close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kucing./Foto nomao saeki/Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi kucing./Foto nomao saeki/Unsplash.com
Sosial dan Gaya Hidup - Satwa
Selasa, 03 Juni 2025 06:39

Akhir riwayat pulau kucing Aoshima di Jepang

Pulau Aoshima terkenal karena populasi kucing yang melebihi manusia di sana.
swipe

Berawal dari banyaknya laporan di aplikasi JAKI terkait masyarakat yang meminta sterilisasi kucing, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo punya gagasan membuka pulau kucing di Kepulauan Seribu, Jakarta.

Di sisi lain, Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta menargetkan peletakan batu pertama di pulau kucing bisa dilakukan pada Agustus 2025. Pulau kucing bakal dirancang sebagai tempat penampungan untuk kucing-kucing telantar di Jakarta.

“Kalau memang kita putuskan punya pulau kucing seperti di Jepang, maka itu harus bisa mendatangkan wisatawan. Yang paling penting, memberikan kesejahteraan bagi kucing,” kata Pramono di Jakarta Pusat, Jumat (9/5), dikutip dari Antara.

Jepang terkenal sebagai negara yang mempelopori destinasi pulau kucing. Kini, tercatat ada 17 pulau kucing di Negeri Sakura, antara lain Aijima, Ainoshma, dan Genkai di prefektur Fukuoka; Aoshima dan Muzukijima di Ehime; Enoshima di Kanagawa; Kakarajima di Saga; Fukashima di Oita; Iwai di Yamaguchi; Manabeshima di Okayama; Ogijima dan Sanagishima di Kagawa; Okishima di Shiga; Taketomi di Okinawa; Tashirojima di Miyagi; Tokunoshima di Kagoshima; dan Yushima di Kumamoto.

Desa nelayan yang jadi kota kucing

Yang paling terkenal adalah Aoshima. Menurut ABC, tahun 2015 populasi kucing di Pulau Aoshima lebih banyak dari manusia, yakni enam banding satu.

Orang-orang pertama kali migrasi ke pulau itu sekitar 380 tahun lampau, membawa kucing untuk mengatasi tikus yang mengganggu perahu dan menggegoti jaring nelayan. Pada 2015, di Aoshima hanya ada manusia kurang dari 20 orang, berusia antara 50 dan 80 tahun, dengan 120 ekor kucing. Wisatawan datang ke pulau itu, memberi makan nasi kepal atau kentang kepada kucing-kucing liar.

“Penduduk pulau mengatakan, jumlah kucing mulai meningkat sekitar satu dekade lalu. Seiring dengan menunrunnya populasi manusia, perkembangbiakan kucing tidak terkendali,” tulis Japan Daily Press, dilansir dari ABC.

Aoshima dibangun menjadi desa nelayan yang terpencil, tetapi berkembang pesat karena melimpahnya ikan sarden di perairannya. Dikutip dari Tokyo Weekender, kucing-kucing liar di pulau itu mulanya diadopsi dari berbagai pelabuhan.

Setelah Perang Dunia II, jumlah penduduk di pulau itu sekitar 900 orang. Namun, seiring menurunnya jumlah ikan sarden di daerah tersebut, penduduk mulai meninggalkannya.

Jumlah kucing dan manusia yang tak seimbang di pulau itu malah menimbulkan masalah. Penduduk berusia lanjut merasa tidak bisa merawat kucing-kucing itu.

Problem dan “kepunahan”

Meski daya tarik pulau kucing Aoshima telah menjadikannya destinasi wisata populer, tetapi hampir tak ada perdagangan di sini. Faktanya, tak seperti kota-kota di Jepang yang tampak modern, di pulau ini tak ada toko, kafe, bahkan mesin penjual otomatis. Artinya, masuknya wisatawan tidak disertai dengan masuknya pendapatan untuk warga pulau.

Terlebih lagi, meski kucing-kucing diberi makan warga atau wisatawan, kemampuan mereka menjelajah di seluruh pulau dan membiarkan jumlahnya tak terkendali menyebabkan masalah higienitas.

Dikutip dari penelitian yang diterbitkan Journal of Applied Animal Welfare Science (2023), kualitas hidup kucing di jalanan juga bisa buruk. Termasuk faktor kalau mereka bisa memburu hewan liar setempat dan menyebarkan penyakit zoonosis.

“Membiarkan kucing liar yang memiliki kemampuan berburu tinggi akan menempatkan berbagai jenis hewan liar di pulau dalam bahaya kepunahan,” kata peneliti senior di Institut Ornitologi Yamashi, Nariko Oka.

Tahun 2018, penduduk Aoshima merasa jumlah kucing sudah terlalu banyak di pulau seluas 49 hektare itu. Lalu, menurut Japan Today, Masyarakat Perlindungan Kucing Aoshima—LSM yang memantau kesejahteraan hewan—pada Juli 2018 merekomendasikan agar semua kucing di pulau itu dikebiri atau disterilkan untuk mengurangi populasinya secara bertahap.

Proses ini dibantu organisasi kesejahteraan hewan Dobutsu Kikin yang berpusat di Hyogo dan para ahli dari Asosiasi Medis Hewan Prefektur Ehime. Sterilisasi dilakukan pada Oktober 2018.

Tokyo Weekender melaporkan, seiring waktu jumlah kucing menurun. Kucing-kucing di pulau itu semakin tua, dan tidak ada anak kucing yang lahir sejak dilakukan sterilisasi.

Pada Desember 2024, dilaporkan The Guardian, hanya tinggal empat orang yang tinggal di sini. Sementara jumlah kucing tinggal 80-an ekor. Wisatawan pun perlahan mulai berhenti datang ke sana.

The Guardian menyebut Aoshima adalah korban krisis demografi yang menimpa ribuan masyarakat pedesaan dan kepulauan di seluruh Jepang. Kucing-kucing pun sudah berusia lebih dari tujuh tahun. Sepertiganya sakit, termasuk mengalami kebutaan dan penyakit pernapasan yang disebabkan perkawinan sedarah selama puluhan tahun.

Menurut anggota Masyarakat Perlindungan Kucing Aoshima, Kuuchi Takino, usaha mereka melakukan sterilisasi kucing massal pada 2018 adalah untuk mengantisipasi hari ketika penghuni terakhir pergi.

“Kami berusaha mencegah skenario terburuk,” kata Takino, dikutip dari The Guardian.

“Jika populasi kucing dibiarkan tumbuh sementara jumlah penduduk terus menurun, situasi di pulau itu pada akhirnya akan menjadi tidak tertolong.”

Profesor di fakultas kedokteran hewan Universitas Sains Okayama, Fumiko Ono mengatakan, tidak ada alternatif lain selain program sterilisasi. “Mengingat populasi penduduk pulau yang menua dan menurun, pengebirian kucing adalah pilihan terbaik,” ujar Ono.

Di Pulau Aoshima, perempuan tua bernama Naoko Kamimoto yang dijuluki “Mama Kucing” masih setia merawat kucing-kucing di sana, memberi mereka makan dua kali sehari, memberi obat-obatan, dan mengawasi mereka saat berinteraksi dengan wisatawan. Namun, Kamimoto sudah menyadari kenyataan pahit di pulau kucing itu.

“Sungguh menyedihkan, tetapi saya pikir manusia akan punah sebelum kucing. Pulau ini memiliki sejarah hampir 400 tahun, tetapi akan punah. Yang terbaik, yang dapat kita lakukan adalah merawat mereka (kucing) sampai akhir,” ucap Kamimoto kepada The Guardian.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan