sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Janji Cipta Kerja, harapan atau fantasi?

Demi investasi, pemerintah bersikukuh mengesahkan UU Cipta Kerja yang penuh kontroversi.

Syah Deva Ammurabi
Syah Deva Ammurabi Jumat, 23 Okt 2020 19:03 WIB
Janji Cipta Kerja, harapan atau fantasi?

Nada positif juga muncul dari Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani. Menurutnya, UU Cipta Kerja mampu memberikan akses para pencari kerja untuk mendapat pekerjaan, mendukung sektor padat karya, dan menolong nasib UMKM.

Hariyadi berharap masyarakat, khususnya serikat buruh dan pekerja memahami perlunya investasi di Indonesia untuk memperluas lapangan pekerjaan. “Kami berharap dalam pembahasan ini, dapat menyelesaikan hal-hal yang dianggap belum jelas dan atau hal-hal yang masih menjadi hambatan di dalam tujuan pemerintah atau negara dalam pembebasan hambatan regulasi dalam penciptaan lapangan kerja tersebut,” ungkapnya pada Rabu (21/10).

Meskipun demikian, Hariyadi menilai pengendalian penyebaran Covid-19 tetap menjadi kunci bagi pemulihan ekonomi nasional. Penerapan protokol kesehatan menjadi sebuah keharusan untuk diterapkan di lingkungan kerja maupun masyarakat luas. 

“Mencermati penyebaran Covid-19 ini juga memperkirakan percepatan pemulihan ekonomi di tahun depan maka kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2021 adalah berkisar terendah 2,5% dan tertinggi adalah 5,5%. Tentunya hal ini sangat bergantung bagaimana kita mendapatkan vaksin yang akan diberikan oleh pemerintah dan efektivitas dari vaksin tersebut,” jelasnya. 

Buruh melawan

Meskipun terlihat menjanjikan, UU sapu jagat masih belum dapat memuaskan semua pihak. Salah satunya kalangan serikat buruh yang menilai aturan ini mencederai hak-hak mereka. Sejak sebelum undang-undang ini disetujui, kelompok buruh berulang kali melakukan unjuk rasa bersama elemen masyarakat sipil lainnya. 

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengungkapkan ada lima poin dalam klaster ketenagakerjaan yang disorotinya yaitu hilangnya upah minimum sektoral, hilangnya jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) selama dua tahun dan perpanjangan satu tahun, tidak jelasnya jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan, perhitungan upah berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi, dan hilangnya kewajiban melaporkan pemutusan hubungan kerja ke Dinas Tenaga Kerja.

Namun, Elly mengapresiasi poin mengenai jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang diatur dalam undang-undang anyar tersebut. Meskipun kejelasan mekanisme pemberiannya masih jadi pertanyaan.

Sponsored

“Kita apresiasi soal membuka peluang investasi. Kita dukung lah investasi masuk, tapi harus dong ada yang kita pertahankan. Kalaupun tidak bisa berubah lebih bagus, stay lah di yang kemarin. Kasihan lho. Kita ini mayoritas bekerjanya di perusahaan-perusahaan manufaktur,” ujarnya melalui sambungan telepon, Selasa (20/10).

Sebelumnya, KSBSI turut serta dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Setelah melihat perkembangan yang ada, pihaknya memutuskan untuk menolak ikut dalam pembahasan RPP turunan UU Cipta Kerja.

“Kita (melihat) memang sudah tidak ada lagi yang berubah, pasti tidak akan lari dari norma undang-undang. Nanti kita tetap berdebat dengan pengusaha dan Kadin versus serikat buruh. Sedangkan kita yang mengawal tidak dapat hak yang lebih bagus. Kita sudah mengawal 10 hari tripartit, tetap kecewa,” terangnya.

Elly mengatakan pihaknya telah melakukan kajian menyiapkan tim hukum dalam rangka uji materi UU Cipta Kerja (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, ini merupakan langkah terakhir perjuangan buruh melawan undang-undang tersebut. 

Setali tiga uang, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal juga berencana mengajukan uji materi dan formal ke MK. Untuk mengawal proses tersebut, pihaknya mengerahkan massa di 20 provinsi dan 200 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Ia menjamin aksi unjuk rasa akan berlangsung damai tanpa kekerasan.

“MK harus memperhatikan aspirasi masyarakat. Ada yang enggak setuju dengan omnibus law. Banyak sekali lembaga studi survei beberapa banyak yang tidak setuju. Dengan demikian MK tak boleh mengabaikan itu,” tegasnya dalam konferensi pers, Rabu (21/10).

Selain itu, pihaknya juga mendorong legislative review oleh DPR dengan menerbitkan undang-undang baru yang membatalkan UU Cipta Kerja. Menurutnya, hal ini dimungkinkan dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).

“DPR jangan buang badan, khususnya dua fraksi yang menolak keras. UUD 1945 Pasal 22 A yang mendelegasikan UU PPP menggunakan legislative review, gunakanlah hak itu, Jangan biarkan jatuh korban sampai aksi-aksi dan kami beraksi,” ujarnya.

Menanggapi pro-kontra UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan, Menteri Ida Fauziyah menilainya sebagai hal yang wajar lantaran sifatnya yang mengubah regulasi eksisting. Menurutnya, Presiden telah berani mengambil risiko penolakan tersebut.

“Jadi mari kita follow-up legacy ini dengan semangat berdialog. Kita jangan pakai prinsip pokok'e. Namanya dialog ya tidak bisa 100% aspirasi pekerja dan pengusaha diakomodasi. Berbagilah. Ada juga kaum pencari kerja yang harus diberikan pekerjaan,” katanya.

Bukan mantra simsalabim

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad melihat peranan investasi terhadap perekonomian Indonesia sudah cukup besar tanpa adanya UU Cipta Kerja. Data Badan Pusat Statistik, menunjukkan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang merupakan cerminan investasi berkontribusi sebesar 32,33% terhadap  Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2019.

Di sisi lain, investasi-investasi tersebut tak banyak menghasilkan banyak tenaga kerja lantaran didominasi oleh sektor tersier seperti jasa, perdagangan, dan teknologi informasi. Sementara itu, investasi di sektor sekunder (industri) yang banyak menyerap banyak tenaga kerja justru semakin loyo. 

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kontribusi realisasi investasi sektor tersier naik dari 39,10% pada 2015 menjadi 57,47% pada 2019. Sementara itu, kontribusi investasi sektor sekunder menurun dari 43,27% menjadi 26,68%. 

“Betul, pasti ada tenaga kerja karena investasi masuk. Apakah ada perbedaan antara UU Cipta Kerja dan sebelumnya? Menurut saya tidak. Sektor tersier masuk ke kita karena market kita besar. Kecuali begini, biaya industri bisa ditekan dan kedua upah,” terangnya kepada Alinea.id, Selasa (20/10).

Dia menilai, besaran kenaikan upah berpotensi terpangkas dengan adanya UU Cipta Kerja ini. Meskipun demikian, rata-rata upah minimum tenaga kerja di Indonesia Rp3,93 juta lebih tinggi dari Vietnam Rp2,64 juta menurut data BKPM.

Tauhid berpendapat adanya UU Cipta Kerja tidak serta merta mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja dalam jangka pendek. Menurutnya, butuh waktu 5-10 tahun agar dampaknya terasa bagi penciptaan lapangan pekerjaan.

“Dengan catatan, PR (pekerjaan rumah) yang saya sebut seperti perbaikan infrastruktur, perbaikan perpajakan, trade across border (perdagangan lintas batas negara), penegakan hukum kontrak, dan suku bunga perlu dibenahi,” katanya. 

Tauhid juga tak yakin pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) sebagai kawasan industri sebagaimana yang tercantum dalam draf UU Cipta Kerja akan segera menyerap tenaga kerja. Pasalnya, investor lebih tertarik mendirikan pabrik di daerah dengan upah minimum yang rendah, meskipun terletak di luar KEK.

Dia juga berharap skema dan ketentuan mengenai alih teknologi dari asing perlu dijabarkan dalam aturan turunan UU Cipta Kerja. Menurutnya, penguasaan teknologi menjadi kunci bagi peningkatan produktivitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dengan SDM dalam negeri yang berkualitas, investor tidak perlu lagi mendatangkan tenaga kerja asing. 

Sementara itu, Peneliti Indef Ariyo DP Irhamna melihat Omnibus Law Cipta Kerja terlalu fokus pada penyederhanaan regulasi dan kemudahan berinvestasi. Dari segi kelembagaan, ia menyoroti adanya tumpang tindih fungsi koordinasi dalam penanaman modal, yakni Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, serta BKPM.

“Jadi adanya tiga lembaga yang memiliki fungsi sama menyebabkan tumpang tindih fungsi. Tentu konsekuensinya akan menciptakan kebingungan bagi pemangku kepentingan. Tidak hanya bagi investor, tapi juga bagi pemerintah daerah,” jelasnya melalui telekonferensi, Senin (19/10).

Kemudian, aspek pengawasan perlu didorong tidak hanya untuk mengatasi hambatan investasi, melainkan juga memastikan para investor asing untuk melakukan alih teknologi. Kerja sama dengan Kemenaker dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjadi kunci bagi kesuksesan alih teknologi. Selain itu, status lahan yang akan ditawarkan kepada investor perlu dipastikan terlebih dahulu.

“Klaster investasi hanya membicarakan perizinan. Hal ini membuat UU Cipta Kerja terlalu teknis dan tidak strategis untuk tingkat undang-undang. Sebaiknya klaster investasi bicara aspek yang lebih fundamental dan strategis seperti kelembagaan yang bicara harmonisasi tiap lembaga dan perencanaan proyek investasi,” ungkapnya.

Berita Lainnya
×
tekid