sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jor-joran bank digital bakar uang demi eksistensi

Bank digital menambah biaya promosi demi menggaet lebih banyak pengguna atau nasabah.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Rabu, 15 Jun 2022 10:35 WIB
Jor-joran bank digital bakar uang demi eksistensi

Allo Bank Festival yang digelar 20 Mei lalu berhasil bikin heboh. Tidak hanya saat acara berlangsung, namun bahkan saat fajar sebelum panggung benar-benar berlabuh. Ini tak lepas dari bintang tamu fenomenal yang manggung di momen ini, NCT Dream.

Boyband asal Korea Selatan ini memiliki ribuan penggemar di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tak terkecuali Michelle (29), Tiara (27), dan Elma (28) yang rela berdesakan untuk melihat performa K-Pop remaja belasan tahun itu sejak subuh.

Michelle datang pada pagi buta untuk membeli tiket demi melihat boyband pujaan di Allo Bank Festival. Padahal, sebelum ikut berebut tiket, Michelle telah menyiapkan banyak amunisi. Mulai dari mengunduh aplikasi Allo Bank dan meng-upgrade aplikasi menjadi Allo Prime, serta mengisi saldo (top up) hingga Rp500.000 untuk membayar tiket.

“Cuma bisa dapat tiket untuk Day 2 saja, yang Red Velvet. Padahal kan aku juga pingin liat NCT Dream juga. Dan Puji Tuhan banget, aku bisa dapat tiketnya pas di hari-H,” kisahnya, kepada Alinea.id, Minggu (29/5).

Kisah berbeda dituturkan Desi yang harus rela menyaksikan grup idola perempuan asal SM Entertainment, Red Velvet dari layar besar yang berada di belakang Gedung Istora Senayan. Meski sudah jauh-jauh bertolak dari Semarang, pada Jumat (20/5) malam, Desi tetap tidak bisa mendapatkan tiket masuk ke main stage.

Padahal dirinya juga sudah mengunduh Allo Bank, meng-upgrade Allo Prime dan mengisi saldo aplikasi bank digital ini. “Karena masuk ke Istora-nya kan harus nunjukin bukti udah download aplikasi. Terus juga di sana, semua transaksi dilakukan pakai Allo Prime. Jadi, mau enggak mau harus download aplikasinya dan upgrade juga,” ujar perempuan 26 tahun ini, kepada Alinea.id, Minggu (22/5).

 

Sponsored

 

Terlepas dari pengalaman Michelle dan Desi untuk memperebutkan tiket Super Festival, Allo Bank layak mendapatkan acungan jempol karena kesuksesannya dalam menggaet nasabah dengan menggunakan K-Pop melalui Allo Bank Festival 2022.

Mengingat banyaknya jumlah penggemar K-Pop di Indonesia. Festival yang juga mendatangkan artis lokal itu juga mengerek pengguna aplikasi Allo Bank. Per Selasa (24/5) aplikasi ini telah mencapai 100.000 unduhan di Play Store.

Padahal, aplikasi Allo Bank ini baru saja diluncurkan secara resmi pada 20 Mei 2022 yang bertepatan dengan konser Allo Festival 2022 hari pertama. Jumlah ini meningkat hingga lebih dari 500.000 unduhan di Play Store pada Selasa (14/6).

Direktur Utama Allo Bank Indra Utoyo pun mengakui, jika pertumbuhan pengguna Allo Bank menunjukkan tren positif. Meski belum mampu memenuhi target 1 juta pengguna dalam waktu seminggu setelah peluncuran, seperti yang diharapkan oleh pemegang saham utama (ultimate shareholder) Allo Bank Chairul Tanjung (CT).

“Tapi kami tetap optimistis, dapat mencapai 10 juta pengguna sampai akhir tahun ini dan 50 juta (pengguna-red) setelah 5 tahun nanti,” tuturnya, kepada Alinea.id, Senin (13/6).

Untuk mencapai target tersebut, berbagai cara pun dilakukan. Mulai dari memanfaatkan ekosistem Grup CT yang merupakan induk perusahaan Allo Bank, bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan lain seperti Indomaret, Bukalapak, Traveloka, serta beberapa perusahaan asuransi digital atau insurtech (insurance technology), hingga menjadikan Allo Festival sebagai acara tahunan neobank dengan kode saham BBHI ini.

“Allo Bank Festival ini akan menjadi kegiatan tahunan, dengan artis yang lebih besar lagi,” harap CT, dalam konferensi pers Grand Launching Allo Bank, di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (19/5) lalu.

Biaya promosi bengkak

Hajatan besar Allo Bank ini merogoh kocek cukup besar, terbukti dari biaya promosi Allo Bank pada kuartal-I yang mencapai Rp372 juta. Jumlah ini melonjak dari biaya promosi di tahun 2021 yang hanya sebesar Rp39,3 juta dan Rp30,2 juta pada 2020.

Allo Bank bukanlah satu-satunya bank digital yang rela merogoh kocek dalam untuk menggaet nasabah baru. Bahkan, beberapa bank digital mencatatkan peningkatan biaya promosi dan iklan dari 50% hingga ratusan ribu persen.

Ialah Bank Neo Commerce (BNC), yang mencatatkan lonjakan biaya promosi dan iklan besar, dari sebelumnya hanya senilai Rp113,28 juta di kuartal-I 2021 menjadi Rp115,1 miliar pada periode Januari-Maret 2022. Dengan anggaran promosi dan iklan di tahun ini mencapai Rp190,83 miliar.

Foto Unsplash.com.

Vice President & Head of Marketing Bank Neo Commerce Maritsen Darvita bilang, peningkatan beban biaya promosi terjadi untuk menyempurnakan superapp pascadiluncurkan.

Mulai dari layanan Neo Angpao dan Neo THR yang diluncurkan untuk memudahkan nasabah dalam mengirim atau meminta angpao maupun THR pada orang-orang yang diinginkan, layanan Free Transfer, PPOB alias Payment Point Online Bank untuk melayani pembayaran nasabah, fitur simpanan dan deposito berbunga tinggi Neo NOW, hingga layanan gamification seperti Neo Fortune, Neo World, serta Neo Chat.

Perlu diketahui, gamification sendiri merupakan suatu cara bagi perusahaan untuk mendapat perhatian pelanggan dengan cara mengadaptasi fitur yang berlaku dalam game. “Di Neo Fortune, nasabah memiliki kesempatan untuk mendapatkan kupon experience ataupun uang tunai hingga jumlah tertentu tanpa minimum saldo dengan melakukan check-in dan ambil hadiah selama 7 hari berturut-turut,” katanya.

“Sampai periode promosi berakhir, setiap nasabah yang memainkan Neo Fortune rata-rata mendapatkan cuan yang menarik,” ungkap Direktur Bisnis BNC Aditya Windarwo, pada Alinea.id, Senin (13/6).

Perseroan pun berhasil mencatatkan peningkatan jumlah pengguna hingga 17 juta pengguna pada kuartal-I 2022. Di saat yang sama, bank digital dengan kode saham BBYB ini juga berhasil meningkatkan volume transaksi hingga 88%, menjadi 76 juta transaksi. 

Kinerja positif perseroan lantas diikuti pula oleh lonjakan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) yang sebesar Rp198 miliar. Jumlah ini naik 214,3% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang hanya senilai Rp63 miliar.

Untuk melanjutkan kinerja positif tersebut, pada tahun ini BBYB berkomitmen untuk mengembangkan konsep ‘business and fun’ dalam layanan bank digital yang ditawarkannya kepada para nasabah. Dalam hal ini, BNC tidak hanya menyediakan layanan perbankan dan finansial saja kepada masyarakat, namun juga mengemasnya dalam bentuk yang lebih menyenangkan.

Neobank lainnya yang mengalami peningkatan biaya promosi dan iklan antara lain, Bank BCA Digital dengan kenaikan mencapai 74,4% dari periode sebelumnya, menjadi Rp28,4 miliar pada tiga bulan pertama 2022. Padahal, di sepanjang 2021 bank digital milik PT Bank Central Asia Tbk (BCA) ini hanya mengeluarkan biaya promosi sebesar Rp72,1 miliar. 

Kemudian, ada pula Bank Aladin yang telah menggelontorkan dana promosi dan iklan sebesar Rp4,5 miliar. Padahal, di tiga bulan pertama 2021, bank dengan kode emiten BANK ini hanya mencatatkan beban promosi dan iklan senilai Rp100 juta.

Selanjutnya, ada Bank Jago (ARTO) yang mencatatkan kenaikan beban promosi dan iklan dari Rp5,7 miliar di kuartal-I 2021, menjadi Rp28,87 miliar pada triwulan awal tahun ini. 

“Sebagai bank yang baru berdiri sebagai bank berbasis teknologi, program promosi ini diperlukan untuk mengenalkan Bank Jago kepada masyarakat luas,” kata Direktur Kepatuhan Bank Jago Tjit Siat Fun, kepada Alinea.id, Rabu (8/6).

Mengutip laman resminya, bank digital kepunyaan konglomerat Jerry Ng ini nampak memberikan banyak keuntungan bagi nasabah anyarnya. Mulai dari memberikan bonus 100.000 GoPay Coins bagi nasabah baru yang menghubungkan Kantong Jago -rekening bank Jago- dengan aplikasi Gojek dan menjadikannya metode pembayaran utama, pemberian bunga 7% di tiga bulan pertama bagi nasabah yang mendaftar Jago melalui aplikasi Gojek, promo biaya gratis top up dan admin, dan masih banyak promo lainnya.

Biaya Promosi Bank Digital

Bank

2022 (Kuartal-I)

2021

2020

BCA Digital

Rp28,4 miliar

Rp72,13 miliar

-

Allo Bank

Rp372 juta

Rp39,3 juta

Rp30,2 juta

Bank Jago

Rp28,87 miliar

Rp101,5 miliar

Rp11,7 miliar

Bank Neo Commerce

Rp155,1 miliar

Rp535,9 miliar

Rp9,7 miliar

Bank Raya

Rp5,9 miliar

Rp15,1 miliar

Rp10,8 miliar

Bank Aladin

Rp4,5 miliar

Rp4,5 miliar

Rp405 juta

MNC Bank

-

Rp11,9 miliar

Rp6,9 miliar

Sumber: Laporan Keuangan

Promosi jangka panjang

Terlepas dari berbagai promo tersebut, aksi promosi besar-besaran alias bakar uang adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari oleh bank digital. Sebab, bagaimanapun sebagai model bisnis baru, bank digital memang diharuskan mengambil langkah ekstra untuk menggaet nasabah, meningkatkan kinerja pemasaran dan bisnisnya.

“Karena mereka harus bersaing dengan bank konvensional dan fintech (financial technology-red) yang sudah lebih dulu bakar uang juga dan sekarang mereka saatnya memanen hasil tebar jala dari promosi besar-besaran,” jelas Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (12/6).

Upaya ini pun sesuai juga dengan dua strategi pemasaran, push dan pull. Di mana dengan strategi ‘push’, untuk membuat produk, layanan atau brand dikenal luas oleh masyarakat dengan cepat, perusahaan perlu mengeluarkan uang yang cukup besar. Sedangkan dengan strategi pull, perusahaan berupaya untuk menciptakan produk atau layanan bernilai tinggi yang cocok dengan sasaran pasarnya.

“Jadi, ketika branding-nya sudah berhasil, nasabah akan datang sendiri. Sama seperti fintech atau startup-startup besar yang sekarang sudah punya konsumen loyalnya sendiri,” imbuh Amin.

Ilustrasi Pixabay.com.

Namun, pendapat berbeda dilontarkan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah. Menurutnya, aksi bakar uang oleh fintech, startup, maupun perusahaan teknologi lainnya sama sekali berbeda dengan promosi besar-besaran yang kini tengah dilakukan oleh bank digital. 

Dia membeberkan aksi bakar uang oleh fintech atau perusahaan startup biasanya dilakukan dengan pemberian banyak promo dan diskon kepada pengguna aplikasi. Sedangkan promosi yang dilakukan oleh bank digital lebih banyak berupa pemberian bunga tinggi pada nasabah dengan persyaratan tertentu.

Selain itu, pemberian promo atau diskon oleh fintech maupun startup biasanya hanya dilakukan dalam waktu singkat, untuk menarik loyalitas konsumen. Sehingga, setelah kurun waktu tertentu dan perusahaan rintisan tersebut telah mendapatkan cukup banyak konsumen tetap, perusahaan akan menghentikan aksi bakar uang dan mulai menaikkan biaya layanan mereka.

“Ini dapat dilihat dari startup-startup yang ada di Indonesia, Gojek, Shopee, Grab terutama yang sudah besar. Dulu mereka menawarkan banyak sekali promosi dan diskon. Sekarang sudah tidak lagi. Tapi, meskipun sudah mulai mahal, konsumen sudah tergantung sama mereka,” jelas dia, kepada Alinea.id, Sabtu (11/6).

Sementara itu, promosi terutama pemberian bunga besar yang dilakukan oleh bank digital lebih bersifat jangka panjang. Belum lagi, bunga hanya diberikan kepada nasabah yang membuka tabungan simpanan maupun deposito dengan syarat tertentu.

“Tapi, bunga tinggi yang diberikan ini kan hanya berlaku di awal pembukaan saja. Setelah beberapa bulan, bank akan mengembalikan bunga ke jumlah semula. Jadi itu masih aman,” imbuhnya.

Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.

Di sisi lain, promosi jor-joran yang dilakukan oleh bank digital juga telah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertugas mengawasi perbankan di Indonesia. Karena persetujuan dan pengawasan dari OJK itu lah, Piter yakin, jika promosi yang dilakukan oleh bank digital telah dihitung dan dipertimbangkan secara cermat oleh manajemen.

Dus, tidak akan membuat kerugian yang harus ditanggung oleh bank digital tersebut di kemudian hari. Bank digital juga tetap bisa menjalankan fungsinya untuk memberikan layanan perbankan yang prudent kepada nasabah.

“Kalau startup, mereka tidak punya lembaga khusus yang mengawasi. Jadi mereka bisa lebih jor-joran lagi dalam melakukan promosi atau dalam hal ini mereka memang benar-benar bakar uang, menghamburkan uangnya,” imbuh dia.

Karena itu, tidak heran jika saat ini banyak perusahaan startup atau teknologi lainnya yang mengalami krisis, lantaran tidak memiliki permodalan yang kuat. Sedangkan dengan likuiditas global yang kian ketat imbas pandemi Covid-19 dan invasi Rusia ke Ukraina yang tak kunjung usai, para pemodal ventura yang kebanyakan berasal dari luar negeri lantas memperketat pembiayaan mereka pula pada para startup.

Namun demikian, baik Amin maupun Piter sepakat, untuk dapat bertahan di tengah ketatnya persaingan neobank, bank digital diharuskan untuk memperkuat permodalannya. Di samping juga harus memperluas ekosistem perusahaan.

Perluas ekosistem

Kolaborasi antara bank digital dengan marketplace maupun perusahaan lainnya, menjadi hal yang tidak dapat dielakkan. Karena hanya dengan cara ini, neobank dapat memperluas basis nasabah dengan ekosistem yang telah tercipta dari hasil kerja sama itu.

“Bank BCA bisa menjadi bank paling bagus di Indonesia, bahkan dunia karena bisa memanfaatkan ekosistem yang telah disediakan oleh Salim Group. Kesuksesan ini sebenarnya juga bisa dicapai oleh bank digital, apalagi yang punya ekosistem lengkap,” lanjut Piter.

Meski begitu, promosi besar-besaran bank digital menurut Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira hanya akan berdampak untuk jangka pendek saja, yakni dengan bertambahnya nasabah baru. Namun, untuk jangka panjang, dirinya justru khawatir jika aksi bakar uang bank digital hanya akan membuat beban promosi perusahaan akan semakin berat tiap tahunnya.

Sehingga, alih-alih mendapatkan untung dari layanan perbankan yang disediakannya, bank digital justru buntung karena harus menanggung beban bunga yang terlalu tinggi.

“Apalagi kalau nasabah yang masuk lebih banyak hanya coba-coba saja. Jadi mereka hanya mau merasakan seberapa besar bunga yang akan diberikan oleh bank. Jadi mereka menempatkan dananya kecil nggak masalah,” kata dia, kepada Alinea.id, Minggu (12/6).

Selain itu, biaya promosi yang terlampau besar juga dikhawatirkan hanya akan meningkatkan biaya operasional terhadap pendapatan perusahaan (BOPO). Padahal, ketika BOPO mengalami peningkatan, pada akhirnya dapat membuat suku bunga kredit menjadi mahal.

Ilustrasi Pixabay.com.

“Ini justru akan merugikan debitur (peminjam-red). Karena biasanya, untuk menutup pengeluaran promosi akan dibebankan ke bunga kredit, karena itu bunga kredit malah jadi mahal,” lanjutnya.

Karenanya, alih-alih mengeluarkan biaya besar untuk promosi, utamanya dengan memberikan bunga yang lebih besar dari suku bunga yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), akan lebih baik bagi bank digital untuk mengoptimalkan layanan mereka. 

Selain itu, bank digital juga dapat memanfaatkan ekosistem yang bisanya telah disediakan oleh induk perusahaan atau mitra bisnisnya yang lebih besar untuk masuk ke dalam ceruk yang tidak bisa dijamah oleh bank konvensional.

“Seperti ke pembiayaan ultra mikro misalnya. Ini kan bank konvensional tidak bisa. Dengan ekosistem yang ada, ini harusnya bisa dimasuki oleh bank digital,” kata Bhima.

Ihwal pemberian bunga yang terlampau tinggi, sebelumnya Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa telah mewanti-wanti bank digital untuk menjelaskan secara transparan kepada para nasabahnya. Karena suku bunga yang melebihi ketentuan, yakni sebesar 3,5% per tahun untuk jenis simpanan rupiah, tidak dijamin oleh LPS.

“Bagi yang tidak transparan kepada nasabah, kami akan panggil. Kemudian kami juga akan umumkan bank-bank mana saja yang suku bunga simpanannya tidak tercover penjaminan LPS,” kata dia, pada Alinea.id, Senin (13/6).

Berita Lainnya
×
tekid