai impor ini mempunyai harga yang murah dengan kualitas yang terverifikasi. Belum lagi proses pembeliannya yang cukup mudah. "Beli dari luar negeri, diangkut pakai kapal, dikirim langsung ke dalam negeri, dikirim ke konsumen," imbuhnya. 

Sejahterakan petani

Senada dengan Dedi, Guru Besar IPB Dwi Andreas Santosa mengatakan, kelangkaan kedelai yang terus terjadi merupakan konsekuensi dari langkah kebijakan pemerintah yang bergantung pada pasar global. 

"Kita sudah mengintegrasikan sistem pangan kita ke sistem pangan dunia. Ya sudah, apa yang terjadi di dunia ikuti saja," ujar Andreas kepada Alinea.id, Kamis (7/1).  

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) itu menekankan pemerintah agar lebih memperhatikan kesejahteraan petani jika ingin swasembada kedelai. Dus, bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan pasar dengan mengambil jalan pintas melalui impor. 

"Itu gampang sekali, hanya pemerintah mau apa tidak, yaitu beri kenakan tarif impor yang tinggi untuk kedelai, dan perlindungan harga di tingkat petani," kata Andreas. 

Dia pun mengkritik langkah pemerintah yang cenderung impulsif dan memberikan insentif yang tidak tepat sasaran dan tidak efektif. "Muluk-muluk yang gagal, serahkan saja cash money ke petani, tidak usah pakai bagi-bagi benih, pupuk dan lain-lain," tambahnya. 

Pemerhati Kebijakan Pertanian yang pernah menjabat Mantan Staf Ahli Menteri, Pantjar Simatupang juga menekankan upaya yang perlu didorong pemerintah bukan saja sebatas perlindungan harga ke petani. Tapi juga mendesak teknologi pertanian kedelai yang meningkatkan produktivitas. 

"Inovasi teknologi. Kalau ingin swasembada, berteknologi lah. Karena itu akar masalahnya," tegas Pantjar kepada Alinea.id, Kamis (7/1). 

Dia mengatakan, pemerintah terlebih dahulu harus mempunyai kebijakan jangka panjang yang jelas untuk mewujudkan hal itu. Langkah ini juga harus diterapkan dalam aksi strategis dan efektif yang konsisten. 

Dengan begitu, kebijakan pemerintah tidak hanya reaktif atau bahkan tidak rasional diimplementasikan di lapangan karena tidak relevan dengan situasi di kalangan petani. 

"Jangan hanya pakai hitungan kalkulator di atas meja saja, dan berharap itu dipatuhi di lapangan. Enggak ada itu," pungkasnya.    

Berita Lainnya
×
tekid