sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Proyek cetak sawah penangkal krisis pangan, manjurkah?

Cetak sawah menjadi strategi di tengah bayang-bayang krisis pangan saat pandemi Covid-19.

Syah Deva Ammurabi
Syah Deva Ammurabi Rabu, 06 Mei 2020 18:26 WIB
Proyek cetak sawah penangkal krisis pangan, manjurkah?

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperingatkan negara-negara di seluruh dunia untuk mewaspadai ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Karantina wilayah yang diterapkan oleh berbagai negara berpotensi mengganggu rantai pasok pangan dunia.

“Disrupsi, terutama di bidang logistik akan terwujud pada bulan-bulan mendatang. Pemerintah meluncurkan kampanye besar-besaran melawan virus corona dan rencana tersebut harus mencakup langkah-langkah untuk mengurangi guncangan terhadap rantai pasok pangan,” ungkap Kepala Ekonom FAO Maximo Torero Cullen dalam pernyataan resmi, Kamis (26/3) lalu.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menitahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mencetak lahan sawah baru sebagai salah satu upaya menggenjot produksi beras dalam negeri. “Manajemen pengelolaan beras di dalam negeri menjadi kunci bagi antisipasi krisis pangan yang beberapa bulan ini disampaikan oleh FAO. Oleh karena itu, kalkulasi secara detil,” perintahnya dalam rapat terbatas pada Selasa (28/4) silam. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, pihaknya tengah menyiapkan 900.000 hektare lahan basah yang terdiri dari lahan rawa dan gambut untuk mendukung program tersebut. “Sudah siap 300.000 hektare. Juga yang dikuasai BUMN sekitar 200.000 hektare,” tutur Airlangga.

Sepekan kemudian, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyebut angka berbeda, yakni 400.000 hektare lahan basah dan 200.000 hektare lahan kering. Dia juga menyebut pelibatan BUMN dilakukan lantaran masih banyak lahan-lahan perusahaan yang belum dimanfaatkan.

“MoU-nya kami buat. Ini masuk dalam strategi kita yang 600.000 hektare itu untuk diperkuat. Bahkan, lahan-lahan kehutanan marginal yang bisa dilakukan tanaman pangan itu pun masuk instruksi presiden. Tapi orientasi teknisnya masuk ke kementerian pertanian,” beber Syahrul dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI, Senin (4/5).

Di lain kesempatan, Syahrul menargetkan panen sebesar 20 juta ton gabah kering giling (GKG) yang setara 12 juta ton beras pada musim tanam kedua 2020. Gabah tersebut dihasilkan dari 5,6 juta hektare sawah eksisting. Oleh sebab itu, dia mendorong para petani agar segera menanami kembali lahannya karena sebagian besar wilayah Indonesia masih turun hujan pada Mei-Juni menurut prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Seorang petani memikul benih padi yang akan di tanam pada lahan pertanian di wilayah Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (5/5/2020). Kementerian Pertanian tengah mempersiapkan kerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pembukaan lahan pertanian atau cetak sawah seluas 600.000 hektare yang terdiri dari 400.000 hektare lahan gambut dan 200.000 hektare lahan kering sebagai antisipasi terjadinya kekeringan dan ancaman kelangkaan pangan, seperti yang diperingatkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Foto Antara/Aloysius Jarot Nugroho/foc.

Sponsored

Berdasarkan perhitungan Kementan, sisa stok beras pada Desember 2020 diprediksi hanya mencapai 1,8 juta ton, sehingga diperlukan tambahan sekitar 1 juta ton beras. “Maka dari itu, kita akan masuk di lahan rawa 400 .000 hektare dan lahan yang tidak terpakai itu (lahan kering) 200.000 hektare. 3 ton per hektare aja setara dengan 1,8 juta ton gabah giling panen bisa mem-backup 50% saja, bisalah tambahan 900.000 ton beras,” sambung Syahrul dalam telekonferensi, Selasa (5/5).

Anggaran proyek tersebut masih disiapkan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Di sisi lain, anggaran cetak sawah Kementan sebesar Rp209 miliar untuk tahun 2020 malah dihilangkan dan hanya tersisa anggaran survei, investigasi, dan desain (SID) lahan sawah sebesar Rp 10 miliar.

“Ini untuk 5 provinsi yang memang sudah melakukan (kontrak) SID, yaitu Lampung, Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Tengah,” ungkap Direktur Jenderal PSP Kementan Sarwo Edhy dalam rapat kerja dengan Komisi DPR IV, Rabu (29/4).

Masih dalam kajian

Menurut surat yang diterima oleh Alinea.id, PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) selaku kepala perusahaan holding BUMN Pangan mengundang Direktur Utama Perum Perhutani, Direktur Utama Pupuk Indonesia Holding Company, PT Sang Hyang Seri atau SHS (Persero) dan PT Pertani (Persero) untuk membahas rencana pencetakan sawah baru dan rencana redistribusi lahan untuk lahan tanaman pangan (sawah) pada Kamis (30/4) silam. 

Ketika dikonfirmasi, Sekretaris Perusahaan PT RNI (Persero) Emmi Mintarsih mengatakan, wacana pencetakan sawah yang diamanatkan Presiden masih dalam kajian awal dan belum ada penugasan resmi terkait proyek tersebut. “(Detilnya) belum bisa kami sampaikan,” kata Emmi singkat kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Selasa (5/5).

Senada dengan Emmi, Kepala Komunikasi Korporat Pupuk Indonesia Holding Company Wijaya Laksana mengaku pihaknya juga belum mendapat penugasan resmi. “Kami pada intinya mendukung program pemerintah tentang ketahanan pangan, terutama dari penyediaan pupuknya,” tulis wijaya melalui pesan singkat, Selasa (5/5).

Dilansir dari Medcom, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengaku pihaknya masih memetakan potensi lahan-lahan yang dimiliki oleh BUMN. Oleh sebab itu, dia masih belum mengetahui target penyelesaian proyek cetak sawah tersebut.

"Ini memang sudah masuk dalam tugas yang diberikan Pak Jokowi kepada Pak Erick Tohir (Menteri BUMN) untuk menjadikan food security di Indonesia," ujar Arya pada Rabu (29/4).

Sarwo Edhy dari Kementan mengungkapkan, pendanaan proyek cetak sawah itu berasal dari BUMN. “Bagaimana dari sisi pertaniannya? Kita hanya melakukan pembinaan teknis. Itu atas perintah presiden,” kata Sarwo Edhy.

Tak luput dari masalah 

Bukan kali ini saja BUMN terlibat dalam proyek cetak sawah. Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan sempat merencanakan pembukaan lahan sawah sebesar 4.000 hektare di Ketapang, Kalimantan Barat yang berjalan selama tahun 2012-2014. 

Namun, proyek tersebut bermasalah lantaran ada dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp67,96 miliar dan menjebloskan mantan Direktur Utama PT SHS Upik Rosalina Wasrin ke dalam penjara. 

Pelaksanaan proyek tersebut sempat beralih dari PT SHS kepada Pupuk Indonesia Holding Company yang dianggap lebih kompeten. “Untuk sawah di Ketapang itu, kami hanya untuk keperluan riset,” kata Wijaya kepada Alinea.id ketika dikonfirmasi soal penugasan tersebut.

Di lain pihak, Kementan melalui Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) telah mencetak 224.977 hektare sawah selama kurun waktu 2015-2019. Namun, “prestasi” tersebut tak luput dari sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pasalnya, dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2019, BPK menemukan adanya sejumlah penyimpangan dalam kegiatan perluasan sawah dan implementasi Nota Kesepahaman antara Menteri Pertanian dengan Kepala Staf TNI AD (2015) dan Panglima TNI (2016-2017) mengenai Perluasan Lahan melalui Swakelola Instansi Pemerintah Lainnya tahun 2015-2017. 

 

Kerjasama tersebut menyebabkan adanya kerugian negara sebesar Rp404,36 miliar karena adanya 9 masalah sistem pengendalian internal, 6 masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta 6 masalah ekonomis, efisiensi, dan efektivitas. Pada waktu itu, Menteri Pertanian dijabat oleh Andi Amran Sulaiman, sedangkan Kepala Staf TNI AD maupun Panglima TNI dijabat oleh Gatot Nurmantyo.

Cetak sawah skala besar sulit dilakukan

Pakar Ilmu Tanah dari Institut Pertanian Bogor Basuki Sumawinata menjelaskan secara teknis bagaimana pelaksanaan cetak sawah. Menurutnya, ekosistem sawah baru dapat stabil paling cepat 3-5 tahun apabila dilakukan secara tepat.  

“Untuk sementara beli (impor beras) saja, daripada mencetak sawah sekarang. Wong kekurangan pangannya dikhawatirkan terjadi pada Desember ini. Kalau sekarang baru rencana buka, panennya kapan?” ujar Basuki kepada Alinea.id, Selasa (5/5).

Menurutnya, pembukaan sawah di lahan gambut sulit dilakukan karena ketinggian air harus dipertahankan sekitar 5-10 cm di atas permukaan tanah gambut yang bersifat porous (berpori). Sifatnya yang porous menyebabkan air akan hilang apabila tidak ada air yang masuk. Selain itu, permukaannya tak selalu datar karena adanya kubah gambut dan kedalaman gambut yang bervariasi. 

Dia menyebut proyek pengembangan lahan gambut (PLG) satu juta hektare sebagai bukti kegagalan pencetakan sawah di lahan gambut. “Kasus kegagalan lahan gambut sejuta hektare bukan hanya disebabkan oleh mismanajemen, tetapi secara ilmiah penerapan teknologi waktu itu sangat jauh dari ideal,” kata Ketua IV Himpunan Gambut Indonesia tersebut.

Menurutnya, beberapa regulasi menghambat pengembangan budidaya padi di lahan gambut. Pertama, Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Mengacu pada peraturan tersebut, banyak lahan ditetapkan sebagai kawasan hidrologis gambut yang sebagian areanya memiliki fungsi kawasan lindung. Lahan yang masuk kategori ini adalah sebagian besar lahan gambut eks PLG satu juta hektare.

Kedua, Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2011 tentang Sungai dan Peraturan Menteri PUPR No. 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Danau. Kedua peraturan tersebut tidak menyebut sawah secara eksplisit sebagai kegiatan yang diperbolehkan di sempadan sungai maupun danau. Padahal, lahan di pinggir sungai dan danau relatif lebih subur.

Basuki menambahkan, budidaya padi di lahan rawa juga relatif sulit karena hanya dapat dilakukan pada musim kering. Sementara di musim hujan, tanaman padi sulit tumbuh dalam kondisi air rawa yang relatif tergenang dan tidak mengalir. 

Solusinya adalah dengan membangun polder atau tanggul keliling yang dilengkapi pompa pada lahan rawa, sehingga memungkinkan penanaman di musim hujan. Hal ini telah sukses diterapkan pada perkebunan sawit di lahan rawa, meskipun biayanya mahal dan tidak mudah dilakukan.

Di sisi lain, lahan kering yang tersedia juga terbatas karena sudah terpakai untuk penggunaan industri, permukiman, dan perkebunan. Budidaya padi di lahan berlereng curam juga memakan waktu dan biaya karena memerlukan teras.

“Jadi sebetulnya masalah mendasar, tanahnya enggak ada. Lahan kita 190 juta hektare, kawasan hutan 120 juta hektare. Kalau kamu bongkar itu, kita punya ruang gerak 70 juta hektare. Kota dan perumahan lebih 10 juta hektare, lebih jangan-jangan. Kebun sawit sebut saja 20 juta, kakao 2 juta, sawah 7 juta, belum yang lainnya. Terus lahan mana lagi?” ujarnya.

Melihat banyaknya kegagalan dalam proyek pengembangan sawah skala luas, Basuki pesimistis proyek pencetakan sawah ala Jokowi akan berhasil. Dia justru menyarankan pengembangan lahan sawah sebaiknya dilakukan dalam skala kecil yang selama ini berhasil dilakukan. Menurutnya, mencetak sawah seribu hektar saja sudah bagus.
 
“Untuk mengerjakan sawah pada skala industri tentu perlu didukung mekanisasi. Pertanyaannya, apakah sudah ada planter (mesin penanam) dan harvester (mesin pemanen) yang dapat bekerja di tanah yang lunak? Apabila digunakan hand tractor, berapa puluh ribu tenaga kerja yang diperlukan?” ungkapnya.

 

 

Silang pendapat ekonom pertanian

Pendapat berbeda diutarakan Guru Besar Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor Muhammad Firdaus. Ia mengapresiasi proyek pencetakan lahan sawah baru yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, pemerintah sudah berada pada jalur yang benar dalam menjawab ancaman krisis pangan yang didengungkan oleh FAO.

“Mengembangkan lahan pertanian itu (cetak sawah) untuk mengurangi ketergantungan terhadap pangan, itu iya. Tapi perlu ada syarat yang dipenuhi. Pertama, infrastruktur. Kedua, SDM (Sumber Daya Manusia),” jelasnya dalam telekonferensi, Selasa (5/5).

Menurutnya, pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan blockchain juga menjadi kunci untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menjawab seretnya proses regenerasi petani yang didominasi oleh generasi tua. “Dengan teknologi, orang-orang muda akan terjun ke sektor pertanian,” lanjutnya.

Sementara itu, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felipa Ann Amanta berpendapat, pencetakan lahan sawah bukanlah solusi yang tepat dalam menghadapi ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19 karena membutuhkan waktu yang lama.

“Jika dilakukan secara tergesa-gesa, proyek pencetakan lahan sawah baru yang memakan modal besar ini malah menimbulkan risiko gagal panen yang merugikan petani dan risiko kerusakan lingkungan yang lebih besar,” ungkap Felipa, Selasa (5/5).

Felipa berpendapat, pemerintah sebaiknya memperkuat produksi padi melalui pemberian fasilitas teknologi, sarana prasarana, dan kemudahan kredit usaha kepada petani. Kemudian, produksi domestik perlu diserap secara maksimal yang diiringi dengan importasi apabila suplainya masih kurang. Selain itu, pemerintah harus menjamin kelancaran distribusi dan logistik beras kepada masyarakat dalam kondisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah.

Presiden Jokowi menggulirkan kembali program cetak sawah untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan. Alinea.id. Oky Diaz.

Berita Lainnya
×
tekid