sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perang bisnis startup di warung kelontong

Perusahaan rintisan (startup) banyak menggandeng warung tradisional.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Selasa, 10 Des 2019 20:34 WIB
Perang bisnis startup di warung kelontong

Credit Lyonnais Securities Asia (CLSA), sebuah lembaga riset keuangan berbasis di Hong Kong, mengeluarkan laporan bertajuk “Indonesia’s New Digital Battleground” (September, 2019). Di dalam riset itu disebutkan, warung tradisional di Indonesia masih mengontrol sekitar 65%-75% dari total penjualan ritel.

Bahkan, diperkirakan nilai rantai pasok produk ke warung tradisional mencapai US$58 miliar, atau sekitar Rp817 triliun per tahun.

Ceruk potensial ini kemudian menjadi lahan bagi layanan pembayaran hingga perusahaan teknologi untuk bisnis online to offline. Sistem ini memotong jalur distribusi rantai produk dari produsen ke warung, terutama kategori fast moving consumer goods (FMCG).

Startup macam Bukalapak, Tokopedia, Warung Pintar, dan Wahyoo menjadi contoh pemain dalam bisnis ini.

Mitra tak selalu untung

Salah satu warung mitra Bukalapak. /facebook.com/Mitra-Bukalapak

Haryono, seorang pemilik warung kelontong di daerah Ciputat, Tangerang Selatan, sudah bergabung menjadi mitra Bukalapak sejak setahun lalu. Awal bergabung, ia kerap membeli barang-barang kebutuhan untuk warungnya melalui aplikasi itu.

“Karena kan simpel dan efisien,” ujar Haryono saat ditemui Alinea.id di Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (9/12).

Sponsored

Akan tetapi, saat ini dirinya sudah jarang membeli barang-barang kebutuhan untuk jualan di Bukalapak. Sebab, kata dia, harganya sudah tak lagi kompetitif.

"Harganya sama saja dengan di agen, enggak ada bedanya," ucap dia.

Selain itu, Haryono mengaku, stok barang di Bukalapak tidak selengkap agen konvensional. Petugas pengantar dari Bukalapak pun, kata Haryono, banyak yang tidak tahu lokasi warung miliknya.

“Padahal titik lokasinya sudah tepat. Jadi, mau tidak mau saya harus ke jalan raya,” katanya.

Meski begitu, Haryono masih menggunakan aplikasi Bukalapak untuk berjualan pulsa, token listrik, dan bayar air.

Tak jauh dari warung kelontong milik Haryono, Alinea.id mengunjungi warung nasi yang di depannya terpampang spanduk berwarna kuning, bertuliskan Wahyoo. Namun, sang pemilik warung, Suparman, mengaku belum pernah menggunakan aplikasi Wahyoo untuk berbelanja.

Wahyoo merupakan platform jasa bagi pemilik warung makan, yang menyediakan aneka layanan, seperti penjualan pulsa, edukasi usaha katering, program asistensi bisnis, hingga standar kebersihan warung.

Wahyoo bekerja sama dengan beberapa merek terkenal untuk menjual dan promosi di warung mitra. Keuntungan yang akan didapat pemilik warung adalah akses mudah dan cepat produk FMCG, poin yang bisa ditukar hadiah umrah dan haji, pelatihan mengelola keuangan, memilih menu makanan yang sehat, hingga pelatihan memasak.

Suparman mengaku, beberapa bulan lalu ada petugas dari Wahyoo yang datang menawarkan kerja sama untuk bergabung menjadi mitra. Petugas itu menjelaskan kelebihan dan cara menggunakan aplikasi.

“Saya belum tertarik bergabung, tetapi petugas Wahyoo tetap mendata alamat warung nasi dan meminta izin memasang banner Wahyoo di depan warung,” kata dia saat ditemui di Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (9/12).

Bukan tanpa alasan ia tak tertarik bergabung. Pasalnya, Suparman pernah kapok memanfaatkan platform digital untuk kebutuhan usahanya.

Ia mengatakan, dahulu pernah menggunakan Stoqo. Stoqo merupakan aplikasi online yang menjual sembako untuk bisnis kuliner.

Suatu hari, akun Stoqo-nya pernah disalahgunakan orang lain. Seharusnya, satu akun hanya untuk satu warung, tetapi ternyata akun miliknya digunakan tiga orang yang berbelanja mengatasnamakan akunnya.

“Saya kaget ada yang telepon pesanannya banyak,” kata dia.

Inovator vs akselerator

Salah satu mitra warung Warung Pintar. /facebook.com/warungpintar.co.id.

Dibandingkan pesaingnya, Bukalapak mungkin yang paling banyak menggaet mitra. Menurut Head of Corporate Communications Bukalapak Intan Wibisono mengatakan, hingga kini pihaknya sudah memiliki mitra 1,2 juta warung di 477 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.

Pesaing Bukalapak, Tokopedia hingga Oktober 2019 punya mitra aktif 350.000. Warung Pintar, hingga Juni 2019 memiliki mitra lebih dari 2.000 warung di Jabodetabek dan Banyuwangi. Sementara Wahyoo, hingga November 2019 menggandeng lebih dari 12.000 mitra warung makan.

Intan menuturkan, sudah lama Bukalapak melihat peluang warung digital. Menurutnya, banyak kemudahan yang akan didapat mitra warung Bukalapak. Salah satunya, mereka bisa membeli stok barang melalui pusat distribusi Bukalapak, yang tersebar di beberapa kota.

"Harga barang grosirnya untuk jualan juga sangat kompetitif di pasaran," kata Intan saat dihubungi, Minggu (8/12).

Dihubungi terpisah, CEO Wahyoo Peter Shearer mengatakan, Wahyoo hanya berfokus pada usaha mikro warung makanan. Menurutnya, hingga kini sudah 13.000 warung makan yang bergabung menjadi mitra.

"Peningkatannya sangat signifikan. Di 2018 kami menargetkan ada sebanyak 2.000 warung makan Wahyoo," kata Peter saat dihubungi, Rabu (11/12).

Saat ini, kata dia, Wahyoo baru ada di empat lokasi, yaitu Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Ia menilai, lokasi tersebut dipilih karena merupakan pusat bisnis dan ekonomi, terutama usaha mikro warung makanan.

Pada 2020, pihaknya akan ekspansi ke daerah Bogor, Jawa Barat. Peter mengatakan, Wahyoo didirikan karena melihat peluang dari banyaknya warung makan yang belum terorganisir dan masih bermain secara individu. Padahal, kata dia, di era digital warung makan seharusnya beralih dan mengembangkan inovasi, terutama untuk meningkatkan pendapatan.

"Warung makan itu kan belum ada yang digital. Kami melihat, setiap orang pasti makan di warteg dan sangat relevan dengan mayarakat Indonesia," ujarnya.

Ia mengatakan, ada beberapa kelebihan jika warung makan bergabung menjadi mitra Wahyoo. Mereka akan mendapatkan pelatihan, pembimbingan, pendapatan, dan kemudahan.

"Pelatihan dan pembimbingan bertujuan agar warung makan dapat dikelola dengan tepat," katanya.

Menurut Peter, umumnya warung makan mengalami kesulitan dalam mengatur sirkulasi keuangan. Untuk itu, Wahyoo juga menyediakan fitur agar mereka dapat menghitung pendapatannya sendiri per hari.

Selain itu, Peter menyebut, mitra Wahyoo bisa memperoleh pendapatan tambahan bersumber dari iklan yang dipasang di warung.

"Untuk pembagian keuntungan dari iklan beragam. Tergantung kompleksitas. Pembagiannya bisa 60%-40%, 70%-30%, atau bisa 50%-50%,"

Lanjut Peter, layanan yang saat ini tersedia, yakni belanja bahan baku, seperti sembako dan sayuran, fitur kalkulasi keuangan, serta fitur menabung.

"Mereka bisa beli sembako, seperti beras, minyak goreng, gula, telur, minuman dalam kemasan. Dan untuk sayuran, kita bermitra dengan Sayurbox dan Tanihub," ujar dia.

Peter mengaku, Wahyoo belum terintegrasi dengan pembayaran digital. Namun, pihaknya tetap menyediakan alat transkasi digital, terutama bagi mitranya yang membutuhkan.

Ketua Asosiasi Digital Entrepreneur Indonesia (ADEI) Bari Arijono mengatakan, ada dua klasifikasi karakter platform digital. Pertama, platform inovator, yang sengaja dibuat untuk target tertentu, seperti memberdayakan usaha mikro. Misalnya, Wahyoo dan Warung Pintar.

Kedua, akselerator, yang menjadikan usaha mikro hanya sebagai salah satu dari sekian banyak target pasar yang dimiliki. Contohnya, Tokopedia dan Bukalapak.

“Inovator itu langsung kepada target. Kalau akselerator cakupannya lebih besar,” ujar Bari saat dihubungi, Senin (9/12).

Bari menjelaskan, platform Wahyoo dan Warung Pintar lebih cocok diterapkan di Indonesia. Alasannya, dua startup itu memberi tambahan pendapatan, mengatur pelayanan, dan sirkulasi keuangan tanpa menghilangkan eksistensi usaha mitra warung.

"Itu paling efektif dilakukan di Indonesia terutama untuk mengangkat ekonomi usaha mikro, dibandingkan lewat Tokopedia," ucap dia.

Startup seperti Bukalapak maupun Tokopedia, menurut Bari, tak cocok juga dijadikan sebagai tempat berjualan untuk pengusaha mikro. Sebab, ada persaingan antarplatform digital besar, yang menyulitkan pemain kecil bisa bersaing.

Nilai positif

Di sisi lain, Bari mengatakan, inovasi digital bukan merupakan wujud kapitalisasi usaha mikro, tetapi memberi solusi dan kemudahan, seperti transaksi dan ketersediaan barang.

"Itu semuanya justru akan melengkapi warung-warung yang sudah ada, utamanya ke digitalisasi, tanpa menghapuskan atau merusak, apalagi menggantikan warung yang sudah mereka bangun sebelumnya," ujarnya.

Menurut Bari, pengusaha mikro akan sangat diuntungkan jika bermitra dengan perusahaan digital. Ia menyebut, akan ada poin, informasi, dan pelatihan untuk meningkatkan pendapatan dan kualitas pelayanan.

“Kalau di Wahyoo pasti dilengkapi banner, stiker, dan transaksi bisa secara online atau nontunai,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, pengaruh positif bila mitra warung bermitra dengan startup, akan punya pencatatan keuangan yang lebih teratur. Hal itu dapat meningkatkan potensi permodalan usaha.

Infografik. Alinea.id/Dwi Setiawan.

"Bagi pemilik warung, distribusi barang akan lebih mudah dan murah," kata Huda saat dihubungi, Minggu (8/12).

Lebih lanjut, menurut dia, distributor konvensional nanti juga akan melihat peluang digital ini. Mereka secara perlahan akan beralih ke digital, sehingga bisa bersaing dengan distributor online.

"Ini bagus buat ekonomi karena akan menekan biaya distribusi," ucap dia.

Sementara dari pengusaha bisnis digital, bergabungnya usaha-usaha mikro akan menambah daya sebar dan membuat platform mereka dikenal banyak orang.

"Nilai valuasi platform tentu akan semakin meningkat," kata Huda. "Grab, Bukalapak, Tokopedia, hingga Gopay dan OVO berlomba-lomba untuk menjadikan warung kelontong sebagai mitranya.”

Berita Lainnya
×
tekid