sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Transformasi televisi analog ke digital berkejaran dengan deadline

Pemerintah harus tuntas mematikan siaran TV analog pada 22 November 2022, namun saat ini prosesnya terkendala pembagian set top box (STB).

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 16 Mei 2022 17:56 WIB
Transformasi televisi analog ke digital berkejaran dengan deadline

Pemerintah bertekad untuk mematikan televisi analog, yang sudah mengudara 60 tahun terakhir paling lambat pada 2 November 2022 mendatang. Migrasi sistem penyiaran televisi analog ke televisi digital ini memang sudah menjadi keniscayaan bagi negara-negara di dunia seiring dengan semakin berkembangnya teknologi. 

Migrasi televisi digital ini akan dilakukan dalam tiga tahap, yakni tahap I pada 30 April 2022, tahap II pada 25 Agustus 2022 dan tahap III pada 2 November 2022. Proses migrasi TV digital yang diberi nama Analog-Switch-Off (ASO) ini berubah dan mundur dari rencana sebelumnya. 

Semula, proses ini akan diselenggaran dalam lima tahap, mulai dari 17 Agustus 2021, diikuti dengan 31 Desember 2021, 31 Maret 2022, 17 Agustus 2022, dan 2 November 2022. Padahal, inisiatif untuk mematikan TV analog sudah dimulai sejak 2007. 

Kemudian sempat diujicobakan pada 2008, di kawasan Jabodetabek. Hal ini sebagai tindak lanjut atas pertemuan Indonesia dengan negara-negara anggota Persatuan Telekomunikasi Internasional atau International Telecommunication Union (ITU) dalam forum The Geneva Frequency Plan Agreement 2006. 

Dari pertemuan tersebut, seluruh negara sepakat akan beralih ke siaran televisi digital paling lambat 17 Juni 2015. Indonesia bersama Timor Leste pun menjadi negara terakhir yang masih belum beralih ke siaran televisi digital. 

“Sejak saat itu, proses migrasi ke TV digital tidak terdengar lagi sampai 2020,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi, kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.

Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran, pemerintah pun memulai lagi proses ASO. Mengenai teknis migrasi, diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran. Kedua baleid tersebut merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Antena televisi. Foto Pixabay.com.

Sponsored

Direktur Jenderal Penyelenggara Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Ismail menjelaskan, ada beberapa alasan yang membuat migrasi televisi digital dijadwalkan ulang hingga beberapa kali. 

Pertama, pada tahun lalu penundaan dilakukan karena pemerintah dan masyarakat masih harus berfokus pada penanganan pandemi Covid-19. Kedua, lantaran banyaknya masukan baik dari masyarakat, industri, hingga elemen publik lainnya untuk memulai migrasi di tahun lalu. 

“Terakhir, karena masih kurangnya kesiapan teknis untuk migrasi ke siaran TV digital. Proses ke siaran digital memang butuh banyak persiapan,” tuturnya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (9/5).

Namun, Ismail kini mengaku telah siap sepenuhnya untuk melakukan proses migrasi televisi digital, salah satunya ialah terkait kesiapan infrastruktur multiplexing (MUX). Di mana hingga akhir April kemarin, pembangunan infrastruktur multiplexing untuk tahap I di 56 wilayah siaran dan 166 kabupaten/kota telah selesai dan siap digunakan. 

Untuk penghentian tetap siaran TV analog tahap dua dan tiga, saat ini masih perlu dibangun lagi 32 infrastruktur multiplexing oleh Kemenkominfo dan TVRI. 

“Kami akan menyelesaikan 15 infrastruktur dan TVRI menyelesaikan 17 infrastruktur. Setelah itu, ASO tahap II akan bisa dilakukan dan secara total siaran analog akan mati total pada 2 November 2022,” kata dia. 

Masih lambat

Namun, meski infrastruktur multiplexer sudah siap, hanya ada delapan kabupaten/kota yang telah beralih ke siaran digital pada ASO tahap I, dari yang ditargetkan sebelumnya adalah 166 kabupaten/kota. Delapan kabupaten/kota yang dimaksud antara lain, Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, dan Kabupaten Kepulauan Meranti di Provinsi Riau, Kabupaten Timur Tengah Utara, Kabupaten Belu dan Kabupaten Malaka di Nusa Tenggara Timur, serta Kota Sorong dan Kabupaten Sorong di Papua Barat. 

Meski begitu, saat ini siaran TV Digital sudah menjangkau 87 wilayah di Indonesia. Dari wilayah yang sudah terkena ASO tahap I, delapan daerah diantaranya hanya bisa menerima siaran digital TVRI. Hanya Sorong saja yang disebut bisa mendapatkan siaran TV swasta, yakni Kompas TV saja.
 
Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Informasi dan Komunikasi Publik Rosarita Niken Widiastuti bilang, penerapan ASO tahap I di delapan kabupaten/kota ini dilakukan lantaran lokasi ini sudah siap 100%, termasuk ketersediaan set top box (STB) untuk masyarakat miskin. 

Sedangkan wilayah lainnya, ketersediaan STB bagi masyarakat miskin inilah yang menjadi hambatan utama. “Karena itu, ASO tahap I baru dilaksanakan di tiga wilayah ini,” ujar dia, kepada Alinea.id, Rabu (11/5).

Perbedaan TV analog dan digital

Pembanding

TV Digital

TV Analog

Kualitas gambar

Jernih, Berbintik atau Berbayang

Jernih, High Definition (HD)

Distribusi siaran

Transmisi Pemancar Milik Stasiun TV

Operator Multiplekser (MUX)

Perangkat TV menerima sinyal

Tuner UHF

Tuner DVB-2 atau Dekoder DVB-T2

Alokasi frekuensi

1 Frekuensi UHF = 1 Saluran TV Jabodetabek beroperasi sekitar 25 saluran TV UHF

1 Zona = 6 Frekuensi, 1 Frekuensi = 12 saluran TV. Total 6 x 12 = 72 saluran TV

Sistem peringatan bencana

Belum ada

Tersedia

Sumber: Kominfo

Ihwal siaran televisi digital TVRI dan Kompas TV yang baru tersedia di delapan lokasi tersebut, menurut Rosarita, hal ini masih jauh lebih baik ketimbang sebelumnya. Di mana daerah-daerah tersebut hanya menikmati tayangan TVRI lokal dan stasiun televisi lokal saja melalui siaran televisi analog. 

Padahal, jumlah Lembaga Penyiaran yang bersiaran secara analog mencapai 697 Lembaga Penyiaran di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan siaran secara simulcast atau siaran televisi analog dan digital yang dilakukan secara bersamaan, telah dilakukan oleh 521 stasiun TV untuk mencakup 90 wilayah siaran atau 294 kabupaten dan kota.

“Untuk itu, pemerintah terus mendorong pelaku bisnis penyiaran untuk memperluas layanan program siaran digital, serta menyelesaikan migrasi dari siaran analog ke digital. Sehingga, masyarakat bisa menikmati tayangan televisi dengan nyaman,” imbuhnya.

Foto Pixabay.com.

Terkait sisa wilayah yang masuk ke dalam ASO tahap I, proses migrasi masih terus berlangsung. Rosarita bilang, waktu lebih lama dibutuhkan lantaran pemerintah harus sangat berhati-hati, agar penyelenggaraan ASO dapat berjalan dengan baik dan pembagian STB kepada masyarakat miskin bisa tepat sasaran.

“Kalau sudah siap dan STB sudah dibagikan merata, baru siaran analog kita matikan,” ujarnya. 

Sementara itu, Direktur ICT Institute Heru Sutadi menilai, penerapan ASO tahap I di delapan kabupaten/kota ini adalah langkah yang cukup realistis untuk dilakukan. Ketimbang memaksakan diri untuk tetap menyelenggarakan ASO pada wilayah yang belum siap. 

Mengingat sampai sekarang, masih banyak masyarakat yang belum paham betul mengenai apa itu ASO. Belum lagi, ketersediaan STB, khususnya bagi masyarakat miskin pun juga masih menjadi kendala.

Karenanya, agar migrasi televisi digital dapat selesai sesuai rencana, pemerintah harus mempercepat pembagian STB kepada rumah tangga miskin. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah, agar pelaksanaan ASO ini tidak menambah beban masyarakat berpendapatan rendah, di tengah kondisi ekonomi yang masih berat.

Di saat yang sama, pemerintah juga harus mengejar target pembangunan infrastruktur multiplexer yang mana hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah dan juga pemenang lelang penyelenggara multiplexer, yakni TVRI. 

“Kemudian, masyarakat dan DPR juga harus terus mengawasi proses migrasi siaran digital ini," tegas Heru, saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (15/5).

Sebab, jika melewati tenggat waktu yang telah ditentukan, yakni pada 2 November 2022, proses ASO dapat dinilai gagal dan pemerintah melanggar Undang-undang.

“Kalau sudah begitu, menunjukkan pula kalau migrasi ini dilakukan dengan setengah hati,” imbuh mantan Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ini.

Karenanya, bagaimanapun ASO tetap harus terselenggara. Meskipun nantinya pemerintah harus kembali menyesuaikan tahapan pelaksanaannya. 

Kendala set top box (STB)

Sementara itu, sebelumnya Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Bali mengungkapkan bahwa peralihan siaran televisi analog ke siaran televisi digital yang seharusnya dimulai pada 1 Mei 2022 diundur hingga batas waktu yang belum ditentukan. 

Alasannya, Pemerintah Provinsi Bali masih harus menyelesaikan pembagian STB ke masyarakat miskin di sana. 

Bahkan, pemerintah Bali sudah membangun beberapa pemancar yang cukup besar, supaya masyarakat bisa menerima siaran lebih bagus. Selain itu, agar masalah blank spot di beberapa tempat, seperti Buleleng bisa teratasi. 

“Selain itu, sebenarnya sudah tidak ada kendala. Karena dari layanan MUX juga sudah siap beroperasi,” ungkap Komisioner KPID Bali Nyoman Adi Sukerno, Kamis (5/5) lalu.

Ilustrasi Alinea.id/M.T. Fadillah.

Masalah yang sama terjadi pula di Jawa Barat. Bahkan, di daerah ini baru 0,5% masyarakat miskin saja yang sudah menerima STB, dari total 600 ribu lebih STB yang seharusnya dibagikan. 

“Temuan yang paling banyak, STB tidak bisa dibagikan karena data tidak lengkap. Seperti misalnya, nomor RT atau RW tidak ada,” ungkap Ketua KPID Jawa Barat Adiyana Slamet, kepada Alinea.id, Jumat (13/5).

Agar masalah tidak berlarut dan migrasi televisi digital segera dilakukan, pihaknya menyarankan agar pembagian STB yang dilakukan oleh penyelenggara multiplex yang mengelola siaran TV digital ini dapat menggandeng pemerintah daerah. Sebab, bagaimanapun yang lebih banyak mengetahui data masyarakat di Jawa Barat adalah pemerintah daerah. 

“ASO ini kan kebijakan strategis dan bermanfaat sekali bagi masyarakat. Jadi pembagian STB agar harus tepat sasaran,” lanjut Adiyana.

Sampai saat ini, pembagian STB memang masih menjadi momok yang mengganjal bagi pelaksanaan ASO. Bagaimana tidak, pembagian alat yang bentuk dan fungsinya seperti decoder pada televisi berlangganan ini harus dilakukan oleh beberapa stasiun TV swasta yang bertugas sebagai penyelenggara multiplexing, seperti SCTV, Indosiar, Metro TV, Trans TV, hingga RTV. 

Namun, dalam pelaksanaannya ternyata tidak mudah meminta industri penyiaran swasta untuk menjalankan tugas ini secara sukarela, tanpa sokongan dana dari pemerintah. Apalagi, banyak dari stasiun televisi swasta tersebut mengaku masih mengalami kesulitan ekonomi, akibat dampak pagebluk.

“Semua biaya STB dan distribusinya ditanggung oleh TV penyelenggara MUX. Namun dengan berbagai alasan mereka mencoba untuk menghindar atau bahkan meminta penundaan dengan alasan kondisi keuangan merugi sebagai dampak pandemi,” jelas Pengamat Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen Agus Pambagio, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (14/5).

Foto Pixabay.com.

Semua TV swasta yang mendapat penugasan ini melakukan perlawanan karena akan muncul biaya yang cukup besar untuk pembelian STB dan biaya distribusi serta pemasangannya. Metro TV misalnya, yang ditugaskan untuk membagikan STB ke 500 ribu pemilik TV analog milik warga miskin, pelaksanaannya minta ditunda sampai November 2022. MNC dan Emtek bahkan masih terus membuat alasan untuk menghindari kewajiban ini.

Belum lagi ada yang protes mempertanyakan kenapa VIVA (ANTV dan TV One) sebagai penyelenggara MUX, tapi tidak dikenakan kewajiban membagi STB.

“Saya khawatir jika masalah ini berlarut-larut dan TV swasta, dengan berbagai alasan, tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik dan tepat waktu pemerintah akan dipersalahkan oleh publik,” ujar Agus. 

Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, Agus menilai, TVRI sebagai lembaga penyiaran publik milik pemerintah harus bersiap untuk mengambil alih tugas lembaga penyiaran swasta tersebut. Tentunya, dengan anggaran yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

“Ini harus menjadi perhatian, karena ASO tidak boleh ditunda,” tegasnya. 

Terpisah, Direktur Utama TVRI Imam Brotoseno mengatakan, pihaknya telah mengajukan anggaran biaya tambahan dalam perubahan APBN 2022 untuk menyalurkan 1,5 juta STB. Hal ini dilakukan untuk menutupi kekurangan dan keterlambatan STB akibat swasta yang tidak atau belum menjalankan komitmennya secara baik. 

Namun, langkah tersebut kemungkinan baru dapat dilaksanakan pada ASO tahap II dan III. Karena di tahap I, tanggung jawab pembagian STB 100% ada di tangan stasiun televisi swasta. 

“Penambahan anggaran tersebut akan digunakan secara efektif dan tepat sasaran serta tetap berkoordinasi di bawah pengawasan Kemenkominfo dalam pengadaan maupun pendistribusian STB gratis untuk membantu keluarga miskin agar dapat menikmati siaran TV digital,” ungkap Imam dalam keterangannya, kepada Alinea.id, Senin (16/5).

Pada lain kesempatan, Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution mengaku, pihaknya telah mengusulkan keringanan biaya maupun insentif dari pemerintah untuk pendistribusian STB kepada keluarga miskin. Dengan demikian, biaya yang harus ditanggung pengusaha TV swasta pun tidak terlampau berat dan industri dapat benar-benar fokus menyiapkan infrastruktur maupun segala sesuatu yang berkaitan dengan migrasi televisi digital. 

“Distribusi STB ini bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan dan membutuhkan biaya besar. Jumlah total STB gratis 6,7 juta. Pemerintah menyiapkan 1 juta, jadi kami kira-kira 5,7 juta,” kata Syafril, kepada Alinea.id, Jumat (13/5).


 

Berita Lainnya
×
tekid