sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

FOMO dan kecanduan ponsel pada gen Z 

FOMO ialah salah satu faktor utama penyebab banyak remaja mempertontonkan aksi phubbing atau phone snubbing di ruang publik.

Maulida Alfi Syahrani
Maulida Alfi Syahrani Jumat, 22 Des 2023 10:46 WIB
FOMO dan kecanduan ponsel pada gen Z 

Istilah fear of missing out (FOMO) muncul dan tenar seiring kelahiran media sosial Facebook pada 2004 silam. Sejumlah riset membuktikan, FOMO terutama mula-mula diderita generasi milenial. Namun, belakangan FOMO juga jadi penyakit sosial yang menjangkiti generasi Z atau mereka yang lahir pada periode 1997-2012. 

Pada awalnya FOMO hanya terminologi untuk menyederhanakan kegelisahan atau kecemasan akan kehilangan momen penting. Belakangan, FOMO telah menjadi fenomena yang mengubah cara kita berinteraksi, berbagi, dan bahkan memandang diri sendiri. FOMO telah menemukan tempatnya dalam kehidupan modern yang serba terhubung.

Dalam riset terbaru yang terbit Australian Journal of Psychology, Mei 2023, psikolog Danielle Einstein dan koleganya menemukan bahwa perasaan FOMO juga rentan dialami para pengguna media sosial aktif dari kalangan anak muda dan remaja. 

"Remaja ingin merasa bahwa mereka diterima di sebuah kelompok dan itu berarti punya pengalaman atau bisa tertawa pada lelucon yang sama. Bagi anak muda, banyak pengalaman itu terjadi secara online, sehingga mereka khwatir bakal kelewatan sesuatu dan tertinggal," kata Einstein seperti dikutip dari Medical Xpress

Pada risetnya, Einstein menyurvei 960 siswa berusia 12-16 tahun. Sebanyak 25% responden mengaku menggunakan media sosial 4 kali sehari. Sekitar 21% menyatakan membuka media sosial 10 kali sehari dan 18% mengaku mengintip media sosial lebih dari 10 kali sehari. Sisanya melapor menggunakan media sosial secara konstan setiap harinya. 

Einstein menemukan peningkatan rasa cemas terutama rentan dialami remaja FOMO yang aktif di media sosial. Sebagian dari mereka yang tidak FOMO juga kerap dihantui rasa cemas berlebihan ketika jauh dari ponsel dan media sosial. 

"Ini menunjukkan bahwa anak-anak muda ini mengandalkan gadget untuk menjaga kecemasan tetap pada taraf normal. Mereka cenderung butuh validasi dari teman-teman sebaya mereka atau diyakinkan oleh anggota keluarga. Mereka bahkan mungkin lupa bagaiamana cara men-support diri mereka secara mandiri," kata Einstein. 

Kesimpulan serupa ditemukan sejumlah peneliti dari Fakultas Psikologi, Universitas Esa Unggul dalam kajian bertajuk "Pengaruh Fear Of Missing Out Terhadap Perilaku Phubbing Pada Remaja" yang dipublikasi pada Desember 2021. Riset digarap Mei Sandrin Hura, Novendawati Wahyu Sitasari, dan Yuli Asmi Rozali. 

Sponsored

Menurut mereka, FOMO ialah salah satu faktor utama penyebab banyak remaja mempertontonkan aksi phubbing atau phone snubbing di ruang publik. Phubbing menggambarkan perilaku seseorang yang asyik dengan gadget ketika berhadapan dengan orang lain atau sedang berada di dalam pertemuan. 

“Karena rasa cemas akan ketertinggalan informasi dan keingintahuan untuk tetap mengetahui kegiatan orang lain membuat remaja terus menggunakan smartphone-nya bahkan ketika sedang berkomunikasi dengan lawan bicar," kata Mei dan kawan-kawan. 

Menurut Mei dan koleganya, media sosial kerap menampilkan momen-momen terbaik kehidupan seseorang, menciptakan kesan bahwa kehidupan mereka hanya terdiri dari momen-momen menarik tanpa masalah. Ini memicu FOMO pada pengguna media sosial. "Sehingga menciptakan ilusi bahwa orang lain selalu memiliki pengalaman yang lebih baik," tulis mereka. 

Dalam Fear of Missing Out (FOMO): Some Causes and Solutions yang tayang di Psychology Today, psikolog Jeremy S. Nicholson berargumen hampir semua orang pernah mengalami atau rentan terhadap FOMO. Karakteristik utama penderita FOMO ialah merasa tak kompeten, relevan, atau mandiri. 

"Akibatnya, mood mereka cenderung buruk dan merasa hidup tak memuaskan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan (keterhubungan) dan meningkatkan mood, mereka beralih ke media sosial. Tetapi, penggunaan media sosial malah memunculkan distraksi dan perasaan campur aduk yang tak diharapkan," tulis Jeremy. 

FOMO, lanjut Jeremy, bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental, emosional, dan fisik. Itu tecermin dalam rentan munculnya perasaan stres, kecemasan, depresi, gangguan tidur, dan penurunan kesehatan fisik yang dihadapi individu-individu.

Jeremy merinci sejumlah cara keluar dari jebakan FOMO. Pertama, memberikan waktu bagi diri kita untuk berpikir dengan jernih tanpa dipengaruhi oleh rasa takut. Kedua, menelaah situasi dari berbagai perspektif. Ketiga, mempertimbangkan apakah kita memperoleh nilai atau manfaat yang berarti dengan berpartisipasi dalam aktivitas tertentu. 

"Perlu diingat bahwa meskipun orang lain mungkin iri karena tindakan kita, itu tidak selalu berarti hal itu membuat kita menjadi individu yang lebih baik. Kadang-kadang mengikuti apa yang diinginkan atau dilakukan orang lain tidaklah selalu menjadi pilihan yang tepat," kata dia. 

Terjebak atau dipaksa hadir dalam hubungan sosial, kata Jeremy, hanya akan menimbulkan penderitaan bagi kita. "Jangan terbuai oleh kebahagiaan palsu atau harapan yang tidak realistis. Berteman dengan orang-orang yang sebenarnya tidak disukai atau yang hanya menimbulkan rasa cemas karena memantau mereka secara daring tidak akan membuat kita merasa lebih bahagia atau terhubung," tuturnya. 

 

Berita Lainnya
×
tekid