close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi BPJS Kesehatan. foto Antara
icon caption
Ilustrasi BPJS Kesehatan. foto Antara
Peristiwa
Rabu, 16 Juli 2025 19:05

Di balik maraknya diskriminasi pasien BPJS

Pihak rumah sakit tak bisa sepenuhnya disalahkan dalam kasus-kasus diskriminasi terhadap pasien BPJS.
swipe

Berbekal pengeras suara, Edwin Setiawan, 29 tahun, menggelar aksi unjuk rasa sendirian di RSUD Kerawang, Jawa Barat, awal Mei lalu. Tema orasi warga Telukjambe Timur, itu tunggal. Ia memprotes kematian bayinya. Ia menuntut pihak rumah sakit bertanggung jawab. 

Kepada juru warta, Edwin bercerita bayinya meninggal karena pelayanan pihak rumah sakit buruk. Akhir April lalu, istri Edwin dibawa ke RSUD Karawang pukul 02.00 dini hari karena pendarahan. Hingga siang hari, sang istri hanya diinfus. Ketika ketuban sang istri pecah, Edwin memohon sang istri segera dioperasi. 

Pihak rumah sakit, kata Edwin, meminta menunggu. Operasi baru digelar pada 18.00 WIB. Tiga jam setelah operasi, bayi Edwin meninggal. "Saya menunggu lima tahun untuk punya anak, tapi perlakuannya seperti ini. Di mana rasa kemanusiaan mereka?" kata Edwin seperti dikutip dari Antara. 

Sebelum unjuk rasa itu, Edwin mencari tahu proses penanganan medis bagi ibu hamil. Ia belajar dari berbagai sumber. Berbasis informasi itu, Edwin menyimpulkan ada kelalaian dari tenaga medis di RSUD Kerawang.  

Ia menduga perlakuan buruk itu diterima lantaran istrinya hanya mengandalkan "perlindungan" dari asuransi BPJS Kesehatan. "Selain lambat dan lalai, khususnya terhadap pasien BPJS seperti saya, ini kan aneh,” kata Edwin. 

Dugaan diskriminasi terhadap pasien BPJS juga diungkap Since Ganggu, kerabat Theresia Siul, seorang pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Saat ini, Theresia lumpuh total setelah menjalani operasi bedah syaraf di rumah sakit tersebut. 

Dikutip dari Floresa.co, Theresia dirujuk dari Rumah Sakit Siloam Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada 18 Maret. Perempuan berusia 24 tahun itu massa mediastinum dextra, efusi pleura, dan cancer pain (nyeri kanker). 

Massa mediastinum dextra adalah pertumbuhan abnormal pada rongga mediastinum yang berada di antara kedua paru-paru sisi kanan tubuh. RS Siloam Labuan Bajo angkat tangan karena tak punya peralatan memadai untuk mengoperasi Theresia. 

Theresia pun diboyong ke Jakarta. Di RSCM, Since merasa pegawai rumah sakit mendiskriminasi Theresia. Prosedur-prosedur medis penting terus ditunda. Untuk CT Scan, misalnya, RSCM menjadwalkan prosedur itu pada 29 April atau lebih dari sebulan setelah Theresia tiba di Jakarta. 

Saat keluarga beralih ke jalur umum berbayar, jadwal langsung tersedia keesokan harinya pada 22 Maret. Biayanya lebih dari Rp4 juta. “Pelayanan menjadi lebih cepat ketika pasien beralih ke jalur umum,” kata Since. 

Selain CT Scan, menurut Since, prosedur medis vital lainnya yang ditunda semisal  biopsi dan pengambilan sampel jaringan untuk mendeteksi kelainan pada tubuh. Selagi menunggu proses medis berjalan, kondisi tubuh Theresia terus memburuk. 

Singkat cerita, Theresia pun akhirnya menjalani operasi bedah syaraf pada 30 April 2025. Alih-alih membaik, Theresia malah lumpuh total. "Ia yang sebelumnya berjalan kini tak lagi bisa duduk, berdiri atau mengangkat tubuhnya,” kata Since. 

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan diskriminasi terhadap pasien BPJS bukan hanya ada di benak pasien saja. Untuk kasus pasien kronis, menurut dia, pihak rumah sakit memang lebih suka melayani pasien umum karena seringkali menghadapi gagal klaim BPJS.

"Padahal, sesungguhnya rumah sakit harus mengutamakan keselamatan pasien, itu merupakan asas rumah sakit yang ada di Undang-Undang 17 Tahun 2023 (tentang Kesehatan). Bahwa rumah sakit itu tidak boleh diskriminasi. Tetapi, fakta sosiologisnya terjadi diskriminasi yang dialami oleh pasien," kata Timboel kepada Alinea.id di Jakarta, Minggu (13/7).

Diskriminasi terhadap pasien BPJS, kata Timboel, merupakan persoalan sistemik. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus turun tangan membenahi itu. Pengawasan harus diperkuat. Sanksi tegas mesti disiapkan untuk rumah sakit yang memberikan pelayanan buruk terhadap pasien BPJS.  

"Kasus-kasus yang dialami oleh masyarakat ini terjadi di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta. Ini harus ditindaklanjuti oleh pemerintah. Selama ini kerap terjadi dan sepertinya kasus demi kasus itu dibiarkan," kata Timboel. 

Pelayanan yang buruk terhadap pasien BPJS, lanjut Timboel, hanya sekelumit kecil dari persoalan besar di bidang kesehatan. Tak kalah pelik ialah problem pemerataan fasilitas kesehatan. Banyak pasien seperti dari daerah harus ke Jakarta jika didera penyakit kronis. Tidak ada rumah sakit tipe A yang memadai di daerah mereka. 

"Datang ke RS Ciptomangunkusumo, datang ke RSPAD atau ke RSK Dharmais. Orang-orang kaya sih mampu, tetapi orang-orang miskin gimana? Mereka butuh biaya datang ke Jakarta. Jadi, seperti sekarang di Papua sudah mau dibuat rumah sakit tipe A, tetapi dapat efisiensi," kata Timboel. 

Dosen kesejahteraan sosial Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Handy Lubis membenarkan kasus-kasus diskriminasi terhadap pasien BPJS kian marak. Namun, menurut dia, pihak rumah sakit tak bisa sepenuhnya disalahkan. 

"Banyak klaim dari rumah sakit yang memang tidak dibayarkan oleh BPJS dengan berbagai alasan. Ini yang menjadi faktor sebetulnya. Akibatnya pasien di rumah sakit juga dipersulit. Apalagi, penyakit yang mahal karena sekarang sudah banyak pembatasan dari BPJS, tidak boleh ini dan itu," kata Rissalwan kepada Alinea.id, Minggu (13/7).

Dia menilai gagal klaim BPJS yang sering menimpa rumah sakit telah berdampak besar pada layanan kesehatan publik. Hal itu sangat memberatkan pasien dengan penyakit kronis yang harus mondar-mandir meminta rujukan berlapis dari faskes tingkat I, rumah sakit tipe C, baru ke rumah sakit tipe A. 

"Sebetulnya, ini merefleksikan kemampuan atau ketidakmampuan dari BPJS dalam mengelola layanan publik. Kita miris mendengar gaji kepala kantor BPJS tingkat kabupaten dan kota sampai puluhan juta. Lebih miris lagi, kita mendengar bahwa karyawan-karyawan di kantor BPJS tidak menggunakan BPJS, tapi menggunakan asuransi swasta," kata Rissalwan. 

Pemerintah, usul Rissalwan, semestinya melakukan evaluasi besar-besaran terhadap BPJS Kesehatan dari sisi struktural dan sistem. Ia menduga duit yang dibayarkan masyarakat kepada BPJS justru tak dimaksimalkan untuk memperbaiki kualitas layanan. 

"Klaim dari RS tidak bisa dipenuhi oleh BPJS karena dananya tidak tersedia. Mungkin ada faktor orang yang tidak mau membayar. Tapi, saya menduga ketidaktersediaan dana yang dikelola BPJS itu yang jadi masalah karena mereka lebih banyak menghabiskan uang pelayanan untuk operasional, kantor mereka," kata Rissalwan. 

Anggota Komisi C DPRD Jakarta dari fraksi PDI-P, Hardiyanto Kenneth mengatakan diskriminasi terhadap pasien BPJS bukan sekadar isapan jempol. Ada banyak keluhan yang masuk, seperti antrean panjang, pelayanan lambat, hingga proses rujukan yang berbelit. 

"Aduan terhadap RSUD di Jakarta yang tampaknya tidak ramah terhadap pasien BPJS. Ada yang dipersulit, bahkan ada yang ditolak dengan alasan administrasi atau ketiadaan kamar," ujar Kenneth. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan