close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi makanan bertulang. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi makanan bertulang. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 01 Oktober 2025 19:09

Alasan ilmiah untuk makan lebih banyak tulang

Sejak 2018, kaldu tulang jadi tren di kalangan pemburu makanan sehat. Namun, ternyata tulang pun mengandung banyak nutrisi yang baik bagi tubuh.
swipe

Pada era 80-an hingga awal 2000-an, ide untuk memasak daging dengan tulang—apalagi dengan kulit—hampir tak pernah terdengar. Daging bertulang kerap dipandang sebagai sesuatu yang barbar, tidak sehat, dan sebaiknya dihindari. Anggapan umum kala itu, untuk bisa makan sehat, kita harus memilih potongan daging yang paling ramping. 

Namun, kaldu tulang (bone broth) justru menjadi tren besar sejak 2018. Lemak jenuh kini diketahui penting bagi kesehatan kita. Tetapi, masih banyak orang yang ragu memasak daging bertulang. Padahal, memakan tulang ternyata sudah jadi tradisi turun-temurun di berbagai belahan dunia. 

Menurut Joe Regenstein, seorang ilmuwan pangan dari Cornell University, ada lebih banyak nilai gizi dalam tulang dibanding sekadar kolagen dan sumsum. Tulang terutama tersusun dari kalsium dan fosfat, serta kaya akan mineral seperti zat besi, magnesium, dan kalium. 

Regenstein sendiri seorang penyuka tulang. “Saya rasa itu (kebiasaan mengunyah tulang) terjadi secara alami. Kalau ayamnya digoreng, tulangnya memang gampang dimakan," kata Regenstein seperti dikutip dari National Geographic, Rabu (1/10). 

Penelitian yang terbatas membuat mustahil untuk menentukan tulang mana yang paling baik untuk kebutuhan diet tertentu. Namun, tulang menyumbang sekitar 10 hingga 20 persen dari massa tubuh hewan mana pun, dan sering kali merupakan jaringan yang paling padat gizi.

Berbeda dengan anjing, rahang dan gigi manusia tidak dibangun untuk menggigit keras tulang padat demi mendapatkan sebagian besar mineralnya. Tulang yang keras juga bisa pecah menjadi serpihan saat kita mencoba menggigiti yang berpotensi menggores atau bahkan melukai saluran pencernaan. 

Inilah mungkin sebabnya banyak budaya secara historis hanya fokus mengekstrak lemak sumsum dan sedikit protein dari beberapa tulang, lalu menggunakan sebagian besar kerangka hewan sebagai bahan kerajinan, bukan makanan. 

"Tulang mudah diukir dan secara tradisional digunakan untuk membuat berbagai benda, mulai dari kancing hingga bilah sepatu es tradisional masyarakat adat," jelas Jennifer McLagan, koki sekaligus penulis beragam buku tentang resep makanan. 

Namun, temuan feses kuno menunjukkan bahwa beberapa manusia awal memakan hewan kecil beserta tulangnya sekaligus. Beberapa budaya—seperti orang Prancis yang hingga baru-baru ini masih memakan burung ortolan—tetap melakukan praktik itu sampai era modern. 

Hingga hari ini, banyak orang juga masih memakan ujung tulang kecil ayam yang dimasak matang, atau bagian ekor dan sirip ikan goreng yang bertulang. Praktik ini tampaknya sangat umum di beberapa wilayah Afrika dan Asia. Orang-orang di Barat hanya sesekali melakukannya.

Dan bukan hanya tulang kecil. Berbagai catatan yang tersebar menunjukkan bahwa beberapa komunitas di wilayah dengan sejarah kerawanan pangan—seperti pedesaan di Zimbabwe—juga memakan tulang panjang seperti femur. 

Seperti banyak tradisi yang lahir dari kondisi kelangkaan, praktik ini tampaknya tetap bertahan sebagai kebiasaan budaya bahkan ketika orang-orang sudah memiliki akses ke makanan yang berlimpah.

Bubuk tulang 

Sejumlah catatan sejarah menunjukkan bahwa ada budaya-budaya tertentu yang memanfaatkan baik tulang kecil maupun besar dengan cara menumbuknya hingga menjadi bubuk halus. Penggunaan bubuk tulang sebagai suplemen gizi bahkan bertahan hingga akhir abad ke-20 di Amerika.

Namun, dibutuhkan waktu dan keterampilan untuk melembutkan atau menumbuk tulang hingga benar-benar bisa dimakan. Di negara-negara maju yang terobsesi dengan kenyamanan, McLagan berpendapat, hal inilah yang mungkin lebih menjelaskan mengapa minat terhadap penggunaan kuliner dari tulang semakin hilang.

“Kita sudah tidak lagi melihat tulang sebagai sesuatu yang berguna,” ujar dia. “Orang-orang sekarang lebih menganggapnya sebagai kerepotan. Sesuatu yang harus dibuang.”

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah peneliti dan perusahaan rintisan mulai mengeksplorasi teknik baru untuk mengubah tulang menjadi bahan masakan yang cepat dan mudah digunakan. Unsur tulang, misalnya, ada dalam sosis dan paté, nugget, kue ikan, bahkan roti putih yang dijual di pasaran. 

Peneliti Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) Jogeir Toppe mengatakan beberapa perusahaan pengolah makanan di Eropa dan Asia juga sudah meluncurkan produk komersial yang mengandung tulang yang dilunakkan. Menurut dia, konsumen bisa menerimanya dengan baik.

"Dengan cukup waktu, ketekunan, dan edukasi, kita mungkin akan segera menyaksikan kebangkitan praktik makan tulang di seluruh dunia," kata Toppe. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan