sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Maju mundur kebijakan dan terseoknya sektor pariwisata

Kebijakan pemerintah yang tiba-tiba demi memutus penularan Coronavirus membuat sektor transportasi dan pariwisata kian lesu.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 04 Jan 2021 15:42 WIB
Maju mundur kebijakan dan terseoknya sektor pariwisata

Angin segar yang dinantikan sektor pariwisata pada liburan akhir tahun akhirnya berhenti berhembus. Pemerintah mendadak kembali menarik tuas rem darurat. 

Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memerintahkan kepala daerah di seluruh Indonesia untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang bertujuan mengerem laju penularan Coronavirus. Titah itu disampaikan dalam Rapat Online tentang Persiapan Menyambut Libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) yang diselenggarakan pada 17 Desember 2020 lalu.

Salah satunya, pelancong harus melakukan uji rapid antigen yang mahal. Bahkan, khusus untuk masyarakat yang ingin terbang ke Bali diharuskan untuk menyertakan bukti negatif Covid-19 dengan hasil uji Polymerase Chain Reaction (PCR).

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan kebijakan untuk menyertakan hasil rapid antigen dan PCR selama libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) bertujuan agar penerapan protokol kesehatan tetap berjalan. Ini seiring dengan upaya pemulihan ekonomi yang terus dilakukan pemerintah. 

Selain itu, kebijakan wajib tes PCR dan rapid antigen, serta pembatasan-pembatasan lainnya yang diterapkan di transportasi umum juga dilaksanakan untuk menjalankan amanat Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Serap anggaran untuk pembangunan agar ekonomi tetap berjalan, tapi juga tetap menjaga protokol kesehatan,” tutur Budi dalam konferensi press secara daring, Rabu (23/12) lalu.

Namun, kebijakan yang dikeluarkan secara mendadak itu justru berimbas besar pada pelaku usaha di sektor transportasi dan pariwisata. Sebut saja bisnis penginapan, agen travel hingga rental mobil. 

Salah seorang pengusaha rental mobil dan paket perjalanan Yoko (35) mengatakan dengan adanya peraturan wajib PCR di Bali, dirinya hanya menerima 5-6 pesanan peminjaman mobil saja dalam sehari. Pengusaha di Kerobokan, Kabupaten Badung, Bali itu menjelaskan jumlah pesanan itu naik tipis dibandingkan dengan rata-rata sewa harian pada hari biasa. Saat bukan musim liburan ia biasa menyewakan 4-5 mobil saja dalam sehari.

Namun, jika dibandingkan dengan libur Nataru di tahun 2019 lalu, usaha yang telah digelutinya sejak 2017 ini mengalami penurunan signifikan. Kala itu, dirinya dapat menyewakan sedikitnya 23-26 mobil hanya dalam sehari.

Sponsored

Travel package juga sama (mengalami penurunan signifikan). Karena banyak yang batal. Paling enggak 20% (calon wisatawan) batal,” kata pemilik Bali Travel Shop itu.

Sejumlah turis menikmati matahari terbenam di Tanah Lot, Bali 31 Desember 2020 lalu. Foto Reuters/Dicky Bisinglasi.

Tak jauh berbeda dengan Yoko, pemilik Vila DIENG Viki Aji Nurchanafi (33) bilang, tamu yang menginap di Vila miliknya mengalami penurunan hingga 60% jika dibandingkan dengan libur Nataru tahun sebelumnya. Penurunan ini selain karena inkonsistensi kebijakan pemerintah, juga disebabkan oleh ketakutan masyarakat untuk berlibur ke dataran tinggi Dieng. Pasalnya, kasus positif Covid-19 juga masih tinggi di daerah Jawa Tengah.

“Dampaknya pasti ada, jadi turun (jumlah penyewa Vila). Karena kan wisatawan jadi pada takut ke Dieng,” ujar dia.

Sementara itu, menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Budijanto, dengan kebijakan wajib PCR dan rapid test antigen membuat sedikitnya 50% calon wisatawan melakukan pembatalan perjalanan. Selain itu, sebagian calon penumpang yang membeli tiket di luar harga promosi pun terpantau telah melakukan pengembalian uang atau refund.

Hal itu lah yang membuat banyak agen perjalanan wisata mengalami kerugian besar selama libur Nataru. “Tapi bukan cuma karena ketentuan ini. Harga tiket pesawat yang naik sama banyaknya wisatawan yang was-was dengan kasus positif yang terus naik jadi penyebab lainnya,” jelas dia.

Perbanyak testing

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengungkapkan, sebenarnya dia dapat memahami alasan pemerintah yang menerapkan kebijakan dadakan ini untuk menekan angka penyebaran virus. Namun, pihaknya tak dapat memungkiri regulasi ini membuat sektor hotel dan restoran mengalami penurunan.

Lebih lanjut, Hariyadi menjelaskan, penurunan paling banyak terjadi di Provinsi Bali. Sedangkan di provinsi lain, utamanya daerah Jawa penurunan tidak terlalu tajam. Karena syarat perjalanan yang diperbolehkan untuk menggunakan hasil rapid antigen harganya relatif lebih terjangkau ketimbang tes PCR. 

Selain itu, daerah-daerah di Jawa juga masih dapat dijangkau dengan menggunakan jalur darat, seperti mobil atau kereta yang biayanya jauh lebih murah. “Tapi, seiring waktu, ada sedikit perbaikan, tapi memang tidak seperti yang diharapkan pada waktu sebelumnya. Sebelumnya kan proyeksinya, kalau kita bicara di daerah paling ramai, di Badung proyeksinya sekitar 40%, tapi dengan kejadian kemarin, diperkirakan hanya tercapai 20-30%,” katanya.

Karenanya, agar kedua sektor ini tidak semakin terpuruk, Hariyadi meminta agar pemerintah dapat lebih konsiten dalam menjalankan kebijakan. Khususnya yang terkait dengan penanganan kesehatan. Karena dengan demikian, baik pemerintah maupun dunia usaha dapat mengetahui dengan pasti berapa banyak masyarakat yang sehat dan berapa banyak pula yang telah terinveksi Coronavirus.

Sementara itu, data pasti terkait seberapa banyak masyarakat yang sehat dan telah terinveksi virus hanya dapat diketahui dengan peningkatan tes PCR dan rapid antigen. Karena itu, penting bagi pemerintah untuk menurunkan tarif kedua jenis tes tersebut. Tujuannya, agar seluruh masyarakat Indonesia dapat melakukan tes dengan harga yang jauh lebih terjangkau.

Testing harus bisa semurah mungkin, supaya semakin banyak yang bisa ditrace, kita semakin bisa mengantisipasi. Kalau testing kurang, kita kan repot. Kita mana tahu kalau enggak dites? Memang hasil lonjakannya akan besar, tapi lebih baik begitu, kita tahu harus berbuat apa,” tuturnya.

Pengunjung mengenakan masker saat berjalan di Candi Arjuna dalam Kompleks Pegunungan Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, 15 November 2020. Foto Reuters/Willy Kurniawan.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu juga meminta, agar pemerintah dapat mempercepat waktu vaksinasi. Diharapkan, proses tersebut dapat selesai tidak sampai 15 bulan lamanya.

Sementara itu, setelah pandemi dapat teratasi dan kasus positif mulai turun, Hariyadi mengingatkan pemerintah untuk tidak membiarkan sektor pariwisata sampai kolaps karena tak mampu membayar utang kepada bank. Oleh karena itu, dia menilai, pemerintah perlu memberikan tambahan modal kerja pada para pelaku usaha di sektor transportasi dan pariwisata. 

“Dan juga restrukturisasi. Kalau enggak, nanti banknya enggak mau bantu, nanti kita repot. Karena kalau dalam kondisi seperti ini kan kemampuan sektor pariwisata lemah, jadi supaya bank enggak sampai bermasalah, kan pemerintah juga harus bisa memberikan stimulus kepada si bank. Harus bisa memberikan dana talangan, supaya mereka enggak sampai bermasalah,” tegasnya.

Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S. Uno mengatakan, pihaknya akan melakukan tiga langkah besar untuk menyelamatkan industri pariwisata, yakni inovasi, adaptasi dan kolaborasi. 

Dia menjelaskan, dalam sektor ini inovasi diperlukan untuk mengubah fokus target pariwisata lebih kepada kualitas dibanding sebelumnya yang hanya menargetkan kuantitas. Selain itu, inovasi juga diperlukan sebagai dasar untuk mengakselerasi pengembangan lima destinasi super prioritas dalam waktu satu tahun ke depan.

“Inovasi baru seperti program sustainable tourism, sport tourism, digital nomad yang sebagian kerja di Jakarta atau Surabaya mungkin bisa work from destination dari Bali," kata dia dalam diskusi virtual, Minggu (3/1).

Inovasi lainnya adalah dengan membuat gelembung travel atau travel bubble, yang diisyaratkan akan dimulai dari Provinsi Bali. Travel bubble sendiri merupakan upaya pemerintah yang telah bekerjasama dengan negara lain untuk mempermudah akses wisata, utamanya bagi wisatawan asing 

Tidak hanya itu, dengan travel bubble pemerintah juga berarti membuka zona batas lintas negara yang memungkinkan warganya bepergian ke negara lain, asal tidak melampaui area yang telah ditetapkan.

Namun, untuk menerapkan kebijakan ini pemerintah Indonesia harus terlebih dulu menunggu kesiapan dari Singapura. “Kalau Singapura sudah ready, kita bisa pairing dengan Bali,” tambahnya.

Selanjutnya, jika travel bubble dilakukan, untuk mencegah penyebaran virus Covid-19 di destinasi wisata, harus ada syarat khusus seperti hasil negatif test PCR. Karena itu, pihaknya telah mengusulkan agar sedikitnya 70% dari keseluruhan warga Bali untuk diberikan vaksinasi terlebih dulu. 

“Ini akan jadi seperti New Zeland (Selandia Baru), yang sudah bisa dikunci,” jelas dia.

Sementara itu, terkait adaptasi, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu menuturkan, Kementeriannya akan berupaya untuk mendisiplinkan penerapan protokol CHSE di setiap destinasi wisata. Sandi bilang, hal ini juga dilakukan sebagai bentuk adaptasi kebiasaan baru di kala pandemi.

Adapun terkait kolaborasi, akan dilakukan Sandi dengan cara mengembangkan wisata kesehatan menuju wisata kemanusiaan. Untuk itu, dia berusaha mengajak bekerjasama sejumlah pihak, salah satunya Palang Merah Indonesia (PMI). 

“Dengan PMI, nantinya donor darah bisa diaktivasi di berbagai destinasi Tanah Air. Kita juga bisa buat paket wisata, dimana saat masyarakat datang ke satu resort dengan penerapan protokol yang ketat dan disiplin, di situ juga bisa berdonor darah,” tutupnya.

Kebijakan tidak fokus

Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen Agus Pambagio mengatakan, semua kebijakan publik yang muncul sejak pandemi Covid-19 hingga sekarang, sebagian besar tidak fokus dan menyalahi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

Hal itu terlihat dari inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat.  

“Banyak dari peraturan pelaksanaan UU yang tumpang tindih, ambigu, mengandung banyak kata ‘kecuali, sehingga sulit diimplementasikan. Akibatnya banyak pelanggaran peraturan namun tidak dapat dikenakan sanksi, baik administrasi maupun pidana. Makanya, percuma saja aturan-aturan ini dibuat,” kata dia kepada Alinea.id, Minggu (3/1).

Adapun beberapa aturan yang disoroti Agus antara lain, regulasi terkait vaksin Covid-19 yang hingga kini masih belum jelas. Misalnya terkait bagaimana penanganan vaksin hingga prosedur vaksinasi. Padahal, aturan ini seharusnya menjadi regulasi pamungkas pemerintah untuk menangani wabah sekaligus juga bisa menenangkan masyarakat dan dunia usaha.

Inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakannya dapat dilihat dari pelonggaran mudik Lebaran oleh Kementerian Perhubugan dan Gugus Tugas Covid-19 pada saat kurva jumlah pasien positif Covid-19 masih tinggi.

Kebijakan yang dibuat dengan harapan dapat menggairahkan transportasi dan pariwisata yang terpuruk karena pandemi itu, justru berakibat sebaliknya. Kurva penyebaran virus semakin tinggi, tidak hanya di Jakarta, namun juga di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

“Meski saat ini data terinfeksi terus naik, masyarakat dan pemerintah tampaknya sudah tidak begitu peduli dengan pandemi. Buktinya pemerintah tenang-tenang saja sambil terus mendorong pertumbuhan ekonomi lari kencang,” imbuh dia.

Menurutnya, setelah kebijakan terkait libur Nataru disampaikan, calon wisatawan banyak yang langsung membatalkan tiket dan membatalkan booking kamar hotel. "Habislah potensi pendapatan saat Nataru yang diharapkan dapat mengurangi kerugian bisnis di tahun 2020,” tutur Agus.

Senada dengan Agus, Ekonom Senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati juga menilai implementasi kebijakan oleh pemerintah yang setengah-setengah itu justru kian memperburuk kondisi sektor transportasi dan pariwisata yang sudah kritis. Lebih parahnya lagi, inkonsistensi pemerintah juga dapat membuat sektor industri lainnya kembali terseok-seok.

“Kalau dihitung secara ekonomi, manfaat secara ekonomi dari dibukanya transportasi dan pariwisata, malah jauh lebih kecil daripada efek dan dampak dari peningkatan Covid-nya. Karena, kalau Covid ini meningkat secara drastis lagi, maka kan pengetatannya akan terjadi di seluruh sektor,” ujar dia, Sabtu (2/1).

Sebaliknya, jika pemerintah dapat konsisten menjalankan kebijakan-kebijakannya sekaligus juga terus berupaya mengendalikan penyebaran virus dengan meningkatkan test, tracking dan tracing, Enny yakin, perekonomian nasional akan semakin cepat pulih. Setidaknya, yang terdampak cukup dalam hanya sektor transportasi dan pariwisata saja, tidak menyebar ke sektor lainnya.

Pelonggaran kebijakan, menurutnya, hanya bisa dilakukan ketika kurva pasien positif Covid-19 sudah melandai dan bahkan tidak ada penyebaran lagi. Selanjutnya, pelonggaran kebijakan juga hanya dilakukan pada beberapa sektor yang dapat menerapkan protokol kesehatan dengan mudah seperti sektor industri dan usaha. Tidak termasuk sektor transportasi dan pariwisata.

“Sektor pariwisata dan transportasi ini memang potensi (penularan) lebih besar, karena dia di kerumunan dan di area terbuka. Pariwisata kalau tiba-tiba membludak kan ngeri juga. Itu yang akhirnya menyulitkan,” jelas Enny.

Hal yang sama juga terjadi pada sektor transportasi. Sektor ini sudah menerapkan protokol kesehatan dengan social distancing. Artinya, moda transportasi hanya  boleh mengangkut 50% dari kapasitas yang tersedia.

"Kalau begitu enggak efisien. Karena kalau hanya 50%, masyarakat yang membayar tiket juga keberatan, transportasinya juga pasti rugi, sementara pemerintah enggak bisa kasih subsidi. Sehingga, memang pilihannya jangan menciptakan peluang,” lanjutnya

Berita Lainnya
×
tekid