sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dari Afghanistan ke Ukraina: Bagaimana korporasi senjata mengeksploitasi perang

Perusahaan-perusahaan AS mendominasi penjualan senjata sejak tiga dekade terakhir.

Christian D Simbolon
Christian D Simbolon Kamis, 16 Mar 2023 16:38 WIB
Dari Afghanistan ke Ukraina: Bagaimana korporasi senjata mengeksploitasi perang

Mengenakan topi sinterklas, seorang prajurit Ukraina berdiri mematung di tengah kegelapan malam. Di belakang sang prajurit, sebuah truk taktis yang dilengkapi high mobility artillery rocket system (Himars) M142 tengah sibuk "bekerja". Dari truk itu, kembang api dan asap putih menyembur. Roket-roket meluncur bergiliran.

Begitulah gambaran sebuah video perang yang dirilis Januari lalu. Pemerintah Ukraina menyebut itu adalah cuplikan serangan ke barak militer Rusia di Makiivka, kawasan Ukraina timur. Setidaknya 400 prajurit disebut tewas dalam serangan tersebut. Itu jadi jumlah korban militer Rusia tertinggi sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022. 

Di kubu seberang, Rusia mengklaim hanya sekitar 89 prajurit yang tewas pada serangan itu. Pejabat Rusia menyalahkan para prajurit yang menggunakan telepon seluler secara "berjamaah" sebagai biang keladi bocornya lokasi barak. 

"Faktor ini memungkinkan pihak musuh melacak sekaligus menentukan koordinat lokasi pasukan untuk serangan misil," tulis Kementerian Pertahanan Rusia dalam sebuah siaran pers.

Terlepas dari polemik jumlah korban, itu adalah kesekian kalinya serangan militer via Himars sukses dieksekusi. Diterjunkan ke berbagai medan tempur sejak Juni 2022, roket-roket Himars bisa menempuh jarak hingga 80 kilometer dan dipandu satelit. Jarak tempuh roket Himars sekitar 10 kilometer lebih jauh ketimbang roket yang diluncurkan dari BM-30 Smerch milik Rusia. 

Pada berbagai kesempatan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memuji senjata kiriman Amerika Serikat itu. Ia menyebut eksistensi Himars vital bagi Ukraina. "Himars dan senjata-senjata akurat lainnya membuat kita unggul dalam perang," kata Zelenskyy dalam sebuah unggahan di Facebook.

Meskipun perang belum usai, efektivitas Himars di medan pertempuran sejauh ini bikin petinggi Lockheed Martin, produsen Himars, "semringah". Jennifer McManus, wakil presiden bidang bisnis misil di Lockheed menyebut perusahaannya mulai kewalahan memenuhi pesanan terhadap Himars. 

Lockheed, kata McManus, berencana meningkatkan kapasitas pabrik mereka di Camden, Arkansas, supaya bisa memproduksi lebih banyak Himars. Pada  Februari lalu, Polandia dilaporkan telah disetujui pemerintah AS mendapat jatah 18 unit Himars dalam kesepakatan senilai US$10 miliar. 

Sponsored

"Ketika kamu punya sistem tempur yang terbukti berhasil dan diberitakan secara rutin, maka itu sudah pasti bakal mendongkrak permintaan," kata McManus seperti dikutip dari Reuters

Selain Himars, minat terhadap Javelin juga meningkat. Peluncur roket buatan Lockheed itu juga efektif. Maret lalu, hanya  dalam sehari, seorang prajurit Ukraina di Marinka diberitakan sukses menghancurkan lima tank Rusia dan sejumlah kendaraan infanteri menggunakan Javelin. 

Sejak awal invasi, AS menyuplai sekitar 8.500 Javelin untuk pasukan Ukraina. Javelin merupakan modifikasi dari RPG-7, peluncur roket buatan Rusia. Pada Perang Vietnam (1955-1975) , RPG-7 dikenal sebagai pembunuh tank dan helikopter AS.  

Itu bukan kali pertama perang jadi panggung "pemasaran" bagi produk-produk persenjataan. Pasca-Perang Suriah (2015), senjata bikinan Rusia sempat meroket popularitasnya dan diminati berbagai negara. Berkubu dengan rezim Bashar Al-Assad, Rusia dianggap sukses mematahkan perlawanan kubu pemberontak yang disponsori AS dan sejumlah negara besar di Eropa. 

Sebuah video pertempuran sempat viral pada pertengahan Februari 2016. Dalam video itu, terlihat sebuah roket BGM-71 TOW kiriman AS menghantam T-90, tank tempur teranyar bikinan Rusia. Tank itu mampu menahan kerasnya benturan tanpa meledak. Sejurus kemudian, seorang prajurit Suriah terlihat terburu-buru keluar dari kubah tank tanpa terluka. 

Selain T-90, Rusia juga menerjunkan sejumlah produk alat utama sistem pertahanan (alutsista) baru dalam perang Suriah, semisal pesawat Sukhoi seri Su-30 dan Su-35, helikopter tempur, sistem elektronik tempur, serta berbagai jenis senjata untuk pasukan infanteri. 

"Kesempatan untuk mengetes persenjataan dalam pertempuran sebenarnya tak bisa dianggap sepele. Para konsumen mulai mengantre untuk mendapatkan senjata yang terbukti efektif di Suriah," kata Deputi Menhan Rusia, Yuri Borisov, seperti dikutip dari sebuah laporan Associated Press pada Agustus 2017.

Setelah perang itu, ekspor senjata dari Rusia diperkirakan naik sekitar US$6-7 miliar. Hingga kini, Rusia juga menguasai sekitar 20% pasar alutsista global. Setidaknya ada 45 negara yang jadi pelanggan senjata Rusia. Selain ke Timur Tengah, Rusia juga rutin menyuplai senjata ke negara-negara Asia Tenggara. 

Berkah perang juga dirasakan Dassault Aviation, produsen jet tempur Rafale yang berbasis di Prancis. Pada Perang Libia (2011), jet-jet Rafale jadi bintang perang lantaran sukses mengeksekusi sejumlah misi untuk menghancurkan sistem pertahanan udara dan darat yang dibangun Libia. 

Ketika itu, Rafale juga ditunjuk jadi "peletus senjata" pertama dalam perang melawan rezim Muammar Khadafi sebelum pengeboman udara besar-besaran digelar pasukan sekutu. Di Benghazi, Libia, Rafale menghancurkan empat tank dan meratakan sejumlah instalasi militer. 

Penunjukan Rafale sebagai penyerang pertama Libia disebut-sebut berbau politis. Terlebih, Rafale diterjunkan sebelum pengeboman udara sebagaimana lazimnya operasi militer dijalankan. Namun, juru bicara Rafale, Stephane Fort, menepis tudingan itu. 

"Rafale satu-satunya pesawat di dunia yang bisa punya berbagai peran. Pesawat ini bisa bertempur di udara, menjatuhkan bom, dan observasi. Semua dalam satu penerbangan, dengan satu pilot di satu pesawat," kata dia

Rafale laris manis setelah Perang Libia. Negara-negara Timur Tengah, semisal Mesir, Uni Emirat Arab, dan Qatar, jadi pemesan pertama Rafale. Pada 2022, Dassault mengumumkan ada 453 jet Rafale  tengah dibangun. Sebanyak 261 bakal diekspor, termasuk di antaranya 40 unit untuk Indonesia. 

Sebelum Perang Libia, Dassault hanya mampu menjual 300 unit Rafale ke militer Prancis. Tak ada satu pun negara yang berminat membeli pesawat tempur yang dianggap kemahalan itu. Saat ini, satu unit Rafale dibanderol sekitar Rp1,6 triliun atau sekitar Rp300 miliar-Rp500 miliar lebih mahal ketimbang F-16 buatan Lockheed Martin.  

Ilustrasi peluncur roket Himars. /Foto Twitter

Dominasi AS dan kontroversi 

Meski begitu, Prancis masih belum mendominasi pasar senjata global. Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mencatat AS dan Rusia menjadi eksportir persenjataan terbesar di dunia selama tiga dekade terakhir. Pada periode 2018-2022, AS menguasai hingga 40% pasar persenjataan global, sedangkan Rusia sekitar 16%. 

Khusus untuk tahun fiskal 2022, pemerintah AS dicatat menyetujui penjualan beragam jenis persenjataan senilai US$153 miliar. Angka itu naik sekitar 49% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni sebesar US$103,4 miliar. Perang Rusia-Ukraina jadi salah satu pemicu kenaikan penjualan senjata dari AS ke luar negeri. 

 

Dalam "Profits of War: Corporate Beneficiaries of the Post-9/11" yang terbit di Center for International Policy pada 2021, William D. Hartung merinci sejumlah korporasi produsen persenjataan terbesar di Negeri Paman Sam. Selain Lockheed Martin, industri pertahanan dan penjualan senjata didominasi Boeing, Northrop Grumman, General Dynamics, dan Raytheon. 

Perusahaan-perusahaan itu, kata dia, untung besar setelah Presiden AS George Bush menyerukan perang global terhadap teror (global war on terror/GWOT) tak lama setelah serangan bom meruntuhkan Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York pada September 2001. Seiring melonjaknya anggaran pertahanan Pentagon, nilai aset dan penjualan senjata Lockheed dan kawan-kawan naik.

"Sejak perang di Afghanistan, total pengeluaran Pentagon mencapai lebih dari US$14 triliun (2001-2010), sepertiganya digelontorkan kepada kontraktor-kontraktor pertahanan. Sebagian perusahaan ini memperoleh keuntungan yang dianggap legal," jelas Hartung

Dari budget sebesar itu, sebanyak US$4,4 triliun digelontorkan untuk pengadaan senjata serta riset. Kategori itu terutama jadi domain perusahaan-perusahaan kontraktor keamanan semisal Boeing dan Lockheed Martin. 

Lebih jauh, Hartung menyebut ada tiga cara utama korporasi dalam meraup keuntungan saat atau pascaperang. Pertama, menyediakan logistik dan rekonstruksi. Kedua, kontrak-kontrak pengamanan. Terakhir, menyuplai persenjataan. 

Berbagai riset menunjukkan praktik-praktik kotor korporasi dalam meraup untung. Salah satu skandal besar yang pernah terungkap melibatkan Wakil Presiden AS, Dick Cheney. Pada 2001, Cheney berstatus sebagai CEO Halliburton. 

Di Afghanistan dan kemudian di Irak pada (2004), pemerintah AS menunjuk Kellogg, Brown and Root (KBR) sebagai perusahaan pemenang kontrak rekonstruksi dua negara itu pascaperang. Belakangan, KBR diketahui anak perusahaan Halliburton. 

Tak hanya berbau konflik kepentingan, kinerja KBR juga terekam buruk. Kongres AS menemukan KBR menggelembungkan anggaran untuk pembangunan Irak dan Afghanistan sejak 2004, dari mulai anggaran pembuangan sampah hingga katering. "Pada 2011, totalnya sekitar 31 miliar hingga 60 miliar US$," tulis Hartung. 

Kinerja buruk KBR itu memakan korban jiwa. Pada 2004, setidaknya ada 18 personel militer di berbagai barak di Irak yang tewas karena tersengat aliran listrik. Dari hasil investigasi, KBR terungkap menggunakan teknisi listrik amatiran dalam proyek-proyek rekonstruksi di Irak dan Afghanistan. 

Dalam Blood Money, Wasted Billions, Lost Lives and Corporate Greed in Iraq yang terbit pada 2006, Christian Miller menulis kekacauan akibat perang juga menguntungkan perusahaan-perusahaan kecil. Salah satunya ialah Custer Battles, perusahaan yang ditugasi menjaga bandara di Baghdad dan mengumpulkan mata uang Irak yang lama. 

Oleh pemerintah AS, Custer Battles ditunjuk untuk tugas itu karena proposalnya paling "murah". Padahal, Custer Battles tak pernah punya pengalaman mengamankan bandara dan memenangi kontrak pemerintah AS sebelumnya. 

Dari hasil inspeksi, militer AS menemukan Custer Battles menyewa petugas keamanan yang tak berpengalaman, tidak menyewa penerjemah yang bisa berbahasa Arab, dan tidak menerjunkan anjing-anjing pelacak yang bisa mendeteksi bahan peledak.

"Pegawai-pegawai mereka juga hidup bermewah-mewah. Saat para prajurit AS masih tinggal di tenda-tenda, Custer Battles membangun kolam renang, meng-install AC dan koneksi internet bagi mereka sendiri. Mereka bisa melakukan itu karena duit dari pemerintah terus mengalir," jelas Miller. 

Skandal lainnya melibatkan Blackwater, perusahaan militer swasta yang berbasis di Herndon, Virginia. Pada 2007, saat mengawal konvoi mobil Kedubes AS, sejumlah petugas keamanan Blackwater menembaki kerumunan warga yang berkumpul di Nisour Square, Baghdad. Sebanyak 17 orang tewas kala itu. 

Pada 2014, pengadilan memvonis para pegawai Blackwater, termasuk para petingginya, bersalah dalam peristiwa itu. Meski begitu, Donald Trump, Presiden AS kala itu, memaafkan dan membebaskan para petinggi Blackwater dari ancaman bui. 

Dalam "US Arms Sales Trend 2020 dan Beyond: From Trump to Biden" yang terbit di jurnal Center for International Policy pada 2021, William D Hartung dan Elias Yousif menulis penjualan senjata ke luar negeri jadi bisnis paling menguntungkan bagi perusahaan AS. Meskipun pembelinya "bermasalah", pemerintah AS kerap tutup mata. 

Hartung dan Yousif mencontohkan penjualan beragam jenis senjata ke negara-negara Timur Tengah. Pada 2010, misalnya, pemerintahan Barrack Obama mengamankan kesepakatan penjualan senjata ke Arab Saudi dengan nilai total US$60 miliar. Selain pesawat tempur, AS juga menjual misil, roket, bedil, dan amunisi. 

"Sistem persenjataan itu digunakan Arab Saudi dalam perang di Yaman, yang kembali pecah pada Maret 2015, termasuk serangan indiskriminasi dan blokade yang berkontribusi menyebabkan kematian hingga seperempat juta orang," jelas mereka.

Presiden AS Joe Biden (kiri) bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy (kanan), awal Maret 2023. AS menjanjikan bantuan persenjataan baru ke Ukraina dalam perang melawan Rusia. /Foto Instagram

Lobi dan opini

Pada 2021, AS resmi menarik pasukannya dari Afghanistan. Secara bertahap, AS juga menarik pasukan militer mereka di Irak dan menutup markas-markas militer mereka di berbagai belahan dunia. Namun demikian, budget Pentagon untuk urusan keamanan tak serta-merta ikut turun. 

Industri pertahanan AS turut berkontribusi menjaga agar agar anggaran militer tetap tinggi. Menurut OpenSecrets, sejak 2001, korporasi produsen senjata menggelontorkan dana hingga US$285 juta untuk membantu kampanye politikus AS, dengan fokus utama memenangkan para calon presiden, anggota kongres, dan senat. 

Selain itu, industri pertahanan juga tercatat telah mengeluarkan dana US$2,5 miliar untuk melobi para politikus dan pejabat pemerintah. Rata-rata sekitar 700 pelobi dikerahkan tiap tahunnya untuk memastikan kebijakan terkait militer dan pertahanan sejalan dengan kepentingan perusahaan. 

Dalam "Capitalizing on Conflict: How Defense Contractors and Foreign Nations Loby for Arm Sales" (2021),  Dan Auble menulis negara-negara peminat senjata AS juga turut menerjunkan para pelobi. Bahkan, sejumlah negara telah punya "kantor-kantor" khusus di AS untuk tujuan itu.

Arab Saudi, misalnya, menggunakan Squire Patton Boggs, sebuah firma hukum di Washington DC, untuk melobi penjualan senjata ke negara mereka. Pada 2017, Arab Saudi menggelontorkan US$750 ribu untuk Squire Patton Bogs guna "mengunci" kesepakatan penjulan senjata senilai US$110 miliar dari AS. 

"Sebelum dan setelahnya, mereka (Squire Patton Boggs) lantas tercatat merepresentasikan dua perusahaan senjata yang paling diuntungkan dari penjualan itu, yakni Raytheon dan Northrop Grumman," jelas Auble. 

Lobi-lobi industri senjata, menurut Auble, efektif lantaran para pelobi yang mereka terjunkan punya koneksi yang kuat di Washington. Pada 2020, dari 663 pelobi yang dipekerjakan perusahaan penjual senjata, sekitar 73% di antaranya pernah bekerja untuk pemerintahan federal. 

Perusahaan-perusahaan itu juga merekrut mantan pejabat Pentagon untuk menjembatani mereka di lingkaran birokrasi. Pada 2016, ada 96 mantan pejabat Pentagon yang bekerja untuk lima perusahaan kontraktor pertahanan terbesar. "Ratusan pelobi juga punya latar belakang pernah bekerja di Kementerian Pertahanan," jelas Auble. 

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia

Selain pelobi, industri pertahanan juga menggerakkan kalangan akademikus untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam risetnya, Ben Freeman, peneliti dari Quincy Institute, menemukan korporasi senjata telah menggelontorkan setidaknya US$1 miliar untuk 50 lembaga think-thank di AS pada periode 2014-2019. 

Selain lembaga besar, industri pertahanan juga mendanai lembaga-lembaga pemikir kecil untuk menyuarakan kepentingan mereka di ruang publik. Korporasi pendonor semisal Boeing, Lockheed Martin, dan Northrop Grumman. 

"Mereka mendapat pendanaan besar dengan menyediakan megaphone untuk mengopinikan posisi-posisi yang menguntungkan bagi industri pertahanan dalam segala hal, mulai dari pembangunan kekuatan maritim, penjualan F-35, hingga kebijakan nasional tentang nuklir," kata dia. 

Lantas, bagaimana dengan perang di Ukraina? Sejumlah pakar menganalisis AS terkesan sengaja memperpanjang perang Ukraina dengan Rusia. Salah satu sasaran yang ingin dicapai AS ialah melemahkan militer Rusia. 

Bagi industri pertahanan AS, sebagaimana dicatat SIPRI, perang Ukraina sudah mulai menguntungkan. Penjualan senjata dari AS ke sejumlah negara Eropa meningkat. Di lain sisi, penjualan senjata dari Rusia terganjal ke berbagai negara lantaran kebutuhan militer yang besar untuk perang di Ukraina. 

"Sangat mungkin invasi ke Ukraina akan membatasi kemampuan ekspor Rusia. Ini karena Rusia akan memprioritaskan pasukan mereka dan permintaan dari negara-negara lain juga bakalan rendah karena diberlakukannya sanksi perdagangan dan tekanan AS," kata Siemon T. Wezeman, peneliti senior SIPRI.

Berita Lainnya
×
tekid