close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi BPJS Kesehatan./Foto Antara
icon caption
Ilustrasi BPJS Kesehatan./Foto Antara
Sosial dan Gaya Hidup - Kesehatan
Minggu, 08 Juni 2025 06:55

Biang kerok rumah sakit menolak pasien BPJS Kesehatan

Pasien BPJS Kesehatan di Padang, diduga meninggal dunia karena kelalaian rumah sakit.
swipe

Seorang pasien, Desi Erianti, 44 tahun, diduga mendapat penolakan dari RSUD dr Rasidin Padang. Pada Sabtu (31/5) dini hari, Desi yang merupakan pasien peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan dibawa keluarganya ke rumah sakit itu karena mengalami sesak napas berat.

Akan tetapi, pihak rumah sakit milik Pemkot Padang itu mendiagnosa Desi hanya mengidap infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan dianggap tidak memiliki unsur kedaruratan yang bisa ditanggung BPJS Kesehatan. Desi lalu dipulangkan. Dia juga disarankan untuk meminta rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat I.

Sebelum pulang, petugas medis juga sempat menawarkan Desi berobat lewat jalur umum, jika ingin dirawat lebih lanjut. Namun, karena berasal dari kalangan tak mampu, keluarga membawa Desi pulang.

Paginya, sesak napas yang diderita Desi semakin parah. Dengan mobil teman, suaminya membawa Desi ke IGD RS Siti Rahmah. Tiba di rumah sakit itu, tenaga medis segera menangani. Malangnya, situasi sudah terlambat. Kondisi pasien sudah kritis. Sekitar tiga jam mendapat penanganan, Desi meninggal dunia pukul 12.31 WIB.

Pending claim dan dispute claim

Penolakan pasien BPJS Kesehatan, meski pasien dalam kondisi darurat, ditengarai terdapat sengkarut sektor kesehatan yang serius. Standar kedaruratan yang kerap dijadikan dalih rumah sakit untuk menolak peserta BPJS Kesehatan dianggap merugikan pasien.

“Standar kriteria pasien yang ditanggung JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) diterapkan secara kaku,” kata Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kepada Alinea.id, Jumat (6/6).

“Pasien demam misalnya, semestinya tidak harus menunggu panasnya 40 derajat Celsius. Karena ada sebagian orang, panas 36 derajat Celsius saja sudah sangat menyakitkan. Sedah begitu, rumah sakit menyuruh pasien pulang.”

Padahal, menurut Timboel, penolakan pasien melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan bisa dikenakan pidana. Dalam beleid itu diatur, salah satu asas rumah sakit adalah keselamatan pasien.

“Sehingga rumah sakit tidak boleh menolak pasien hanya karena dianggap tidak darurat,” ujar Timboel.

Selain itu, Timboel menduga, penolakan pasien BPJS oleh rumah sakit lantaran pending claim atau dispute claim antara rumah sakit dan BPJS Kesehatan. Pending claim artinya klaim sudah diajukan, tetapi belum disetujui, ditolak, diselesaikan, atau dilengkapi. Klaim yang tertunda dapat terjadi karena berkas belum lengkap atau tak memenuhi persyaratan verifikasi.

Sedangkan dispute claim merupakan ketidaksesuaian antara BPJS Kesehatan dengan rumah sakit atas klaim yang disebabkan kekurangan berkas, kesalahan dalam memberikan kode diagnosis, dan kode tindakan. Hal ini dapat berpengaruh dalam besar kecilnya tarif yang muncul.

Timboel mengatakan, sengketa pembayaran pending claim maupun dispute claim yang sudah banyak menimpa rumah sakit, membuat pihak rumah sakit memperketat pasien yang masuk ke IGD.

“Karena rumah sakit berpikiran, seandainya tidak memenuhi kedaruratan, tapi ditangani, nanti biayanya tidak ditanggung BPJS,” kata Timboel.

Timboel memandang, sebenarnya kekhawatiran rumah sakit menanggung kerugian akibat pending claim maupun dispute claim dalam memberikan pertolongan kepada pasien yang kondisinya darurat, bisa ditangani jika punya inisiatif untuk menghubungi pihak BPJS terlebih dahulu.

“Jadi telepon dulu ke BPJS, semisal (pasien) panasnya 38, tapi kondisi nadinya lemah, apakah bisa ditanggung atau tidak,” ucap Timboel.

Menurut Timboel, mustahil seseorang datang ke IGD tanpa keluhan yang masih bisa ditahan. Oleh karena itu, rumah sakit seharusnya berpikir menangani terlebih dahulu pasien. Seandainya memang rumah sakit merasa pasien bisa dirawat inap di puskesmas, Timboel menyarankan, antar dengan ambulans.

“Tapi kalau orang sudah ke IGD, jangan disuruh pulang,” tutur Timboel.

Timboel menilai, rumah sakit dan BPJS jangan saling menyandera atau menyudahi persoalan pending claim atau dispute claim, dengan tidak menetapkan standar kriteria pasien yang ditanggung JKN secara kaku.

“Boleh ada standar, tapi jangan kaku, sehingga rumah sakit itu takut rugi karena apa yang sudah dilakukan tidak ditanggung,” kata Timboel.

Kasus yang menimpa Desi Erianti yang diduga ditolak RSUD dr. Rasidin Padang dan terlambat ditangani, menurut Timboel, karena rumah sakit terlalu kaku dalam menilai standar kedaruratan pasien, serta punya kekhawatiran tidak bisa diklaim BPJS.

“Sudah begitu disuruh pulang. Kalau sudah pulang, tidak ada alat yang memadai, ya malah semakin bahaya,” ucap Timboel.

Lebih baik diserahkan ke swasta

Sementara itu, pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Handy Lubis menilai, maraknya penolakan pasien BPJS Kesehatan oleh rumah sakit sudah melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

“Idenya sebenarnya, negara memastikan agar jaminan dan kesejahteraan secara umum itu bisa diselenggarakan oleh negara,” kata Rissalwan, Sabtu (7/6).

Menurut Rissalwan, permasalahan pending claim dan dispute claim lantaran ada konsep urun biaya BPJS Kesehatan yang terbagi dalam tiga kelas. Lalu, ada golongan orang yang ditanggung negara karena tidak mampu menanggung biaya, tetapi jumlahnya terlalu besar.

“Sementara yang kelas satu itu tidak merasa mendapat perawatan kelas 1. Dia harus mensubsidi juga yang kelas 3. Nah, ini saya kira permasalahannya,” tutur Rissalwan.

“Artinya, ketika negara berusaha menyelenggarakan jaminan kesehatan, itu ternyata ada ketidakmampuan dari sisi pembiayaannya. Seharusnya ada sumber lain yang dialokasikan ke situ. Sama seperti, misalnya, alokasi wajib untuk pendidikan 20%.”

Rissalwan menyebut, program JKN sangat baik. Namun, pada tataran eksekusi, pengelolaannya sangat boros.

“Bayangkan, kantor BPJS tingkat kota atau kabupaten itu stafnya ada yang dibayar belasan juta dan kepalanya puluhan juta. Bayangkan, ada berapa puluh kabupaten/kota di Indonesia. Operasional BPJS mahal untuk itu,” kata Rissalwan.

“Sementara orang-orang dari kelas menengah atas yang harus membayar iuran di level satu tadi, itu memilih untuk tidak membayar.”

Dia menyarankan, sebaiknya pengelolaan BPJS Kesehatan diserahkan kepada pihak swasta. Sebab, swasta kemungkinan akan lebih bisa memberikan level terbaik dalam pelayanan kesehatan.

“Artinya, ketika kita memberikan level penjenjangan terhadap pembayaran, kemudian layanannya juga harusnya berbeda,” ujar Rissalwan.

“Sehingga orang-orang tidak terasa dia melakukan subsidi silang karena dia mendapatkan layanan yang berbeda dari kelompok lain.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan