

Tiga perilaku bias investasi yang bikin buntung

Berinvestasi bisa untung tapi bisa juga rugi. Selain pemahaman tentang instrumen investasi dan pergerakan pasar, aspek penting lainnya dalam berinvestasi adalah pengelolaan perilaku.
Perilaku dalam berinvestasi sangat menentukan sukses atau tidaknya investor menumbuhkan kekayaan melalui kendaraan investasi pilihan. Freddy Tedja, Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) mengatakan terdapat beberapa perilaku bias yang berpeluang menyebabkan keputusan-keputusan investasi yang tak optimal hingga berujung pada spekulasi tanpa dasar.
"Guna memperbaikinya dibutuhkan kesadaran diri serta komitmen untuk menggunakan logika dan data dalam mengambil keputusan. Bukannya sekadar mengandalkan emosi semata,” ujarnya, Sabtu (21/6).
Adapun tiga perilaku bias yang dimaksud yaitu:
Overconfidence
Kepercayaan diri yang berlebihan dapat mendorong para investor menganggap dirinya sangat mampu memperkirakan pergerakan pasar. Bias kognitif yang satu ini sering menyebabkan investor-investor menjadi sangat percaya diri akan “pengetahuan” mereka, meremehkan risiko investasi dan mengabaikan informasi yang berlawanan dengan apa yang mereka yakini.
Para investor dengan overconfidence cenderung melakukan trading lebih sering karena yakin sanggup mencetak untung besar dalam waktu singkat. Mereka mengabaikan biaya transaksi yang lebih mahal hingga potensi risiko yang lebih tinggi disebabkan investasi yang tak terdiverisfikasi dengan baik. Kepercayaan diri yang berlebihan juga menyebabkan para investor bereaksi secara impulsif saat pasar berfluktuasi yang justru membawa ke situasi “buy high sell low”.
”Guna mengatasi situasi ini penting bagi investor untuk tetap tenang dan jeli dalam berinvestasi di instrumen apa pun, selalu belajar dan mencari perspektif yang berbeda-beda dari sumber tepercaya, serta memegang teguh strategi investasi jangka panjang termasuk pengelolaan risiko investasinya”, jelas Freddy.
Loss aversion, atau main aman
Kondisi ini justru kebalikan dari overconfidence, yaitu begitu takutnya terhadap potensi kerugian, hingga melewatkan peluang-peluang menikmati pertumbuhan kekayaan lewat investasi. Orang dengan berperilaku loss aversion biasanya tak ingin mengambil risiko sama sekali, mereka merasa cukup puas dengan alternatif yang nyaris tak bertumbuh seperti tabungan. Ujung-ujungnya, banyak potensi yang terlewatkan disebabkan limitasi-limitasi yang diciptakan sendiri. Akibatnya, mungkin akan kesulitan untuk memenuhi atau mewujudkan impian finansial investor.
“Kurangnya informasi biasanya menjadi sebab perilaku menghindari risiko. Hal ini sangat disayangkan di era digitalisasi seperti saat ini, di mana informasi hanya sejauh ujung jari, kalau saja mereka mau beralih sejenak dari konten-konten yang kurang produktif dan mengalokasikan beberapa menit menggali pengetahuan seputar investasi”, tambah Freddy.
Herding mentality
Perilaku yang satu ini mencerminkan kecenderungan investor untuk mengikuti apa yang sedang menjadi tren, tanpa mempertimbangkan apakah keputusan investasi tersebut tepat untuk mereka. Mereka percaya pendapat sekelompok besar orang selalu benar. Kalaupun salah, setidaknya mereka tidak akan merasa sendirian dalam menanggung kerugian.
Perilaku ikut arus berpotensi menyebabkan sentimen berlebihan pada suatu instrumen investasi. Contohnya, market bubbles, di mana harga suatu instrumen investasi naik sangat tinggi melebihi nilai intrinsiknya, kemudian terjun bebas dan berujung kerugian besar bagi para investornya.
Menurut Freddy, masing-masing investor memiliki tujuan investasi yang berbeda satu sama lain. Harapan akan return, kemampuan keuangan, dan kesanggupan menghadapi risiko juga berbeda satu sama lain. Dus, strategi investasi satu investor akan berbeda dengan lainnya.
"Para investor sebaiknya mendasari keputusan investasinya pada riset, mencari nasihat profesional, menumbuhkan pemahaman atas diri serta profil risiko investasinya. Bukan karena ingin mengikuti tren atau mengandalkan insting semata," tuturnya.
Laporan Hootsuite mengenai data digital Indonesia tahun 2024 menyebut, secara rata-rata, orang Indonesia menghabiskan lebih dari 7 jam sehari mengakses internet dan lebih dari 3 jam menyusuri media sosial. Informasi dan pengetahuan mengenai investasi mungkin tak punya kemasan menghibur layaknya konten media sosial, tetapi jika 30 menit saja dari waktu ini dialokasikan untuk memupuk pengetahuan mengenai investasi, maka investor akan punya peluang menikmati potensi menumbuhkan kekayaan dengan cara yang lebih baik.
"Dengan hanya mengalokasikan sebagian kecil dari waktu kita bisa membuka pintu menuju masa depan finansial yang lebih cerah. Dengan pengetahuan yang tepat, kita bisa membuat keputusan yang lebih bijak dan menghindari risiko yang tidak perlu," ujarnya.


Tag Terkait
Berita Terkait
Resah akan masa depan, anak muda Korsel agresif berinvestasi
Strategi trading saat pasar saham berada dalam tekanan jual
Mungkinkah harga emas masih akan menguat?
Polemik Thaksin Shinawatra di Danantara

