Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan, disinformasi, misinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian (hate speech) menjadi tantangan demokrasi di era digital karena dapat menciptakan disorientasi dan memecah belah masyarakat.
Bahkan, lanjutnya, negara dengan sistem demokrasi sekuat Amerika Serikat (AS) yang telah menikmati kebebasan berbicara dan berpendapat selama 200 tahun lebih pun saat ini kelimpungan menghadapi tantangan tersebut. Ancaman serupa juga membayangi demokrasi di Indonesia.
"Saya merasa kita melihat dengan kasat mata bagaimana adanya disinformasi yang di-mainstream-kan," katanya dalam sambutan di acara Kongres Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) II secara daring, Sabtu (22/8).
Sri Mulyani pun menyoroti orientasi media saat ini yang cenderung menyajikan berita dengan judul bombastis demi memburu klik (viewers).
"Kalau performance indikatornya berdasarkan klik dan klik itu selalu dijudulkan dengan yang bombastis, kalaupun isinya benar, judulnya misleading," ungkapnya.
Dia pun mengaku sering menjadi korban dari praktik media semacam itu, di mana ucapannya diolah sedemikian rupa menjadi satu kutipan yang kontroversial. Sehingga, ada perbedaan dalam judul dengan isi berita.
"Saya sering menjadi fiktif gitu itu. Jadi, judulnya apa, isinya apa. Kami dalam suasana yang luar biasa jadinya full stresses karena rasanya saya ngomong kayak gitu, kenapa jadi begitu, ya, judulnya," ucapnya.
Namun demikian, Sri Mulyani memahami kebutuhan media di era digital yang membutuhkan judul kontroversial agar memantik klik pembaca dan meningkatkan pengunjung situs webnya.
"Tapi karena saya tahu, bahwa teman-teman pengin ada kliknya. Kalau ada kata Sri Mulyani ngomong sesuatu yang ada kontroversi, pasti diklik. Jadi, saya juga memahami itu," sambungnya.
Akan tetapi, dirinya berharap, seluruh entitas di dalam sistem demokrasi dapat menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan tanggung jawab terhadap publik, termasuk juga di tataran pengambil kebijakan.
"Bagaimana kita bisa membanjiri dengan konten yang memang baik tanpa menimbulkan element censorship atau selalu finding the right balance between freedom of speech, expression dengan yang disebut responsibility secara publik bersama," tuturnya.