close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi zombi./Foto Henrik L./Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi zombi./Foto Henrik L./Unsplash.com
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 28 Oktober 2025 08:24

Kenapa film-film zombi bisa sangat populer?

White Zombie yang dirilis pada 1932 diakui sebagai film tentang zombi pertama di dunia.
swipe

Abadi Nan Jaya menyedot perhatian penggemar film di Indonesia. Film bertema zombi atau mayat hidup yang tayang perdana pada Kamis (23/10) itu, sukses berada di jajaran 10 film teratas Netflix Indonesia beberapa hari ini. Sebelumnya, Vidio pada November 2024 merilis pula serial bertema zombi, yakni Zona Merah.

Abadi Nan Jaya dan Zona Merah mengisahkan teror zombi dengan rasa lokal, yang sama-sama terjadi di sebuah lokasi di Jawa Tengah. Sebelumnya, di Indonesia sudah diproduksi film-film bertema zombi, seperti film horor komedi Reuni Z pada 2018 dan Zeta: When the Dead Awaken pada 2019.

Film-film zombi juga merebut banyak penonton dan sangat populer dunia. Sebut saja beberapa film bertema zombi yang terkenal, seperti 28 Days Later (2002), Resident Evil (2002), World War Z (2013), dan Train to Busan (2016).

Muasal konsep zombi

White Zombie yang dirilis pada 1932 diakui sebagai film tentang zombi pertama di dunia. Sekuelnya, Revolt of the Zombies dirilis pada 1939. Setelah itu, muncul film-film lain bertema serupa, seperti The Ghost Breakers (1940), King of the Zombies (1941), I Walked with a Zombie (1943), dan The Plague of the Zombies (1966).

“Film zombi paling berpengaruh setelah White Zombie baru dirilis pada 1968, yakni Night of the Living Dead karya George A. Romero, yang merupakan film zombi pertama yang mengaitkan arketipe mayat hidup dengan satir konsumerisme,” tulis Euro News.

Konsep tentang zombi—yang sebagian besar digambarkan sebagai mayat hidup dengan tatapan seram, yang menggigit orang dan menyebabkan penularan—sudah ada sejak lama.

Menurut Euro News, istilah ini dipercaya berasal dari cerita rakyat Haiti, tetapi akarnya kemungkinan lebih tua lagi—berasal dari bahasa Kongo di Afrika Tengah, dengan kata yang mirip berarti “roh ilahi”. Dewa tertinggi dalam kepercayaan masyarakat Kongo dikenal sebagai Nzambi Mpungu, yang diyakini menjadi asal mula kata zombi.

Meski begitu, Haiti dianggap sebagai tempat kelahiran mitos zombi. Dalam ajaran voodoo Haiti, zombi digambarkan sebagai orang mati yang dibangkitkan kembali oleh bokor (ahli sihir) lewat ilmu hitam.

Daya tarik dan misteri seputar mitos zombi membuatnya semakin populer di budaya Barat pada awal abad ke-20. Popularitasnya itu akhirnya mencapai puncaknya ketika sosok zombi muncul di layar lebar, menandai awal dari era baru dalam genre horor Amerika.

Pada kenyataannya, zombi tak punya asal-usul tunggal dalam budaya modern. Mayat hidup telah ada di berbagai budaya di seluruh dunia dalam berbagai bentuk.

Profesor bahasa Inggris di Southern Utah University, Kyle Bishop dalam artikel “Raising the Dead” di Journal of Popular Film and Television pada 2006 menulis, konsep zombi modern sebenarnya merupakan produk film.

“Genre zombi tidak ada sebelum munculnya sinema karena sifatnya yang sangat visual, zombi tidak berpikir atau berbicara, mereka hanya bertindak, sepenuhnya mengandalkan wujud fisik untuk menimbulkan rasa takut,” tulis Bishop.

Ilustrasi zombi./Foto Nathan Wright/Unsplash.com

“Kenikmatan” menonton film zombi

Menurut Bishop, secara historis, film-film zombi selalu menjadi bentuk reaksi artistik terhadap kesadaran budaya, terutama terhadap ketidakadilan sosial dan politik. Di Amerika Serikat, film bertema zombi kembali mencuat setelah serangan 9/11 pada 2001, memanfaatkan teror dan ketegangan nasional yang baru. Maka, lebih dari separuh film zombi dibuat setelah September 2001.

“Karena dampak perang, terorisme, dan bencana alam sangat mirip dengan skenario film zombi, gambaran kematian dan kehancuran seperti itu memiliki kekuatan yang lebih besar untuk mengejutkan dan meneror masyarakat yang sudah bosan dengan film horor yang lebih tradisional,” tulis Bishop.

Editor majalah Rue Morgue yang fokus pada genre horor, Monica Kuebler mengatakan, monster-monster tertentu naik dan turun popularitasnya tergantung pada arah budaya. Manusia serigala populer pada 1980-an dan vampir pada 1990-an, sebelum zombi banyak diadaptasi.

“Fenomena seperti ini memang datang dalam siklus,” kata Kuebler, dikutip dari New York Times.

Menurut penulis The Zombie Survival Guide: Complete Protection From the Living Dead dan World War Z: An Oral History of the Zombie War, Max Brooks, zombi adalah makhluk yang sempurna untuk zaman yang serba kalut: perang, wabah, perubahan iklim, bencana alam, dan sebagainya.

Sebab, mereka melambangkan keruntuhan sosial besar-besaran, di mana siapa pun bisa tiba-tiba berubah menjadi ancaman. Ibaratnya, kalau manusia serigala atau vampir mewakili kejahatan individual, maka zombi melambangkan kejahatan yang menyebar di mana-mana.

“Mereka selalu muncul bersamaan dengan situasi kiamat,” kata Brooks kepada New York Times.

“Kau tidak bisa hanya punya satu zombi—jumlahnya harus jutaan. Masyarakat harus benar-benar runtuh. Zombi juga tidak muncul di tempat-tempat horor biasa. Mereka akan datang mencarimu. Matahari terbit, mereka masih ada. Kau menelepon polisi, mereka tetap ada. Kehadiran mereka memicu reaksi berantai yang membuat seluruh tatanan sosial ambruk.”

Di sisi lain, menurut sarjana sastra di Stanford University, Angela Becerra Vidergar, tontonan bertema distopia membantu orang memahami bagaimana mereka mungkin bertindak dalam situasi bertahan hidup.

“Menonton orang berjuang mempertahankan hidup melawan zombi memungkinkan penonton untuk merenungkan dilema etika yang sulit dan mengancam, serta memikirkan kemampuan mereka sendiri untuk bertahan hidup,” ujar Vidergar dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Live Science.

Daya tarik lainnya, banyak orang juga menikmati unsur kekerasan di dalamnya. “Seseorang bisa saja secara sengaja mencari pengalaman agresif karena sensasi yang ditimbulkannya terasa memuaskan,” kata profesor pendidikan khusus dan pediatri di Vanderbilt University, Craig Kennedy kepada Live Science.

“Karena agresi merupakan sifat alami yang kuat pada mamalia, sangat mungkin manusia pun memiliki dorongan serupa terhadap kekerasan.”

Selain itu, kita juga memiliki ketertarikan terhadap rasa takut. Psikolog dari Yale University Paul Bloom mengatakan kepada Big Think kalau orang menikmati melihat ketakutan terbesar mereka terwujud dalam cerita fiksi.

Menurut teorinya, tragedi dan horor imajiner membantu mempersiapkan kita menghadapi kenyataan hidup dengan menyampaikan pelajaran moral yang mendalam. “Tidak banyak yang bisa kita pelajari dari kisah tentang orang biasa yang hidupnya berjalan biasa-biasa saja,” kata Bloom.

Film tentang zombi pun ternyata bisa membantu mengurangi stres. Penulis Present Shock: When Everything Happens Now, Douglas Rushkoff menjelaskan, dunia alternatif dalam kisah kiamat zombi memberi kesempatan bagi orang untuk sejenak melepaskan diri dari tekanan sosial dan banjir informasi di kehidupan nyata.

“Menonton zombi bagi banyak orang terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan,” ujar Rushkoff kepada Business Insider.

“Sekilas kedengarannya mengerikan. Namun, dalam kiamat zombi, tidak ada Twitter, tidak ada ponsel, tidak ada atasan, dan tidak ada urusan pajak. Satu-satunya tujuan hanyalah bertahan hidup dan melindungi orang yang kita cintai. Dalam arti tertentu, itu terasa menenangkan.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan