sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Terima penghargaan, Nuril: Untuk perempuan yang berani melawan

“Ini suatu kebanggaan bagi saya, karena penghargaan ini bukan untuk saya saja."

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Jumat, 09 Agst 2019 11:38 WIB
Terima penghargaan, Nuril: Untuk perempuan yang berani melawan

Baiq Nuril, guru honorer di SMAN 7 Mataram yang dikriminalisasi dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik memperoleh penghargaan Tasrif Award, Rabu (7/8). Perjuangan Nuril menuntut keadilan bagi dirinya membuat Presiden Joko Widodo turun tangan dengan mengabulkan amnesti bagi Nuril.

Tasrif Award yang diadakan sejak 1997 adalah penghargaan bagi individu, kelompok, atau lembaga yang gigih menegakkan kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan nilai-nilai keadilan serta demokrasi.

Ada beberapa pihak yang pada tahun sebelumnya telah menerima penghargaan Tasrif Award. Antara lain, Forum LGBTIQ dan IPT ’65 sebagai kelompok yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan pluralisme di Indonesia, Aksi Kamisan dan Kartini Kendeng, serta Mafindo sebagai lembaga nirlaba yang berfokus pada kerja verifikasi konten hoaks.

Ketika dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (8/8), Nuril mengaku tak menyangka akan memperoleh penghargaan.

“Ini suatu kebanggaan bagi saya, karena penghargaan ini bukan untuk saya saja, tapi semua perempuan Indonesia yang berani melawan dan berbicara atas segala bentuk pelecehan seksual yang terjadi,” kata Nuril.

Kasus kriminalisasi yang dialami Nuril bermula pada 2012, ketika dia sering menerima telepon dari Muslim, Kepala SMAN 7 Mataram. Kala itu, Muslim kerap bercerita kepada Nuril soal hubungannya dengan wanita lain yang bukan istrinya. Bila kerja lembur, Nuril juga sering dipanggil ke ruangan kepala sekolah untuk mendengarkan hal yang sama.

Hal itu membuat Nuril tertekan, apalagi Nuril digosipkan memiliki hubungan spesial dengan Muslim. Isu tersebut lantas ditampik oleh Nuril, yang secara diam-diam merekam pembicaraan atasannya saat bercerita masalah yang mengandung unsur asusila. Hal itu dia lakukan untuk membuktikan jika tidak benar dia memiliki hubungan spesial dengan atasannya.

Namun, masalah berkembang setelah Nuril didesak oleh rekan sekerjanya untuk memberikan rekaman suara tersebut. Akhirnya rekaman itu tersebar di kalangan Dinas Pendidikan Kota Mataram.

Sponsored

Kasus ini lalu berujung pada vonis hukuman pidana penjara 6 bulan dan denda Rp500 juta kepada Nuril menurut Mahkamah Agung. Hal ini menyedot perhatian banyak pihak. Juga, mendorong Kepala Negara Joko Widodo untuk memberikan amnesti kepada Nuril.

“Saya awam tentang aturan hukum, mudah-mudahan dengan penghargaan ini, saya tidak ingin ada Nuril-Nuril lain yang jadi korban seperti saya. Semoga perempuan tidak takut lagi bersuara dan melawan,” ucap Nuril.

Dalam perjalanan kasusnya, Nuril sempat terhalang untuk memperoleh advokasi. Pengacara Joko Dumadi hingga akhirnya mau memberikan pendampingan bagi Nuril sejak 2017. Dihubungi pada Kamis (8/8), Joko menuturkan, pihaknya segera merespons kasus yang dialami Nuril dengan menawarkan bantuan pembelaan.

Joko mengaku bersedia memberikan pembelaan lantaran mencemaskan ketiga anak Nuril, jika ibu mereka harus menjalani masa tahanan.

“Sewaktu itu, 2017, Nuril ditahan di kepolisian. Beberapa advokat dan lembaga hukum sudah dia datangi, tapi tak ada yang bisa mendampingi Nuril. Lalu berdasarkan info yang kami peroleh, kami berinisatif mendampingi. Kami lalu mencari dan bertemu dengan suami Nuril,” kata Joko.

Menurut Joko, terdapat kejanggalan dan ketidakadilan dalam proses hukum yang berlangsung terhadap Nuril. Joko menekankan ketentuan dalam UU ITE yang sangat multitafsir dan mudah dipakai untuk menindak siapa saja. Ketentuan pasal penyebaran pencemaran nama baik dalam UU ITE, menurutnya, kurang dicermati oleh aparat hukum di pengadilan.

“Ada persoalan dalam kasus penegakan hukum ini yang terlihat tebang pilih. Sesungguhnya ada pihak yang lebih layak menjadi tersangka, tapi tak diproses sama sekali, yaitu pelaku penyebar rekaman,” ucap Joko menambahkan.

Dia juga mencatat pelajaran penting dari kasus Baiq Nuril. Menurutnya, aturan hukum di Indonesia belum memberikan tujuan perlindungan penuh bagi perempuan. Selain itu, seharusnya aparat hukum lebih memiliki kepekaan yang berdasarkan pertimbangan rasa keadilan dalam mengkaji dan memutuskan perkara.

“Aparat hukum sebenarnya bisa memilah-milah di aspek mana suatu hal harus diadili, agar pasal aturan yang berlaku dapat dikenakan dengan tepat pada pihak yang bersalah,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid