sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Timpang pekerja Jakarta: Biaya hidup tak sebanding gaji

Biaya hidup di Jakarta rata-rata sebesar Rp14,88 juta sementara rata-rata gaji Jakarta Rp5,25 juta per bulan.

Kartika Runiasari
Kartika Runiasari Kamis, 28 Des 2023 12:59 WIB
Timpang pekerja Jakarta: Biaya hidup tak sebanding gaji

Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini mengumumkan hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 2022. Tercatat, DKI Jakarta menjadi kota yang memiliki biaya hidup tertinggi yakni sebesar Rp14.884.110 sebulan.

Perhitungan biaya hidup atau nilai konsumsi rata-rata per rumah tangga sebulan ini berdasarkan pada konsumsi 847 komoditas yang dikelompokkan menjadi makanan, minuman, dan tembakau; pakaian dan alas kaki; perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah; dan perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga.

Kemudian kesehatan; transportasi, pendidikan, informasi, komunikasi dan jasa keuangan, rekreasi, olahraga, dan budaya, penyediaan makanan dan minuman/restoran, serta perawatan pribadi dan jasa lainnya. Di sisi lain, BPS juga mencatat rata-rata gaji pekerja di Jakarta adalah Rp5,25 juta per bulan atau menjadi yang tertinggi di Indonesia. Pemprov DKI sendiri sudah menetapkan UMP DKI 2023 sebesar Rp 4.901.798 di tahun 2023, naik 5,6% atau Rp259.944.

BPS juga mencatat rata-rata upah buruh di Indonesia pada Februari 2023 adalah sebesar Rp2,94 juta, di mana rata-rata Rp3,23 juta untuk laki-laki dan Rp2,42 untuk perempuan. Sementara itu pada Agustus 2022, rata-rata upah buruh di Indonesia adalah Rp3,07 juta. Data BPS menunjukkan, kenaikan gaji paling tinggi terjadi di Provinsi DKI Jakarta dengan peningkatan mencapai 30,46% year on year (yoy).

“Yang bikin mahal lebih ke transportasi sama tempat tinggal sih. Sekarang kemana-mana pada lebih milih naik ojol atau taksi online. Tempat tinggal kalau kos yang biasa banget aja paling murah mungkin Rp1 juta per bulan. Sisanya ngopi-ngopi, kalau makan masih standar,” ujar salah seorang warganet @fitriadesriana terkait unggahan soal biaya hidup di Jakarta.

Adapun warganet lainnya mengatakan transportasi menjadi komponen terbesar dalam pengeluarannya. “Ongkosku ke kantor sehari Rp100.000, dua kali naik LRT, 4 kali naik ojek. Kalau bawa sepeda lipat bisa lebih hemat. Tapi masuk angin, biaya dokternya lebih mahal daripada ongkos sebulan,” seloroh akun @pradita_putri.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira pun memaparkan idealnya, pekerja di Jakarta yang single memiliki gaji Rp15 juta per bulan, pasangan suami istri tanpa anak Rp25 juta sampai Rp30 juta per bulan, dan pasangan suami istri yang punya anak Rp45 juta sampai Rp75 juta per bulan.

Perhitungan ini, kata Bhima, tidak lepas dari tuntutan biaya hidup yang memang tinggi di ibu kota. Tak jarang untuk memenuhi kebutuhan biaya hidup, baik suami maupun istri sama-sama bekerja. “Atau ketika suami bekerja di sektor formal berangkat jam 8 pulang jam 5 sore tiap hari begitu selama 5 hari kerja istrinya harus buka warung atau suami kerja formal pulangnya harus tetap narik ojek atau jadi pedagang asongan ini realita karena (gaji) enggak cukup,” ungkap dia. 

Sponsored

Lebih lanjut, dia mengatakan perhitungan gaji selalu berhubungan lurus dengan biaya hidup yang layak. Karena itu, dia menilai formulasi pengupahan saat ini dalam Undang-undang Cipta Kerja sudah tidak relevan dalam perhitungan upah minimum.

“Cuma ada dua solusinya, naikkan gaji/upah minimum atau kedua menurunkan biaya hidup,” kata dia kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, biaya hidup yang kontribusinya besar adalah tempat tinggal, transportasi, dan bahan makanan. Karena itu, dia menilai dua solusi itu harus dipilih. Jika tidak, maka orang yang bekerja pun tetap tidak bisa mencapai biaya hidup minimum di Jakarta. 

Skill worker

Solusi lain, tambahnya, upaya untuk menciptakan lapangan kerja berkualitas atau pekerjaan yang bisa memberikan upah mendekati minimum. “Jadi kalau ada satu keluarga yang bekerja cuma satu orang, jadi minimum bisa Rp15 juta dong per bulan itu bisa diciptakan dengan sektor usaha dengan keahlian tinggi misalnya IT, digital, industri jasa perdagangan. Jadi harus mengerucut kesana profil kerja kita,” jelasnya.

Sayangnya, Bhima mengaku belum memiliki data berapa banyak ketersediaan pekerjaan dengan skill tinggi tersebut. Pasalnya, perusahaan teknologi seperti startup maupun marketplace yang menyerap banyak skill worker saat ini pun tengah diadang ‘musim dingin’. Hal ini ditandai dengan minimnya investasi di sektor perusahaan teknologi. 

Masalah lainnya, kata Bhima, di Indonesia pekerja yang dominan adalah mereka yang bekerja di sektor informal yakni mencapai 60%. Bahkan gajinya pun bisa lebih rendah dari upah minimum. “Banyak juga lapangan pekerjaan yang enggak bisa menutupi biaya hidup minimum jadi perlu peningkatan skill dan kebijakan pengupahan karena kenaikannya kecil sekali enggak akan mengejar kenaikan biaya hidup,” bebernya.

Lantas apakah formulasi upah minimum di ibu kota Jakarta bisa diperbaiki agar upah lebih besar? Bhima menilai hal ini sangat bergantung pada political will pemimpin daerah dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta. Pasalnya, DKI Jakarta sebagai ibu kota sebenarnya memiliki kekhususan. Di mana kebijakan terkait industri dan perdagangan bisa berbeda dari kebijakan pemerintah pusat.

“Jadi Jakarta bisa punya formulasi sendiri di luar UU Ciptaker, cuma Pj Gubernurnya (DKI Jakarta) enggak berani melakukan itu,” sebutnya.

Menurutnya, ada kesalahan paradigma kala upah minimum yang naik disebut sebagai hambatan bagi pengusaha. Sebaliknya, kata dia, kenaikan upah harus dilihat sebagai stimulus untuk bisa menaikkan omzet dan menciptakan pertumbuhan yang lebih bagus bagi perusahaan. 

“Pascapandemi negara lain justru kebijakannya menaikan upah minimum tinggi banget biar cepat pulih konsumsi rumah tangganya. Mindset-nya harusnya kesitu,” ujarnya.

Namun, untuk menyiasati gaji yang masih di bawah biaya hidup, Bhima menyarankan agar suami maupun istri bekerja. Opsi lain adalah benar-benar mengencangkan ikat pinggang dengan mengurangi biaya rekreasi dan kebutuhan non primer. Plus mencari pendapatan sampingan sebanyak-banyaknya. 
 

Berita Lainnya
×
tekid