Rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada tahun 2026 mulai menjadi perhatian sejumlah pihak. Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth, menyampaikan bahwa kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam agar tidak menjadi beban bagi masyarakat, khususnya peserta mandiri dari kalangan berpenghasilan rendah.
“Kami memahami tantangan pembiayaan BPJS Kesehatan, tetapi jangan sampai masyarakat menjadi korban. Jika iuran naik, maka layanan juga harus membaik,” ujar Kenneth, yang akrab disapa Bang Kent, dalam keterangannya, Senin (21/7).
Menurutnya, peserta mandiri dari kelas pekerja informal atau keluarga dengan penghasilan terbatas akan paling merasakan dampaknya. Tanpa skema subsidi yang adil, banyak dari mereka bisa memilih berhenti sebagai peserta aktif, yang justru memperburuk rasio kepesertaan aktif BPJS Kesehatan.
Ia juga menilai bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu menyuarakan kepentingan warganya dalam pembahasan kebijakan nasional ini. Jakarta merupakan salah satu wilayah dengan jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terbanyak, termasuk mereka yang ditanggung dalam skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).
“Pemprov DKI harus proaktif mengusulkan skema yang adil dan berpihak pada rakyat. Jangan sampai warga yang selama ini tertib membayar iuran justru makin terbebani,” katanya.
Bang Kent juga meminta BPJS Kesehatan untuk lebih transparan terkait kondisi keuangan dan penggunaan dana. Menurutnya, keterbukaan penting untuk menjaga kepercayaan publik, agar masyarakat memahami alasan di balik rencana kenaikan iuran.
“DPRD DKI akan mendorong adanya forum dengar pendapat antara BPJS Kesehatan, Kemenkes, dan para pemangku kepentingan lainnya. Kami ingin ada kejelasan dan jaminan hukum yang melindungi hak warga Jakarta,” tegasnya.
Ia menambahkan, keberhasilan sistem JKN juga sangat bergantung pada kerja sama erat antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit. Sinergi ini menjadi kunci agar layanan kesehatan yang adil dan berkualitas bisa dirasakan semua lapisan masyarakat.
Bang Kent pun mengingatkan pentingnya sosialisasi yang masif kepada masyarakat, baik mengenai kenaikan iuran maupun jenis layanan yang ditanggung oleh BPJS. Ia menyebut banyak warga yang kecewa karena belum memahami batasan layanan, yang kemudian memicu kesalahpahaman.
“Kalau iuran naik tanpa sosialisasi, masyarakat bisa merasa dibebani tanpa tahu alasannya. Ini bisa menurunkan kepercayaan terhadap sistem jaminan sosial,” katanya.
Dari sisi legislatif nasional, Anggota DPR RI Netty Prasetiyani menyampaikan bahwa pihaknya masih menunggu hasil kajian Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Setelah hasil penggodokan oleh DJSN dinilai rampung, maka pembahasan di DPR akan segera dilakukan.
“Sampai sekarang belum dibahas karena masih digodok oleh DJSN,” ujar Netty kepada Alinea.id, Senin (21/7).
Rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini masih dalam tahap pembahasan. Besaran dan waktu pemberlakuannya belum ditetapkan secara resmi. Meski demikian, berbagai masukan dari pemerintah daerah, lembaga legislatif, dan masyarakat diharapkan bisa menjadi pertimbangan penting agar kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan, transparansi, dan keberpihakan pada rakyat kecil.
“Iya pasti pembicaraannya melibatkan banyak pihak, ada Kemenko PM dan Kemenko PMK, Kemenkes, BPJS Kesehatan, Kemenkeu, dan lain-lainnya,” ucapnya.