Strategi investasi atasi Trump effect
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) berdampak signifikan terhadap pasar finansial imbas dari potensi kebijakan proteksionis. Investor perlu melakukan diversifikasi portofolio investasi di tengah ketidakpastian global.
Trump mengedepankan kebijakan yang pro-pertumbuhan ekonomi domestik AS dan kebijakan proteksionis melalui tarif impor. Dalam kampanyenya Trump mengatakan akan mengenakan tarif 60% hingga 100% untuk impor dari China, dan tarif universal 10% hingga 20% untuk impor dari negara lain. Selain itu, Trump juga memiliki agenda untuk memangkas pajak korporasi dari 21% menjadi 15% yang diperkirakan dapat menjadi faktor positif bagi pertumbuhan laba perusahaan AS.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengatakan kebijakan proteksionisme yang akan dilakukan oleh Trump, termasuk di dalamnya dengan mengerek tarif impor tinggi terhadap China, bisa menekan perdagangan global dan memicu perlambatan ekonomi dunia.
"Proteksionisme cenderung menurunkan volume perdagangan global. Ketika ekonomi global melambat, semua indikator akan terdampak, termasuk nilai tukar dan optimisme pelaku ekonomi," ujarnya, Jumat (29/11).
Eko meramal inflasi di AS akan meningkat seiring kenaikan tarif, sementara China diprediksi akan mengalihkan pasar ekspornya ke kawasan lain. "Untuk dampak ke Indonesia langsung saya rasa masih kecil, karena Indonesia belum dianggap mitra strategis. Namun kita menganggap memang porsi AS itu nomor dua terbesar berdasarkan mitra dagang Indonesia dan Amerika, setelah China," tutur Eko.
Namun, Eko menilai terdapat risiko lain yang perlu diantisipasi, yaitu pengalihan produk China ke kawasan lain. Produk-produk China yang tidak bisa masuk ke AS diprediksi akan membanjiri wilayah Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia.
"Ini menjadi tantangan untuk memperkuat ekonomi domestik kita agar tetap kompetitif," katanya.
Meski begitu, Eko optimistis dampak tersebut dapat diminimalisir bila Indonesia memperkuat kemampuan ekonomi domestiknya. Dia merujuk pada perang dagang pertama. Saat itu, Indonesia juga terkena dampak, namun tetap bisa tumbuh sekitar 5%.
Eko menilai Indonesia memiliki peluang besar di sektor investasi. Menurutnya, perang dagang ini menyebabkan investor asing mulai mencari alternatif selain China, dan Indonesia bisa menjadi tujuan mereka.
"Ketika Trump terpilih, investor mulai khawatir dengan stabilitas di China. Ini peluang Indonesia sebagai negara besar. Korea Selatan, misalnya, adalah salah satu negara dengan investasi besar di China yang kini mulai mengalihkan investasi ke negara lain, seperti ke Vietnam," tutur Eko.
Meski demikian, Indonesia harus bersaing ketat dengan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, yang infrastrukturnya lebih siap. Tapi, dia bilang, sistem demokrasi Indonesia memiliki daya tawar karena lebih stabil ketimbang negara lain.
"Vietnam tidak demokratis, sehingga politiknya berpotensi berubah secara drastis. Investasi di Indonesia lebih menjanjikan dalam jangka panjang karena stabilitas ini," kata Eko.
Instrumen pendapatan tetap
Co-Founder Tumbuh Makna, Benny Sufami, mengatakan dinamika global yang akan terjadi justru dapat mendorong banyak peluang. Ketidakpastian global perlu disikapi dengan bijak dengan mendorong perencanaan yang strategis, salah satunya melalui diversifikasi portofolio.
"Investor perlu mendiversifikasi ke instrumen aset kelas pendapatan tetap atau obligasi untuk menghadapi volatilitas pasar akibat kebijakan proteksionisme," ujarnya.
Kebijakan fiskal dan moneter Amerika Serikat diprediksi akan memicu sulitnya mencapai target inflasi 2% di negeri Paman Sam tersebut. Kondisi ini memicu tren suku bunga rendah belum akan terjadi dalam waktu dekat. Kebijakan itu akan diikuti oleh bank sentral Indonesia yang belum akan menurunkan suku bunga acuannya.
"Berkurangnya potensi penurunan suku bunga di dalam negeri menjadi risiko bagi beberapa sektor. Oleh karena itu, investor disarankan untuk mengalokasikan aset pada instrumen pendapatan tetap," lanjutnya.
Menurut Benny, salah satu dampak kebijakan Trump adalah pergeseran rantai pasok global. Hal ini membuka peluang bagi sektor manufaktur dan ekspor Indonesia. Produksi yang sebelumnya terpusat di China kini mulai berpindah ke negara lain, termasuk Indonesia. Dus, investor bisa fokus pada emiten yang berorientasi ekspor dengan prospek pasar ke Amerika Serikat atau mitra dagang lainnya.
Meski menghadapi ketidakpastian global, Benny melihat peluang besar di sektor domestik, terutama di bidang infrastruktur, digitalisasi, dan konsumsi.
Sektor infrastruktur akan diuntungkan oleh meningkatnya pengeluaran pemerintahan untuk infrastruktur guna merangsang pertumbuhan domestik. Selain itu, infrastruktur memiliki sifat defensif karena melibatkan proyek jangka panjang yang cenderung tidak terpengaruh kebijakan dari negara lain.
Adapun digitalisasi menarik lantaran tidak pastinya ekonomi global mendorong berbagai perusahaan untuk mempercepat adopsi teknologi untuk menciptakan efisiensi. Sektor ini juga memiliki potensi pertumbuhan tinggi di pasar negara berkembang seperti Indonesia. Digitalisasi juga menawarkan peluang besar di bidang teknologi finansial atau fintech, e-commerce dan sebagainya.
Lalu, sektor konsumsi cenderung stabil meski dalam situasi yang sulit. Konsumsi domestik merupakan motor utama perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sektor ini juga cenderung mendapat perlindungan dari pemerintah
"Sektor infrastruktur dan digitalisasi memiliki prospek pertumbuhan yang stabil. Ini saat yang tepat bagi investor untuk memanfaatkan momentum reformasi ekonomi domestik," katanya.