sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Target kepesertaan JKN dan masalahnya

JKN saat ini masih menjangkau 215 juta jiwa atau baru menggapai 81% penduduk

Soraya Novika
Soraya Novika Selasa, 15 Jan 2019 19:53 WIB
Target kepesertaan JKN dan masalahnya

Perdebatan teknis seputar masa depan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus bergulir kencang, akibat merenggangnya kesenjangan antara janji politis, visi teknokratik, dan implementasi di lapangan. 

Sebagaimana diketahui kepesertaan JKN saat ini masih menjangkau 215 juta jiwa atau baru menggapai 81% penduduk. Padahal, target pemerintah untuk akhir 2019 ialah harus menjangkau sebanyak 257,5 juta jiwa atau 95% penduduk.

Untuk mencapai target tersebut, hal utama yang perlu dilaksanakan pemerintah adalah menyelesaikan masalah pembiayaan, mulai dari menuntaskan defisit arus kas Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS kesehatan, hingga penyesuaian kontribusi iuran sebagai konsekuensi logis keberpihakan pemerintah pada investasi di bidang kesehatan.

"Untuk itu, rekonsiliasi antar pemangku kepentingan untuk mereformasi tata kelola pembiayaan BPJS kesehatan diperlukan untuk memberi arah JKN di masa depan," ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Ah Maftuchan, dalam diskusi publik bertajuk 'Bergandengan Tangan Selamatkan JKN' di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat,  Selasa (15/1).

Maftuchan juga menyoroti berbagai permasalahan JKN yang menurutnya membutuhkan penyehatan dari semua pemangku kebijakan.

"Permasalahan pelik yang tengah kita hadapi sekarang adalah masalah pembiayaan, defisit anggaran yang sangat besar dibarengi iuran yang juga rendah. Selain itu masih banyak yang mengeluhkan kualitas layanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan rumah sakit, sebagian besar dokter dan tenaga kesehatan dianggap kurang peduli dan stigmatis terhadap peserta JKN-Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI)  dan masalah obat-obatan yang tidak tersedia," paparnya.

Berbagai permasalah tersebut menunjukkan adanya ketidaksiapan dari pihak BPJS Kesehatan yang artinya membutuhkan penanganan lebih dari pemerintah.

Sengkarut implementasi JKN-KIS ini menunjukkan direksi BPJS Kesehatan masih 'under-performed'. Oleh sebab itu, Presiden Jokowi perlu segera me-review kinerja jajaran direksi BPJS Kesehatan dan melakukan penggantian dengan orang-orang yang lebih baik. 

Sponsored

Sedangkan untuk keberlangsungan finansial JKN sendiri bergantung pada perpaduan 'contributory' dan 'non-contributory options' yaitu sinergi kebijakan di pusat dan daerah. 

Pasalnya, Pemerintah Pusat bertanggungjawab memberikan arah kebijakan, menciptakan tata kelola yang memadai untuk mencegah terjadinya telikung kebijakan antar pemangku kepentingan. Sedangkan, pemerintah daerah berperan untuk melaksanakan sistem kendali mutu dan pembiayaan serta pengawasan kepatuhan peserta.

Pertama, Presiden Joko Widodo harus berani menaikkan batas iuran, terutama pada kelompok peserta non-miskin. Kedua, BPJS kesehatan harus mampu memaksimalkan perluasan kepesertaan dan meningkatkan kepatuhan bayar pada pekerja informal. 

Ketiga, Kementerian Keuangan harus cerdas memanfaatkan sumber pendanaan inovatif berupa optimalisasi dan earmarking sin-tax rokok serta gula, garam, dan lemak sebagai upaya pencegahan penyakit katastropik dan peningkatan pemasukan anggaran kesehatan. 

Di sisi lain, masalah ketebukaan dalam pengelolaan dana kapitasi dan klaim pelayanan juga perlu dikedepankan oleh BPJS Kesehatan, FKTP, rumah sakit, Kementerian Kesehatan, dan Pemerintah Daerah. 

"Jika tidak ada akuntabilitas pengelolaan dana JKN-KIS, maka defisit anggaran tidak akan tertangani. Apalagi di sisi lain kepatuhan iuran peserta mandiri juga masih bermasalah. Pemerintah pusat perlu segera mencari alternatif pembiayaan JKN-KIS, misalnya dengan menaikkan cukai rokok yang diperuntukkan untuk sektor kesehatan dan menaikkan iuran JKN atau iuran PBI. Pemerintah daerah juga harus berkontribusi dalam pembiayaan dan mengintegrasikan jaminan kesehatan daerah ke JKN-KIS," ujar Peneliti Kebijakan Sosial Perkumpulan Prakarsa Eka Afriana Djamhari.

Demikian pula dengan alokasi pajak rokok yang dianggap penting untuk terus digenjot. 

Menurut Policy and Planning Specialist Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Yurdhina Meilissa, skema alokasi pajak rokok untuk pembiayaan kesehatan melalui JKN adalah wajar, mengingat kontribusi signifikan konsumsi rokok pada beban biaya kesehatan yang ditanggung JKN.

Untuk itu, kenaikan cukai rokok sebagai sumber pembiayaan jaminan kesehatan sudah dilakukan di banyak negara dan efektif dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan juga perlu segera diaplikasikan 

Di samping mengatasi masalah pembiayaan, dugaan froud yang dilakukan fasilitas kesehatan, dapat diatasi dengan manajemen data klaim dan pelaporan yang komprehensif, transparan, dan akuntabel.

"Standarisasi pelayanan medis secara nasional dapat membantu pemantauan kualitas layanan dan menekan angka rujukan dan tinjauan berkala terhadap pengelompokan INACBGs, 'cost-effectiveness analysis', dan sistem pengadaan obat serta alat kesehatan akan memberikan ruang bagi JKN untuk beradaptasi pada kebutuhan dan perkembangan teknologi kesehatan," tutupnya. 

Berita Lainnya
×
tekid