sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

5 curhatan dokter gigi soal pasien, jangan-jangan Kamu termasuk?!

Drg Farrah akan membahas lima masalah yang sering Ia temui saat berhadapan dengan pasien. Banyak kesalahpahaman yang perlu diluruskan.

Fitra Iskandar
Fitra Iskandar Jumat, 06 Agst 2021 16:01 WIB
5 curhatan dokter gigi soal pasien, jangan-jangan Kamu termasuk?!

Hubungan pasien dan praktisi medis seperti sepasang kekasih. Sering berbagai kesalahpahaman terjadi. 'kesal' tapi 'rindu', namun tidak bisa dipisahkan. Masing-masing perlu terus membenahi dan mengasah diri, agar semakin saling pengertian yang membuat hubungan bertambah klop dan harmonis mencapai tujuan yang sama, "kesehatan gigi".

Drg Farrah Juwita Yamin dari RS Mitra Keluarga Tegal membagi pengalaman dan pandangannya tentang berbagai dinamika yang ia temui di lapangan selama ini, kepada ALinea.id. Bagaimana kebiasaan atau pandangan pasien dokter gigi, yang menurutnya perlu diluruskan. 

"Sebagai praktisi medis di bidang kedokteran gigi, saya melihat masih banyak hal yang menjadi Pekerjaan Rumah (PR) para dokter gigi di Indonesia. Termasuk meluruskan mitos-mitos yang beredar di masyarakat tentang perawatan gigi," kata dokter gigi lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Dr Moestopo ini. 

"Saya secara subyektif akan membahas satu persatu mengenai permasalahan di atas, tentunya dilihat dari sudut pandang saya sendiri sebagai seorang dokter gigi."

1. Gigi belum sakit jadi tidak perlu diperiksa

Hal yang mempersulit para dokter gigi sebagai ujung tombak dalam peranannya meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut, adalah kesadaran masyarakat yang kurang dalam merawat gigi. Ini bukan perkara yang mudah. Banyak faktor yang mempengaruhi baik faktor Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Menjadi PR yang sangat besar bagi para dokter gigi untuk meningkatkan usahanya dalam tindakan promotif. Mengedukasi pasien, meningkatkan komunikasi interpersonal menjadi sangat penting. Tidak ada salahnya jika para praktisi dokter gigi mau menambahkan waktu untuk menjelaskan ke pasien di dalam suatu kunjungan bahwa datang ke dokter gigi 6 bulan sekali adalah sangat penting. Sama pentingnya dengan melakukan medical check up, pemeriksaan kehamilan ataupun jenis pemeriksaan lain yang dilakukan secara rutin.

Menurut saya ada beberapa tips ketika berkunjung ke dokter gigi, yaitu paling tidak pasien harus memperoleh beberapa informasi dari dokter gigi di antaranya sebagai berikut :

Sponsored

• Kapan seseorang harus ke dokter gigi?
• Indikator yang perlu diketahui seseorang untuk segera   periksa ke dokter gigi?
• Kenapa harus ke dokter gigi?

Salah satu problem bagi para dokter gigi adalah pasien sering berkunjung memeriksakan giginya setelah gigi mengalami sakit yang sangat hebat. Lebih parah lagi sakit gigi sudah berulang atau sudah mengalami rasa sakit yang hilang timbul terus menerus (kambuhan). 
Pasien datang dalam kondisi sudah bengkak, bahkan sudah pernah bengkak dan kempes lalu bengkak lagi. Artinya dokter gigi melakukan pemeriksaan klinis pada kondisi gigi yang sudah sangat parah, sehingga tindakan yang harus dilakukan adalah pencabutan. Karena gigi yang sudah pulpitis kronis (Radang pada syaraf gigi yang sudah cukup lama dan menetap) Prognosanya menjadi buruk, dan gigi jadi sulit untuk dipertahankan.

Tetapi bagaimanapun kondisi pasien saat itu, ketika pasien melakukan kunjungan pertama kali ke dokter gigi, menurut saya saat itu adalah “golden time” bagi dokter gigi untuk mengedukasi pasien secara personal dan memberikan informasi sebanyak mungkin untuk mereka. 

Paling tidak yang diharapkan dari pertemuan yang pertama ini pasien harus mendapatkan penjelasan mengenai tiga pertanyaan yang telah saya sebutkan di atas. Karena komunikasi yang terbuka antara dokter gigi dan pasien akan membuka wawasan pasien tentang pentingnya ke dokter gigi dengan harapan berikutnya, kesadaran pasien untuk melakukan tindakan prefentif menjadi meningkat.

Jadi apa sih yang menjadi indikator pasien untuk melakukan kunjungan ke dokter gigi?

Mungkin ini adalah pertanyaan yang penting untuk dijawab. Menurut saya ketika seseorang sudah merasakan makanan sering tersangkut di gigi sebagai indikator adanya lubang, atau ketika seseorang pada saat menyikat gigi gusi sering berdarah untuk indikator terdapat Karang pada gigi. Pada saat itu seseorang wajib memeriksakan giginya.

2. Enggan ke dokter gigi karena "mahal"

Faktor ekonomi erat kaitannya dengan mitos tentang mahalnya tindakan pada perawatan gigi. Kita menyadari melakukan perawatan pada gigi belum menjadi kebutuhan esensial bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Jika kita berbicara tentang kebutuhan masyarakat, tentu masyarakat akan memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan setelah kebutuhan sandang, pangan dan papan tercukupi. Dan mahalnya perawatan gigi menjadi salah satu faktor penyebab minimnya kunjungan ke dokter gigi.

Pertanyaannya adalah apakah biaya perawatan ke dokter gigi mahal? 

Menurut saya banyak faktor yang menentukan mahal atau tidaknya perawatan gigi, misalnya di lihat dari tingkat keparahan penyakit giginya, prognosis (atau kemungkinan sembuh/tidaknya), kesulitan teknik, dan yang paling penting adalah nilai estetik dari suatu tindakan perawatan gigi.

Hal yang masih banyak belum diketahui masyarakat adalah bahwa tindakan perawatan gigi terdiri dari sektor promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitatif. Sektor promotif kaitannya adalah edukasi personal pasien, penyuluhan, UKGS dan sebagainya. Sedangkan preventif antara lain berupa tindakan pembersihan karang gigi, fissure sealant, fluoridasi, sikat gigi yang teratur dan benar dan seterusnya. Kuratif yaitu penambalan gigi, perawatan sakuran akar, kuret periodontal dsb. Dan rehabilitatif seperti protesa gigi tiruan, bleaching, orthodonti dan sebagainya.

Jika melihat dari berbagai sektor di atas, tindakan perawatan gigi pada sektor prefentif atau pencegahan, tentu relatif lebih murah dibandingkan tindakan kuratif (pengobatan) karena berkaitan dengan risiko yang minimal dan prognosanya yang sangat baik, tentu biayapun akan jadi lebih murah. 

Pada sektor rehabilitatif perawatan gigi relatif menjadi lebih mahal karena terdapat nilai estetik yang tentu menjadi rasional jika perawatan menjadi lebih berharga, pastilah dokter gigi mengeluarkan kemampuan yang lebih dari sekedar ilmu, tapi skill, beragam bahan material, seni dan teknik bahkan mungkin resiko yang luar biasa sulit sehingga penyesuaian harga menjadi diperlukan.

Jadi pertanyaannya pada sektor mana perawatan yang diberikan pada seorang pasien, hal ini akan mempergaruhi. Adalah penting untuk dipahami pasien jika ingin mendapatkan perawatan gigi dengan biaya yang tidak mahal, tentu pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut menjadi sangat mutlak. Sudah menjadi risiko untuk kita semua bahwa kesehatan akan menjadi mahal jika tidak dipelihara dan di jaga dengan baik. Oleh karena itu kita akhirnya kembali lagi kepada kalimat “mencegah lebih baik dari pada mengobati” karena “mencegah lebih murah daripada mengobati” tentunya demikian.

Selain itu era BPJS yang sedang dijalani sekarang ini, seharusnya dapat mematahkan pendapat pasien mengenai tindakan perawatan gigi yang mahal, dikarenakan semua tindakan perawatan kesehatan gigi dasar diberikan secara gratis di tingkat faskes pertama seperti puskesmas, klinik pratama, atau klinik dokter gigi keluarga.

3. Kalau ke dokter gigi “takut dicabut" dan "takut disuntik”

Suatu hari seperti biasa pasien datang ke klinik saya dengan keluhan sakit gigi yang sudah seringkali kambuh.

Saya   : “Bagaimana bu, keluhannya apa..?”
Pasien : “Dok gigi saya sudah sering sakit, rasanya pengin dicabut saja…tapi saya takut..”
Saya   : “Takutnya kenapa?..”
Pasien : “dicabut sakit ga dok?…”
Saya   : “Klo dicabut…kan kita suntik dulu bu, biar waktu dicabut tidak terasa…”
Pasien : “Nah itu dia dok….”
Saya   : “Kenapa bu…”
Pasien : “Saya takut disuntik..disuntik sakit ga dok?…”
              Begitu seterusnya, pertanyaan saya dijawab dengan pertanyaan berikutnya.

Kira-kira begitulah komunikasi yang sering terjadi di ruang praktek antara dokter gigi dan pasien. Terdapat beberapa poin penting, yaitu :

  • Hampir setiap hari dengan keluhan yang sama dan permasalahan yang sama, pasien datang ke dokter gigi dengan dorongan yang sangat besar untuk mencabut giginya dikarenakan sudah tidak sanggup lagi menahan sakit gigi yang sudah sering kambuh tersebut.
  • Artinya mungkin pasien sudah terpaksa menyerah dengan kondisi giginya yang mau tidak mau mendorongnya untuk memberanikan diri ke dokter gigi.

Jadi jika dilihat dari penyebab datangnya pasien berkunjung ke dokter gigi, masih jauh dari karena  kesadaran untuk mencegah sakit gigi, atau sekedar melakukan kunjungan rutin untuk memeriksakan gigi kalau saja terdapat karang gigi atau tidak, ada lubang atau tidak, yang tentunya adalah harapan terbesar para dokter gigi untuk tindakan pencegahan. Tetapi melainkan si pasien telah melakukan pertimbangan yang mungkin sudah cukup lama bahkan mungkin istilah “maju...mundur.” 

Pantas dalam hal ini, akhirnya tidak ada cara lain selain datang kepada yang ahli menangani masalah per-gigi-an yakni dokter gigi, dan inilah yang disebut sebagai “power of kepepet…” pada pasien.

Contoh di atas bahkan adalah komunikasi yang paling halus antara dokter gigi dan pasien. Kenyataannya banyak yang lebih parah dari itu, ada yang datang ditemani oleh pasangan atau orang tua, tapi yang ingin dicabut masih “ngumpet” di luar karena sedang gemetaran. Ada yang sudah diiming-imingi dengan coklat, boneka, tablet, dikasih uang atau jalan-jalan ke luar kota, ini biasanya pada pasien anak-anak, sehingga suasana di ruangan pada saat itu persis seperti di pasar penuh dengan negosiasi dan tawar menawar antara anak dan ibunya. 

Pernah suatu waktu si anak hanya mau membuka mulut jika akan dibayar Rp.10 ribu. Jadi hilanglah esensi tujuan dari kunjungan ke dokter gigi itu sendiri. Bahkan saya pernah mengalami sendiri kejadian yang cukup memilukan, ketika seorang ibu berusia 70 thn di antar oleh tiga anaknya yang sudah berusia kurang lebih rata-rata 30 tahun yang begitu prihatin dengan kondisi gigi ibu mereka yang sudah tinggal sisa akar dan menghitam, mereka berharap gigi sang ibu bisa dicabut karena sering menimbulkan sakit kepala. Saya menyaksikan betapa sulitnya mereka membujuk ibunya yang sudah duduk di atas kursi gigi tapi masih takut untuk membuka mulut. 

Ya…hanya untuk membuka mulut saja mereka sampai membentak-bentak ibu mereka sendiri yang sudah tua setelah segala bujuk rayu masih belum bisa membuat si ibu berani membuka mulut.

Inilah yang menyulitkan para dokter gigi di seluruh belahan dunia manapun ketika berperan sebagai pelaku kesehatan yang dituntut untuk kreatif, inovatif, persuasif dan edukatif dalam melakukan pendekatan kepada pasien dengan beragam hambatan permasalahan, yang akhirnya sebagai dokter gigi kami sadar bahwa meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut adalah hal yang tidak mudah. 

Terkadang masalah yang paling sulit adalah ketika kita sebagai seorang dokter gigi berhadapan dengan pasien yang sudah memiliki sugesti yang sangat luar biasa dibenak mereka kalau jika gigi dicabut maka akan sakit.

Jadi tantangan untuk dokter gigi menjadi berlipat ganda, karena harus meyakinkan pasien dan mengalahkan sugesti mereka dengan keahlian komunikasi yang kaya improvisasi bahasa, penampilan yang kharismatis, atau malah mungkin memang kami perlu mempelajari ilmu hipnotis agar saat berbicara tampak semakin meyakinkan. 

Tetapi selain itu ada tanggung jawab moril yang sangat besar jika pada saat dilakukannya tindakan pencabutan, tentunya setelah dilakukan prosedur yang sesuai seperti tensi, anastesi terlebih dahulu, lalu kemudian si pasien masih merasakan sakit seperti yang ditakutkan, karena terdapat faktor infeksi yang tidak terdeteksi, atau ada faktor penyulit. Maka, dampak besar yang akan kami (dokter gigi) hadapi adalah rasa “trauma” pada pasien baik anak-anak maupun dewasa. Dan percayalah, dari setiap anamnesa yang saya lakukan, inilah penyebab mengapa pasien tidak mau kembali lagi ke dokter gigi setelah bertahun-tahun lamanya. Bahkan apa yang saya bicarakan belum sampai pada fase tindakan sama sekali. Pendekatan yang harus kami lakukan luar biasa harus dengan seni komunikasi dan kesabaran yang sangat tinggi saudara-saudara, brother and sister.

So..melihat kenyataan di atas apakah masyarakat di luar sana yang masih memandang profesi dokter gigi adalah profesi yang hanya mengatasi masalah “32 gigi saja”, masih menganggap masalah gigi adalah masalah yang mudah…? mudah-mudahan masyarakat sekarang sudah semakin cerdas.

Memang yang harus menjadi bahan koreksi untuk para dokter gigi adalah menjawab pertanyaan, mengapa terdapat pandangan yang begitu menyeramkan mengenai dokter gigi di masyarakat. Mengapa data kunjungan ke dokter gigi, masih relatif sangat sedikit jika dibandingkan dengan kunjungan pemeriksaan penyakit lainnya. 

Lantas apa yang harus dilakukan oleh para dokter gigi di era yang sekarang menuntut upaya promotif dan prefentif harus lebih banyak dibandingkan tindakan kuratif. Saya rasa ini adalah salah satu “PR” untuk kita semua para dokter gigi. Semua tergantung pada sektor mana kita akan berperan dan itu kembali lagi kepada orientasi kita dalam menjalani profesi ini.

4. Takut dengan dokter giginya...

Berikut adalah sedikit petikan pembicaraan saya dengan pasien, yang pada saat itu sudah duduk di atas kursi gigi.

Saya     : “Ibu..sudah pernah ke dokter gigi sebelumnya?…”
Pasien  : “Sudah dok dulu saya pernah ke dokter gigi A, yang dulu saya pernah disuruh cabut”
Saya     : “Loh…kenapa kok ga jadi dicabut..”
Pasien   : “Saya takut dok, dokternya galak..”
(Sontak saya langsung pasang wajah penuh senyum yang paling manis, supaya selamat dari stempel galak si ibu).

Kita tahu banyak sekali penelitian yang membahas mengenai pengaruh penampilan seseorang atau bahasa tubuh dalam memperoleh kepercayaan dari klien. Sudah tentu seorang dokter gigi harus pandai menjaga penampilan sebaik mungkin untuk meningkatkan kredibilitas di depan pasien. 

Terkadang seorang pasien akan lebih percaya dengan kesan tampilan visual dokter gigi yang dari “gestur tubuh” tampak pintar, bersih, ramah atau dikenal dengan Bahasa non-verbal, serta bertutur kata yang baik, humoris dan komunikatif atau dikenal dengan bahasa verbal. Paling tidak gambaran pengalaman yang banyak dalam menangani pasien, terutama sekilas memiliki tenaga yang kuat jika mencabut gigi. Hal ini mungkin menjadi sedikit sulit untuk dokter gigi yang kecil, seorang perempuan, dan muda.

Mungkin pertanyaan yang muncul di benak pasien pertama kali adalah “bisa tidak ya dia mencabut gigi?..”. Beda halnya dengan tipe dokter yang tampak sedikit garang, tidak banyak bicara, berbadan besar, pada beberapa pasien ini malah menambah rasa takut mereka untuk memperoleh tindakan pasien. Atau malah sebaliknya pasien jadi semakin percaya karena dari tampilan fisik tampak mumpuni dan pasti tenaganya kuat dalam mencabut gigi. Loh lantas bagaimana dokter gigi dengan badan yang berukuran kecil?..apakah PR berikutnya adalah para dokter gigi harus mengikuti fitness atau olah raga kebugaran sehingga tampak lebih kekar, begitu?

Kita mengetahui pencabutan itu bukan masalah besaran tenaga yang dibutuhkan, melainkan ketepatan teknik pencabutan yang dilakukan dengan dibantu alat pencabutan yang presisi. Jadi untuk para dokter gigi 'mini', tetaplah kalian tampil apa adanya. Ini bukanlah masalah besar atau kecil. Ukuran bukan masalah, yang penting performanya.

Berbicara soal pelayanan kepada pasien, nyatanya seorang dokter gigi memang harus sebisa mungkin memberikan pelayanan yang tepat dan membuat pasien nyaman, jika tidak bersiap-siaplah ditinggal pasien. Hal ini banyak terjadi di lapangan, ketika pasien lebih memilih kriteria tertentu dalam menentukan dokter gigi mana yang akan mereka kunjungi. Tidak jarang banyak pasien yang menanyakan ke bagian customer servis, bagian informasi Rumah sakit, Puskesmas atau Klinik untuk menyurvei di antara banyak pilihan dokter, dokter mana yang paling enak. Jadi tantangan bagi para dokter gigi berikutnya adalah bagaimana caranya membangun sebuah image yang positif sehingga menjadi bagian dari dokter gigi yang direkomendasikan.

5. Di "tukang gigi lebih “murah”

Seorang pasien mengirimkan pesan ke inbox facebook saya dan mengeluhkan tentang giginya seperti berikut ini.

“Dok saya mau konsul soal gigi saya, semenjak gigi saya dilaser di tukang gigi, kok gusi saya sering bengkak dan juga nafas mulut saya menjadi bau dan tidak segar. Bagaimana ya dok solusinya?. Sebenarnya saya pengen langsung ke dokter gigi tapi saya takut nanti mahal bayarnya. Kemaren waktu pasang gigi palsu memang gigi saya tidak dicabut dok, mohon jalan keluar..”

Kira-kira demikian isi yang disampaikannya di facebook. Lantas bagaimana sikap kita sebagai dokter gigi dalam menanggapi hal ini. Kasus seperti ini pastinya hampir dihadapi oleh seluruh dokter gigi di Indonesia. Tukang gigi memang sudah menjadi profesi yang keberadaannya telah diakui oleh pemerintah. Dikarenakan keberadaan para tukang gigi dianggap dapat membantu mengatasi permasalahan mahalnya perawatan gigi, dan bisa dibilang mereka cukup mumpuni untuk melakukan tindakan perawatan gigi.

Masalah biaya perawatan lagi-lagi menjadi faktor yang membuat pasien berfikir dua kali untuk datang ke dokter gigi. Tapi apakah masyarakat mengetahui bahwa, tidak semua tindakan yang dilakukan oleh dokter gigi dapat dilakukan oleh tukang gigi? 

Mereka bukan ahli yang berkompeten dalam melakukan tindakan pencabutan, penambalan dan sebagainya. Tetap saja terdapat batasan-batasan yang tidak bisa dilakukan oleh tukang gigi dalam melakukan perawatan. Tapi ironisnya di luar sana masih banyak para tukang gigi yang tidak mempedulikan dampak jangka panjang dari pembuatan gigi tiruan yang tidak mempertimbangkan kesehatan jaringan periodontal, dampak jangka panjangnya dapat menimbulkan infeksi di bawah gigi tiruan disebabkan masih terdapat sisa akar yang tidak dicabut dan posisinya terletak di bawah gigi tiruan yang dipasang permanen.

Hal ini tentunya merugikan pasien karena tidak mementingkan kesehatan pasien secara umum. Tapi karena alasan biaya yang relatif lebih murah, inilah yang menyebabkan masyarakat lebih memilih ke tukang gigi. Semua ini menurut saya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut. Informasi yang diperoleh oleh masyarakat tentang pentingnya membersihkan karang gigi setiap 6 bulan sekali, mencabut gigi yang sudah membusuk, serta dampak-dampak lain akibat tidak merawat rongga mulut masih sangat minim sekali. Upaya promotif harus lebih banyak dilakukan oleh para dokter gigi. Selain itu edukasi kepada pasien yang melakukan kunjungan ke dokter gigi sangat penting dilakukan. Tentu upaya edukasi yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan serta bekerjasama lintas sektoral akan berdampak pada implementasi tindakan perawatan pencegahan.

"Jika hal ini gencar dilakukan maka tidak menutup kemungkinan di generasi yang akan mendatang, tindakan kuratif perlahan-lahan berkurang. Sehingga derajat kesehatan gigi dan mulut di Indonesia akan semakin membaik. Dengan demikian masyarakat tidak perlu merogoh kocek yang banyak, dikarenakan mahalnya biaya gigi tiruan akibat banyaknya gigi yang hilang karena pencabutan," ujar drg Farrah. 

Berita Lainnya
×
tekid