sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sepanjang 2019 penipuan lewat fintech capai 500 kasus

AFPI mencatat pengaduan dari korban fintech P2P lending mencapai 500 kasus sejak Januari hingga awal Maret 2019.

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Jumat, 08 Mar 2019 17:14 WIB
Sepanjang 2019 penipuan lewat fintech capai 500 kasus

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mencatat pengaduan dari korban fintech peer-to-peer (P2P) lending mencapai 500 kasus sejak Januari hingga awal Maret 2019.

Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoka menjelaskan pengaduan itu masuk melalui saluran informasi atau posko pengaduan nasabah fintech P2P lending. Sarana tersebut disediakan di laman AFPI.

"Jendela ini sudah ada tiga bulan, yang melapor tidak banyak. Dari 500 pengaduan ini sebanyak 70 persen itu terkait fintech ilegal," ujar Sunu.

Sementara, kata Suni, sisanya sebanyak 30% menyangkut fintech P2P lending legal atau yang sudah tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun demikian, ia tak merinci lebih lanjut nama fintech P2P lending yang diadukan oleh nasabah. 

"Intinya, kami berkomitmen memenuhi apa yang menjadi fokus pelanggan, terkait masalahnya campur ada soal penagihan, bunga, dan lain-lain pokoknya banyak," terang dia. 

Sunu mengatakan, pihaknya tidak bisa membuka sepenuhnya mengenai permasalahan nasabah yang mengadu ke saluran informasi milik AFPI. Namun, seluruh aduan tersebut sudah diproses di bagian internal AFPI dan akan diserahkan ke OJK. 

"Kami ada komite etik, beberapa sudah sampai komite etik untuk ditangani," kata Sunu. 

Adapun seluruh nasabah yang menjadi korban fintech dapat mengadu ke Jendela milik AFPI melalui telepon ke 150505 dan surat elektronik (email) ke pengaduan@afpi.or.id. Jam kerja tempat pengaduan korban fintech ini dimulai dari 08.00-17.00 WIB setiap Senin sampai Jumat. 

Sponsored

"Untuk karyawannya, ada tiga sampai empat. Intinya kami berjalan sesuai kebutuhan, karena kami melihat ada yang melapor ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tapi sudah enam bulan kasusnya tetap gantung," kata Sunu. 

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK Riswinandi menambahkan pihaknya tak serta-merta langsung mencabut izin operasional perusahaan jika memang ada fintech legal yang diadukan melalui AFPI. Sebelum sampai tahap itu, AFPI dan OJK perlu mempelajari betul kasus yang diadukan oleh nasabah. 

"Tergantung isunya apa, tidak bisa langsung bilang akan dicabut. Lihat dulu siapa yang salah, nanti akan dilihat," ujarnya.

Pengawasan lewat AFPI

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah meresmikan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). 

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi mengatakan, kehadiran AFPI sebagai wadah bagi seluruh penyelenggara fintech P2P lending dalam meningkatkan kapasitasnya.

"Diharapkan dengan keberadaan asosiasi, industri Fintech P2P Lending dapat bertumbuh kuat dan sehat serta bermanfaat bagi kalangan yang belum terlayani oleh lembaga keuangan konvensional," kata dia.

Di sisi lain, AFPI menjadi mitra strategis OJK dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan para penyelenggara Fintech P2P Lending sesuai dengan penunjukan OJK No. S- D.05/IKNB/2019. 

Keberadaan AFPI ini juga sesuai dengan Peraturan Otoritas jasa Keuangan No 77/POJK.01/2016 Bab XII Pasal 48, maka seluruh penyelenggara Fintech P2P Lending di Indonesia wajib mendaftarkan diri sebagai anggota AFPI. 

Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan AFPI telah menyiapkan arsitektur yang diawasi oleh komite etik. Arsitektur AFPI terdiri dari policy advocacy, code of conduct (pedoman perilaku sebagai dasar AFPI menjalankan market conduct), literasi dan edukasi, dat aknowledge and intelligence, serta kolaborasi.

Code of conduct (Coc) ini akan melindungi konsumen, seperti larangan mengakses kontak dan juga penetapan biaya maksimal pinjaman. Dalam kode etik tersebut, AFPI menetapkan total biaya pinjaman tidak boleh lebih dari 0,8% per hari dengan penghasilan maksimal 90 hari. 

AFPI juga tengah mengembangkan pusat data fintech, terutama untuk mengindikasi peminjam yang nakal. Jika peminjam tidakmelunasi utang dalam 90 hari, maka akan tercatat pada pusat data fintech sebagai peminjam bermasalah.
 

Berita Lainnya
×
tekid