Belum juga tayang di bioskop, film animasi Merah Putih: One for All sudah menuai sorotan, terutama di media sosial. Selain biaya pembuatannya, animasinya pun mendapat kritik. Rencananya, film yang mengklaim sebagai film animasi anak Indonesia pertama yang dibuat dengan tema kebangsaan dalam keberagaman itu akan tayang di bioskop pada 14 Agustus 2025, untuk menyambut hari kemerdekaan Indonesia.
Film ini tentang apa?
Merah Putih One For All mengisahkan petualangan sekelompok anak terpilih yang menjadi Tim Merdeka. Tinggal di sebuah desa yang tengah bersiap menyambut hari kemerdekaan, mereka memegang tugas mulia, yakni menjaga bendera pusaka yang akan dikibarkan pada upacara 17 Agustus.
Namun, tiga hari sebelum peringatan, bendera itu hilang secara misterius. Delapan anak dengan latar budaya beragam—dari Betawi, Papua, Medan, Tegal, Jawa Tengah, Makassar, Manado, hingga Tionghoa—bersatu untuk mencarinya.
Perjalanan mereka tidak mudah. sungai deras, hutan lebat, badai, dan perbedaan sifat menjadi tantangan yang harus dihadapi. Mereka belajar menekan ego, saling memahami, dan bekerja sama demi satu tujuan: memastikan bendera Merah Putih berkibar di hari kemerdekaan.
Siapa yang membuat dan berapa biayanya?
Film berdurasi 70 menit ini diproduksi Perfiki Kreasindo—bagian dari Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. Disutradarai Endiarto dan Bintang Takari. Produsernya Toto Soegriwo dan produser eksekutif Sonny Pudjisasono. Dikabarkan dari akun Instagram @movreview, proses pembuatan film ini dimulai pada Juni 2025, hanya dua bulan menjelang penayangan. Biaya yang dikeluarkan untuk produksinya sebesar Rp6,7 miliar.
Jika membandingkan film animasi Jumbo, yang sukses di layar lebar dan mendapat predikat sebagai film terlaris sepanjang sejarah perfilman Indonesia, tentu proses pembuatan Merah Putih: One for All sangat singkat. Film Jumbo, dengan total penonton lebih dari 10 juta itu proses pembuatannya selama lima tahun, sejak 2020.
Namun, dari sisi biaya, memang Merah Putih: One for All jauh lebih kecil dibandingkan Jumbo. Film Jumbo menelan biaya produksi hampur Rp70 miliar.
Battle of Surabaya bisa menjadi contoh film animasi karya Indonesia tentang sejarah yang sukses. Film ini diproduksi selama tiga tahun, 2012 hingga 2015.
Menelan biaya Rp15 miliar, film ini pun mendapat banyak sekali penghargaan luar negeri. Misalnya Best Animation di Hollywood International Motion Pictures Film Festival 2018, serta Best Animation Film di European Cinematography Awards 2018, dan Best Animation di Amsterdam International Film Festival 2018.
Cuplikan film produksi MSV Pictures ini saja sudah mendapat banyak penghargaan, di antaranya People’s Choice Award di International Movie Trailer Festival (IMTF) 2014, Digital Animation di Indonesia Information and Communication Technology Awards (INAICTA) 2012, dan Nominee Best Foreign Animation Awards di 15th Annual Golden Trailer Awards 2014.
Battle of Surabaya juga dilirik Walt Disney Pictures. Perusahaan raksasa itu bekerja sama dengan MSC Pictures dalam segi teknis dan promosi.
Bagaimana soal kualitas animasinya?
Kualitas animasi paling banyak sorotan warganet, yang memandang negatif. Konten kreator Yono Jambul mengungkap, animasi di film itu membeli aset, bukan membuat sendiri.
“Kalau lo perhatiin, style-nya itu banyak yang enggak sama. Dan enggak Indonesia banget. Ya, karena memang bukan Indonesia,” kata Yono Jambul dalam akun YouTube-nya.
“Jadi dia, beli aset ini, beli aset ini, terus digabung jadi satu.”
Yono yakin, karakternya dibuat memakai aplikasi Daz 3D, yang bisa mengkreasi tinggi badan, lebar kepala, gaya rambut, dan sebagainya. Sebab, aset-aset yang ditemukan di film itu, kata Yono, berasal dari toko resmi Daz 3D.
Ada tiga adegan dalam film Merah Putih: One for All berdasarkan cuplikan yang disorot Yono, yakni bagian gudang, jalanan, dan di jembatan berlatar air terjun. Adegan di gudang, menurut Yono bisa ditemukan di aset FG Military Warehouse.
“Kenapa military warehouse (gudang militer) ada di kampung?” kata Yono.
Aset itu bisa dibeli di Daz 3D dengan harga 11,48 dolar AS. Lalu, ada adegan sekelompok anak tengah berada di jalanan. Dengan suasana pertokoan. Suasana di jalanan itu memakai aset Street of Mumbai, yang bisa dibeli dengan harga 24,99 dolar AS.
“Street of Mumbai, jalanan di India. Ya, di India,” ujar Yono.
Meski begitu, produser Toto Soegriwo menanggapi santai segala kritik. "Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain. Banyak yang mengambil manfaat juga kan? Postingan kalian jadi viral kan?" tulis Toto melalui akun Instagram-nya.