close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Alinea.id/MT Fadillah
icon caption
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Alinea.id/MT Fadillah
Peristiwa
Jumat, 27 Juni 2025 14:08

Pencoretan jutaan peserta JKN-PBI: Sembrono dan langgar aturan?

Keputusan Kemensos menghapus puluhan juta peserta JKN-PBI diduga untuk menghemat anggaran.
swipe

Penonaktifan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) oleh Kementerian Sosial (Kemensos) bikin Nurma panik. Perempuan berusia 45 tahun itu terutama khawatir nama ibunya ikut tercoret. Belakangan, sang ibu berulang kali mengeluhkan sakit gigi.
 
"Tetapi, belum jelas ini (tercoret atau tidak). Saya cek, nge-lag mulu di aplikasi," kata warga Kalideres, Jakarta Barat itu saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (25/6).

Lebih dari 7,3 juta peserta program JKN segmen PBI dinonaktifkan Kemensos. Pemerintah beralasan para peserta tersebut dinilai sudah sejahtera dan tidak tercatat dalam Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional. Sosialisasi dan notifikasi masih dilakukan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai penonaktifan 7,3 juta peserta JKN segmen PBI oleh Kemensos sembrono. Kebijakan itu akan membuat masyarakat yang dinonaktifkan kepersetaannya kebingungan ketika mengakses fasilitas kesehatan menggunakan JKN.

"Proses cleansing data yang dilakukan Kemensos dan Dinsos, sesuai amanat PP No. 76 tahun 2015, tidak dilakukan secara objektif sehingga penonaktifan 7.397.277 orang tersebut juga tidak valid. Penonaktifan ini tidak pernah diinformasikan langsung ke masyarakat," kata Timboel kepada Alinea.id, Jumat (27/6).

Menurut Timboel, Kemensos semestinya menggelar sosialisasi terlebih dahulu sebelum menonaktifkan kepesertaan JKN. Dengan begitu, masyarakat miskin yang namanya tercoret bisa menggugat keputusan Kemensos sebelum terlanjur terkena penyakit. 

Lebih jauh, Timboel menduga keputusan Kemensos ada kaitannya dengan kebijakan efisiensi anggaran pemerintahan Prabowo Subianto. Dengan penonaktifan 7.397.277 peserta, pemerintah bisa menghemat anggaran untuk pembayaran JKN. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp48,78 triliun untuk JKN PBI sebanyak 96,8 juta orang. 

"Dengan penonaktifan 7.397.277 orang tersebut berarti BPJS Kesehatan akan berkurang menerima pendapatan iuran PBI JKN sebesar Rp 310.685.634.000 per bulan (7.397.277 orang x Rp. 42.000). Bila penonaktifan ini terus berlanjut berbulan-bulan, maka akan semakin besar dana iuran PBI JKN yang tidak diterima BPJS Kesehatan," kata Timboel.

Menurut Timboel, penonaktifan peserta JKN segmen PBI akan menyebabkan defisit JKN semakin tak terkendali. Ujungnya, defisit JKN akan menyebabkan pembayaran klaim Indonesian case-based groups (INA-CBGs) terkendala. 

"Dan kapitasi ke fasilitas kesehatan (faskes) terkendala. Faskes akan mengalami kesulitas membeli obat, membayar tenaga medis, tenaga kesehatan, pekerja administrasi, dan pekerja operasional lainnya," kata Timboel.

Untuk menghindari terjadinya kegaduhan dan defisit JKN lebih dalam, Timboel menyarankan Kemensos membatalkan penonaktifan 7,3 juta peserta JKN segmen PBI. Selain itu, pembersihan data peserta harus dilakukan secara obyektif sesuai amanat PP No. 76 Tahun 2015.

"Saya berharap Presiden Prabowo mengevaluasi kebijakan Kementerian Sosial ini, dan bila memang ada kepentingan lain yang membutuhkan dana sebaiknya dicarikan dari pos lain. Jangan diambil dari pos iuran PBI yang memang menjadi hak masyarakat miskin dan tidak mampu," kata Timboel. 

Ilustrasi BPJS Kesehatan. Alinea.id/MT Fadillah

Senada, dosen kesejahteraan sosial Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Handy Lubis berpendapat penonaktifan 7,3 peserta JKN segmen PBI oleh Kemensos menyalahi metode pengumpulan data kesejahteraan sosial. Menurut dia, data kondisi peserta semestinya dikumpulkan berbasis pemetaan di lapangan. 

"Jelas keputusan ini salah karena data itu harus bottom-up, dari bawah ke atas. Yang tahu data di lapangan itu, ya, pihak terdekat. Proses verifikasi dan validasi itu memang harusnya dari pemda dan tidak mungkin dilakukan pemerintah pusat," kata Rissalwan kepada Alinea.id, Kamis (26/6).

Pengambilan data sepihak oleh pusat, menurut Rissalwan, akan memunculkan keputusan yang salah. Tak hanya merugikan pemda, masyarakat miskin yang datanya dicoret juga akan kelimpungan saat sakit namun tak bisa mengakses JKN. 

"Kalau saya melihatnya ini bagian dari ketidakmampuan dari pemerintah pusat mengelola BPJS. Makanya, saya berkali-kali bilang, kalau tidak mampu, berikan ke swasta. Jangan memainkan hal yang kurang elok seperti ini," kata Rissalwan. 


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan