sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Islam Jawa dan wangsit Pangeran Diponegoro di bulan puasa

Sebelum Perang Jawa pecah, Pangeran Diponegoro menerima wangsit selama bulan Ramadan yang membuatnya percaya ia adalah Ratu Adil.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Selasa, 14 Mei 2019 18:39 WIB
Islam Jawa dan wangsit Pangeran Diponegoro di bulan puasa

Di dalam bukunya, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2012) sejarawan asal Inggris Peter Brian Ramsey Carey atau yang dikenal Peter Carey menulis, unjuk gigi keahlian pasukan Jawa yang dipertontonkan dalam garebek puasa bukan sekadar ritual pamer kekuatan. Sebab, tak lama setelahnya, Sultan memutuskan untuk meningkatkan kekuatan dan kesiagaan militer.

Garebek dan sintesis mistik

Peter menuturkan, garebek puasa di lingkungan keraton dirayakan dengan meriah. Bahkan, Pangeran Diponegoro antusias ikut perayaan itu.

“Pangeran Diponegoro sendiri bilang bahwa dirinya sangat enggan pergi ke keraton, tetapi ia pasti hadir kalau ada garebek, baik garebek maulid maupun garebek puasa. Walaupun menurut dia itu suatu dosa, sebab tidak sesuai dengan norma Islam,” tutur Peter Carey saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (14/5).

Garebek dirayakan dengan tumpengan dan ambengan—atau disebut pula gunungan. Gunungan diangkat dan dibawa dari keraton, melewati serangkaian prosesi. Sultan bersama sejumlah prajurit keraton mengantarnya kepada penghulu untuk diberi berkah doa, sebagai selamatan pada hari peringatan Islam.

Garebek puasa merupakan ritual syukuran keagamaan terkait berakhirnya bulan Ramadan. Tradisi Keraton Surakarta menetapkan, dalam setahun upacara gerebek terkait perayaan agama Islam berlangsung tiga kali, yakni garebek maulid pada 12 Rabiul Awal, garebek puasa pada 1 Syawal, dan garebek besar pada 10 Zulhijah.

Garebek puasa, gerebek maulid, gerebek hari raya, bahkan sekaten merupakan upacara keagamaan warisan Kesultanan Demak (1475-1554).

Garebek termasuk apa yang disebut sejarawan asal Australia Merle Calvin Ricklefs dalam buku Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangan dari 1930 sampai Sekarang (2013), sebagai sintesis mistik.

Sponsored

Ricklefs mendefinisikan sintesis mistik sebagai persilangan identitas, keyakinan, dan ekspresi simbolik Jawa dengan Islam.

Sintesis mistik juga tampak dalam ritual keagamaan di bulan Ramadan. Misalnya, di dalam Alquran ada istilah malam lailatul qadar, sedangkan dalam tradisi Jawa dikenal dengan istilah malam selikuran.

Puncak ekspresi simbolik sintesis mistik, menurut Ricklefs, adalah munculnya kitab dan tokoh yang dipandang agung. Ricklefs menyebut, kitab yang dimaksud ialah Serat Centhini. Sementara tokoh yang dipandang agung ialah Pangeran Diponegoro.

Prajurit brigade Nyutra (pengawal pribadi Sultan), berjalan lambat ke Sitihinggil (aula audiensi kerajaan) selama upacara garebek puasa di Yogyakarta. /Tropenmuseum/Commons.wikimedia.org.

Pangeran Diponegoro menerima wangsit

Meski bertabur kata-kata kotor, kasar, dan cabul, Serat Centhini (1814) mampu meleburkan seks dengan sintesis mistik. Menurut Peter Carey, sekitar 1805-1808, Pangeran Diponegoro mengaku mengalami pengalaman spiritual yang mempertemukannya dengan tokoh-tokoh besar, seperti Sunan Kalijaga hingga Ratu Kidul.

Perjumpaan itu menimbulkan keyakinan pada diri Pangeran Diponegoro bahwa dirinya sudah terpilih menjadi Ratu Adil, yang akan memurnikan zaman edan di Tanah Jawa.

Peter Carey menulis di dalam Kuasa Ramalan, selama bertahun-tahun berikutnya, keadaan istana dan perdesaan bertambah buruk. Sementara itu, wahyu-wahyu baru terus dirasakan Pangeran Diponegoro.

Dikisahkan, Sang Pangeran bertemu dengan Ratu Adil, yang mengatakan ia mendapatkan tugas menaklukan Jawa dan mandatnya adalah Alquran. Wahyu pamungkas muncul selama bulan Ramadan, pada April-Mei 1825. Saat itu, ia diberitahu bahwa Tuhan sudah menganugerahkan gelar spesial baginya, yakni Erucakra—gelar yang dalam tradisi mesianik Jawa diberikan kepada Sang Ratu Adil.

“Sebenarnya penampakan terjadi dua kali. Pertama, penampakan dari Ratu Adil pada tanggal 24 Mei 1824. Setahun kemudian di Selarong, seperti ada wangsit dalam mimpinya, yang mempertemukannya dengan delapan wali. Sepertinya dia diangkat sebagai Wali Songo,” ujar Peter Carey.

Lebih lanjut, Peter Carey menulis di dalam bukunya, Pangeran Diponegoro memang berkelana mencari tempat-tempat keramat dan suci pendiri wangsa Mataram untuk menyepi, membersihkan diri dari pamrih.

Pengalaman spiritual

Sepanjang Ramadan, Diponegoro menyepi di Selarong, dekat Gua Secang, Kabupaten Bantul. Selesai salat tarawih, ia duduk di atas batu, menyantap hidangan makan malam dan tidur beralas batu.

“Di gua Secang ia bermeditasi, dan tentunya juga berzikir. Ia cukup taat kepada agama, tetapi pada hakikatnya ia adalah seorang Islam Sufi. Sebab, eyang buyutnya (Ratu Ageng Tegalrejo) menjadi embannya. Dan, ia adalah ujung tombak dan tenggelamnnya Tarekat Syattariyah di Keraton Yogyakarta,” kata Peter Carey.

Pangeran Diponegoro melakukan zikir rangkap empat (napi-isbat, isim, isim gaib, isim gaib-ginaib), tujuannya menjadi “manusia sempurna” (insan kamil), yang akan membawanya pada akhir pemisahan antara hamba dan Tuhan. Ia berzikir berulangkali untuk mengukir asma Yang Maha Besar (isim jalalah), yakni Allah di lubuk hati.

Selama melakukan tarekat di bulan puasa, Pangeran Diponegoro mengalami pengalaman spiritual, yang menegaskan kembali takdir berat dalam menanggulangi pergolakan di Tanah Jawa. Pengalaman spiritual itu bermula sejak bulan puasa 1824, dan mengantarkannya menuju Perang Jawa.

Pada akhir tarekat, Pangeran Diponegoro bermalam di Parangkusumo, Kabupaten Bantul. Di sini, ia menerima wangsit dari Sunan Kalijaga, yang ikut pula memberinya nama baru: Syekh Ngabdulkamid.

Peter Carey mengatakan, Sunan Kalijaga menjelma menjadi makhluk gaib hanya sementara, sebagai sarana berkomunikasi dengan leluhur. Saat itu, Pangeran Diponegoro diramal akan mengambil peran penting dalam peristiwa politik di Jawa. Ia diramalkan pula akan menorehkan prestasi gemilang, dan patut disejajarkan dengan para leluhurnya.

“Sudah kehendak Tuhan Yang Maha Esa awal keruntuhan Jawa tidak sampai tiga tahun lagi,” tutur Peter Carey.

Pangeran Diponegoro. /Tropenmuseum/Commons.wikimedia.org

Tak sudi berunding kala puasa

Wangsit pamungkas yang turun di bulan Ramadan itu, kata Peter, seolah-olah memprediksi gejolak besar perubahan sosial-ekonomi dan reformasi administrasi radikal di Jawa.

Di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan Penjajahan di Indonesia (2015) disebutkan, pada 16 Februari 1830 Jenderal de Kock mengutus Kolonel Kleerens untuk menawarkan perundingan damai di Kota Magelang. Namun, perundingan itu ditunda karena kebetulan bulan puasa.

Setelah bulan puasa, de Kock kembali mengajak Pangeran Diponegoro berunding. Akan tetapi, Diponegoro belum bersedia karena masih dalam suasana Idulfitri.

“Dia (Pangeran Diponegoro) hanya bilang tidak layak bicara politik saat bulan puasa. Dia tidak akan membahas apa pun yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama, dan mungkin hal itu sudah menjadi syarat yang diterima oleh Belanda,” kata Peter Carey.

Perang Jawa (1825-1830) menjadi salah satu pertempuran paling hebat selama Belanda menjajah Nusantara. Penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sedangkan korban dari pihak Belanda sebanyak 8.000 tentara Belanda dan 7.000 serdadu pribumi.

Berita Lainnya
×
tekid