close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gedung Produksi Film Negara (PFN) di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur./Foto pfn.co.id
icon caption
Gedung Produksi Film Negara (PFN) di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur./Foto pfn.co.id
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 13 Maret 2025 15:57

Bagaimana kiprah PFN dalam perfilman nasional?

Sejak masa kolonial hingga Orde Baru menjadi perusahaan film propaganda penguasa.
swipe

Riefian Fajarsyah atau yang dikenal dengan Ifan Seventeen ditunjuk menjadi Direktur Utama (Dirut) PT Produksi Film Negara (PFN). Menurut juru bicara Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Putri Violla, Ifan memiliki pengalaman dan latar belakang yang cukup untuk mengembangkan serta memberi terobosan baru di PFN.

“Kita harapkan ini kan ada pemimpin muda, kita berikan kesempatan jadi dirut, jadi nanti minta tolong untuk semua, ya kita lihatlah nanti kreativitas, pengalamannya, background-nya, apa gebrakannya yang bisa dibuat untuk PFN,” ujar Putri di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (12/3), dikutip dari Antara.

Banyak kalangan meragukan Ifan memimpin PFN karena dianggap kurang kompeten. Dalam akun X, seorang sutradara pun berkomentar tidak peduli siapa pun yang jadi Dirut PFN karena PFN tidak ada gunanya bagi ekosistem perfilman. Lantas, bagaimana sebenarnya kiprah perusahaan film milik negara itu?

Bagaimana sejarah PFN?

Cikal-bakal PFN adalah Algemeene Nederland Indische Films (ANIF), yang didirikan jurnalis Belanda, Albert Balink pada pertengahan 1930-an. Perusahaan film ini kelanjutan dari Java Pasific Film yang bangkrut setelah memproduksi film Pareh.

ANIF merupakan perusahaan film milik pemerintah kolonial. Pada 22 Desember 1936, disebutkan Misbach Yusa Biran dalam buku Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa (2009), film berita pertama buatan ANIF diputar di Den Haag, Belanda. Film ini disebut sebagai film bersuara pertama dari Hindia. Di dalamnya direkam keramaian di Lapangan Waterloo (Lapangan Banteng), pawai ke Istana Gubernur Jenderal, Pasar Gambir, dan penghormatan kepada Gubernur Jenderal baru,

Sebagai perusahaan film milik pemerintah, ANIF kerap membuat film-film propaganda. Misalnya film Tanah Seberang yang disutradarai Mannus Franken, seorang pembuat film dokumenter Belanda. Film yang diproduksi pada 1936 itu, menurut M. Abduh Aziz dalam Dari Balik Layar Perak: Film di Hindia Belanda 1926-1942 (2019), memperlihatkan propaganda kebijakan pemerintah kolonial, yakni transmigrasi penduduk Jawa ke Sumatera.

ANIF kemudian membuat film cerita berjudul Terang Boelan, yang diproduksi pada 1937. Film yang disutradarai Balink, serta dibintangi Roekiah dan Raden Mochtar itu sukses secara komersial.

ANIF dan pendahulunya, Java Pasific Film, hanya memproduksi empat film cerita panjang, sebelum akhirnya diambil alih Jepang pada 1942. Diganti namanya menjadi Nippon Eiga Sha, sebuah unit produksi film angkatan ke-16 tentara Jepang.

Sen menyebut, berdirinya ANIF sangat signifikan bagi sejarah produksi film karena tiga alasan. Pertama, perusahaan ini memproduksi sebuah film musikal romantis yang sangat laku, yakni Terang Boelan.

“Film ini adalah film pertama yang seluruh karakternya dimainkan oleh orang pribumi serta didasarkan pada cerita dan skenario yang ditulis orang Indonesia,” tulis Sen.

Kedua, ANIF merilis film propaganda pemerintah yang pertama. Ketiga, pada 1950 ANIF berubah menjadi Perusahaan Film Negara (PFN), sebuah unit produksi independen milik pemerintah.

Sebelum menjadi PFN pada 1950, setelah Jepang angkat kaki dari Indonesia, pada 1945 perusahaan film itu diambil alih Indonesia, diberi nama Berita Film Indonesia (BFI). Akibat teror tentara Sekutu, pada Desember 1945 BFI diungsikan ke Surakarta. Studionya di Jakarta kosong, lantas digunakan tentara NICA untuk kepentingan propaganda dengan mendirikan Regerings Film Bedrijf.

Tahun 1950, usai ada pengakuan kedaulatan, Regerings Film Bedrijf diserahkan kepada Indonesia. Lantas, namanya menjadi Perusahaan Pilem Negara (PFN) di bawah Kementerian Penerangan.

Pada 16 Agustus 1975, nama PFN kembali diubah menjadi Pusat Produksi Film Negara (PPFN). Lalu, tahun 1988 pemerintah mengubahnya menjadi Perum Produksi Film Negara (PFN). Terakhir, tahun 2023 pemerintah mengubah statusnya menjadi persero.

Gedung Algemeene Nederland Indische Films (ANIF) di Batavia (sekarang Jakarta), yang menjadi Produksi Film Negara./Foto repro buku Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa (2009) karya Misbach Yusa Biran.

Bagaimana PFN di bawah Orde Baru?

Sen menulis, selama periode jabatan Menteri Penerangan ad interim yang singkat, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono menempatkan Brigjen Gufran Dwipayana di pucuk pimpinan PFN pada 1978. Dwipayana merupakan anggota staf pribadi Presiden Soeharto, yang bertanggung jawab atas urusan-urusan terkait media massa.

“Di bawah kepemimpinannya, PFN mengerjakan untuk pertama kali dalam sejarahnya, film cerita ber-budget besar tentang kepala negara,” tulis Sen.

Saat pada 1981 PFN memutuskan membuat film bertema sejarah pertama tentang kudeta yang membawa Soeharto ke tampuk kekuasaan—film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI—Kepala PFN G. Dwipayana memastikan kalau itu adalah tema yang hanya diizinan difilmkan dengan pengawasan ketat pemerintah.

Sementara itu, Garin Nugroho dan Dyna Herlina S dalam buku Krisis dan Paradoks Film Indonesia (2015) menyatakan, pemerintah lewat PFN juga memproduksi film untuk penyiaran di televisi atau TVRI. Intinya berisi propaganda mendukung kebijakan pemerintah dan militer atau penanaman nilai tentang kebaikan pemerintah dan militer. Misalnya, kunjungan para pejabat ke daerah-daerah dan hasil-hasil pembangunan.

“Bahkan, selama dekade 1980-an dan 1990-an anak-anak disuguhi serial boneka Si Unyil yang menunjukkan kepada anak-anak bahwa pemerintah, diwakili secara simbolis oleh karakter kepala desa, dapat menyelesaikan beragam masalah,” tulis Garin dan Dyna.

PFN juga memproduksi serial Keluarga Rahmat di TVRI. Tayang pada 1987, serial ini berkisah tentang kehidupan bertetangga kelas menengah di sebuah perumahan, dengan Pak Rahmat yang seorang pensiunan militer menjadi penyelesai masalah.

Menurut Sen, penggunaan film sebagai alat propaganda pemerintah secara terbuka memang dilakukan melalui PFN. PFN, seperti “takdirnya” sejak masih bernama ANIF, tetap menjadi perusahaan film propaganda penguasa di bawah rezim Orde Baru.

Bagaimana kiprah PFN dalam perfilman Indonesia?

Sen menulis, PFN berhenti memproduksi film sejak 1962. Sebelumnya, sejak 1950 PFN memproduksi 25  film cerita, di antaranya Antara Bumi dan Langit (1950) yang bekerja sama dengan Stitching Hiburan Mataram, Inspektur Rachman (1950), Untuk Sang Merah Putih (1950), dan Kopral Djono (1954). Lalu, setelah 1965, PFN beroperasi sebagai studio pemrosesan film dan memproduksi sejumlah newsrell serta dokumenter.

Baru pada 1977 PFN memproduksi film kembali, dengan ditandai dirilisnya film Kelabang Hitam. Sewaktu Dwipayana menjadi Direktur PFN, 1978-1990, ada serial Aku Cinta Indonesia (ACI) yang ditayangkan di TVRI. Ada pula serial animasi Si Huma pada 1983, yang merupakan film animasi Indonesia pertama.

Sejak 1992, PFN tidak memproduksi film. Baru pada 2019, PFN kembali eksis. Perusahaan perfilman ini menggelontorkan Rp100 miliar untuk memproduksi 21 film pada 2020 hingga 2023.

Hingga 2025 ini, tidak diketahui nasib 21 film yang bakal diproduksi itu. Yang jelas, sepanjang 2020 hingga 2023 hanya ada film Anak Titipan Setan (2023). Lalu, pada awal 2025 dirilis film Lagu Cinta untuk Mama.

Tahun 2021, Kementerian BUMN mengarahkan perusahaan ini menjadi perusahaan pembiayaan perfilman. Berdasarkan laporan keuangan PFN tahun 2023, perusahaan ini mencatat pendapatan sebesar Rp2,6 miliar pada periode 12 Oktober hingga 31 Desember 2023 dan Rp10 miliar pada periode 1 Januari hingga 11 Oktober 2023.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan