sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Utang pemerintah terus membengkak, untuk apa?

Polemik terkait utang luar negeri pemerintah terus terjadi lantaran banyak pihak khawatir bakal menjadi beban anggaran.

Sukirno
Sukirno Jumat, 06 Apr 2018 15:26 WIB
Utang pemerintah terus membengkak, untuk apa?

Polemik terkait utang luar negeri pemerintah terus terjadi lantaran banyak pihak khawatir bakal menjadi beban anggaran.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, menjelaskan bahwa efektivitas utang oleh pemerintah pusat dapat dilihat dari bagaimana struktur belanjanya.

"Belanja sudah terpakai buat apa, itu yang menjadi acuan efektivitas utang. Kami ingin belanja berkualitas dan produktif, kami tidak ingin belanja yang sifatnya tidak produktif," kata Luky dalam temu media di Jakarta, seperti dilansir Antara, Jumat.

Dia menjelaskan upaya meningkatkan kualitas belanja dilakukan melalui pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak 2015 karena dinilai tidak tepat sasaran sebab penerimanya adalah pengguna kendaraan yang kebanyakan orang mampu.

"Subsidi BBM juga sifatnya konsumtif karena habis pada tahun itu juga. Kalau utang untuk yang sifatnya konsumtif tidak adil karena generasi mendatang yang akan menanggung," kata Luky.

Belanja prioritas pemerintah saat ini adalah sektor infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kedua sektor belanja prioritas tersebut sifatnya investasi atau terdapat jangka waktu hingga hasilnya dapat dinikmati.

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, tambahan utang kumulatif untuk infrastruktur meningkat dari Rp456,1 triliun pada periode 2012-2014 menjadi Rp904,6 triliun (2015-2017).

Sementara tambahan utang kumulatif untuk pembangunan sumber daya manusia (pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial) meningkat dari Rp1.164,8 pada periode 2012-2014 menjadi RP1.716,5 triliun selama periode 2015-2017.

Sponsored

"Banyak sifat belanja yang tidak bisa ditunda lagi. Makanya keputusan politik anggaran masih defisit Rp325,9 triliun (APBN 2018)," kata Luky.

Dalam kesempatan lain, ekonom senior Faisal Basri mengatakan pembiayaan infastruktur tidak menjadi masalah pada 2015 karena dibiayai dari pengurangan subsidi BBM yang mencapai sekitar Rp150 triliun.

"Dampak pengurangan subsidi BMM ini hanya sekali, sesudah itu subsidinya tidak bisa diturunkan lebih besar lagi," kata Faisal dalam diskusi di Jakarta, Selasa (3/4).

Ia juga menyoroti peningkatan belanja infrastruktur masih belum dibarengi degan peningkatan rasio pajak. 

Berita Lainnya
×
tekid