close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi waktu./Foto PIRO4D/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi waktu./Foto PIRO4D/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 10 Juli 2025 09:02

9 dan 22 Juli serta 5 Agustus, waktu lebih singkat

Hal ini merupakan efek dari rotasi Bumi yang lebih cepat.
swipe

Waktu berlalu begitu cepat. Tampaknya, hal ini bukan sekadar metafora. Namun, benar-benar terjadi. Pada 9 Juli kemarin, serta 22 Juli dan 5 Agustus mendatang, posisi bulan diperkirakan memengaruhi rotasi Bumi, sehingga bakal lebih pendek antara 1,3 dan 1,51 milidetik dari biasanya. Artinya, Bumi berputar lebih cepat.

Untuk diketahui, sehari di Bumi adalah lamanya waktu yang dibutuhkan planet kita untuk berotasi penuh pada porosnya—sekitar 86.400 detik atau 24 jam. Namun, rotasi Bumi dipengaruhi oleh sejumlah hal, termasuk posisi matahari dan bulan, perubahan medan magnet Bumi, dan keseimbangan massa di planet ini.

Dikutip dari Live Science, sejak awal terbentuknya planet kita, rotasi Bumi telah melambat, sehingga hari-hari kita menjadi lebih panjang. Para peneliti menemukan, sekitar 1 miliar hingga 2 miliar tahun lampau, satu hari di Bumi hanya berlangsung selama 19 jam. Hal ini kemungkinan terjadi karena bulan lebih dekat dengan Bumi, sehingga tarikan gravitasinya lebih kuat daripada sekarang, menyebabkan Bumi berputar lebih cepat para porosnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan melaporkan adanya variasi pada rotasi Bumi. Pada 2020, para ilmuwan menemukan, Bumi berputar lebih cepat daripada titik mana pun sejak pencatatan dimulai tahun 1970-an. Dan kita menyaksikan hari terpendek yang pernah tercatat pada 5 Juli 2024, yaitu 1,66 milidetik kurang dari 24 jam.

Pada 9 dan 22 Juli, serta 5 Agustus 2025, bulan akan berada pada jarak terjauhnya dari ekuator Bumi, yang mengubah dampak tarikan gravitasinya terhadap poros planet kita. Karena bulan lebih dekat ke kutub, putaran Bumi bertambah cepat, membuat hari kita lebih pendek dari biasanya.

Live Science menyebut, penelitian terbaru menunjukkan, aktivitas manusia turut berkontribusi terhadap perubahan rotasi Bumi. Para peneliti di NASA telah menghitung pergerakan es dan air tanah, yang terkait dengan perubahan iklim, telah meningkatkan panjang hari kita sebanyak 1,33 milidetik per abad antara tahun 2000 dan 2018.

Peristiwa tunggal juga dapat memengaruhi putaran Bumi. Misalnya, gempa bumi pada 2011 yang melanda Jepang, memperpendek panjang hari hingga 1,8 mikrodetik. “Bahkan perubahan musim memengaruhi putaran Bumi,” ujar ahli geofisika di Universitas Liverpool, Richard Holme kepada Live Science.

Kepada The Guardian, fisikawan eksperimental di Universitas Australia Barat, David Gozzard mengatakan, terkadang bulan bertindak seperti rem tangan, menciptakan pasang surut laut, yang sedikit memperlambat putaran Bumi. Saat bulan berada paling jauh dari ekuator, efeknya melemah.

Ilmuwan Geoscience Australia, Oleg Titov menuturkan, akselerasi (percepatan) dan deselerasi (perlambatan) mengikuti tren musiman. Hari terpendek setiap tahun terjadi sekitar bulan Juli dan Agustus, yang diikuti oleh deselerasi selama November hingga Maret.

“Secara umum, para ilmuwan sepakat bahwa Bumi akan kembali melambat, namun ada kemungkinan percepatan saat ini bisa bertahan selama beberapa dekade,” kata Titov kepada The Guardian.

Ketika milidetik terakumulasi, sistem waktu yang didasarkan pada rotasi Bumi semakin menjauh dari sistem resmi waktu universal terkoordinasi, yang diukur dengan jam atom yang sangat tepat.

Untuk mengatasi perbedaan antara waktu yang dihitung berdasarkan rotasi Bumi dan waktu yang diukur dengan jam atom, para pencatat waktu global selama ini menggunakan “detik kabisat”—satu detik tambahan yang disisipkan sesekali jika diperlukan. Detik kabisat pertama ditambahkan apda 1972 dan terakhir pada 2016.

“Jam atom dan jaringan komputer kita mewakili bentuk pengukuran waktu yang jauh lebih presisi,” kata Gozzard.

“Namun, kita tetap memaksanya untuk sinkron dengan sistem pengukuran waktu lama berbasis rotasi Bumi.

Situasi bisa menjadi lebih rumit jika percepatan rotasi Bumi terus berlanjut. Alih-alih menambahkan detik kabisat, kita mungkin justru harus menguranginya—sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

“Menghapus detik kabisat bisa menimbulkan tantangan,” ujar kepala waktu dan frekuensi di National Measurement Institute—pencatat waktu resmi Australia, Michael Wouters. “Karena belum pernah diuji dalam praktik.”

Meski begitu, Gozzard menekankan, perbedaan waktu dalam skala milidetik sebetulnya tidak akan berdampak signifikan bagi kebanyakan orang. Lagi pula, kita sudah terbiasa menyesuaikan waktu secara arbitrer, seperti saat pergantian waktu musim panas atau penggunaan zona waktu yang mencakup wilayah sangat luas.

Wouters pun menambahkan, perbedaan waktu dalam hitungan sepersekian detik tak akan terasa oleh mata maupun otak manusia. Bahkan, jika selisih beberapa detik terakumulasi dalam rentang satu abad.

“Kemungkinan besar tidak ada yang benar-benar menyadarinya,” tutur Wouters kepada The Guardian.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan