sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Main gim, antara candu dan prestasi

Bermain gim saat ini bukan hanya hobi, tapi juga sebuah cara untuk meraih prestasi.

Annisa Saumi Laila Ramdhini Fandy Hutari
Annisa SaumiLaila Ramdhini | Fandy Hutari Jumat, 19 Okt 2018 09:56 WIB
Main gim, antara candu dan prestasi

Malam makin larut. Layar komputer di rental gim daring Colosseum Arena, Kemanggisan, Jakarta Barat masih menyala. Total 41 kursi yang menghadap ke komputer itu terisi penuh pemain gim (gamers). Sesekali terdengar umpatan dari sejumlah gamers. Riuh.

Di ruangan rental tersebut, perempuan berambut panjang terikat, mengenakan blus biru masih asyik memandang monitor di hadapannya. Dia duduk di balik meja yang mengarah deretan komputer. Matanya sesekali memantau gamers di tempat penyewaan gim daring itu. Dia adalah Nurma, penjaga rental.

Nurma mengatakan, gim paling populer yang banyak dimainkan di rental yang dijaganya adalah Defence of the Ancient (Dota). Dota merupakan gim daring berkonsep multiplayer. Selain Dota, gamers lain memainkan gim tembak-menembak dan sepak bola.

Para penyewa gim daring di rental ini, kata Nurma tak kenal waktu. Tapi, dia mengatakan, gamers yang bermain tak lebih bertahan hingga 10 jam di depan layar.

Kecanduan gim dan toxic

Pada Juni 2018, organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) memasukkan kecanduan bermain gim ke dalam revisi ke-11 dari International Classification of Disease (ICD).

ICD merupakan sistem dari kode medis yang dibuat WHO untuk mendokumentasikan diagnosis, penyakit, dan gejala-gejalanya.

Ciri-cirinya, kebiasaan yang tak bisa dikendalikan saat bermain gim, seperti meningkatnya prioritas untuk main gim dibandingkan aktivitas lainnya, serta meningkatnya intensitas bermain gim, meski sudah ada efek negatif.

Sponsored

Kami lalu berbincang dengan psikolog Friska Asta. Menurutnya, kecanduan gim daring baru bisa dikatakan sebagai gangguan bila sudah mengganggu aktivitas sehari-hari, merusak konsentrasi, dan tak bisa mengontrol diri. Waktu untuk mendiagnosisnya berbeda-beda.

“Tergantung orangnya. Ada orang yang baru sebulan sudah bisa didiagnosis kecanduan gim. Tapi ada juga orang yang bermain gim selama enam bulan baru bisa didiagnosis kecanduan,” katanya, Kamis (18/10).

Sementara itu, menurut situs Psychiatry.org, American Psychiatric Associaton (APA) belum memasukkan kecanduan gim ke dalam kitab Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-5), yang sering digunakan oleh tenaga kesehatan mental profesional.

Saat DSM-5 diterbitkan pada 2013, belum ada bukti cukup untuk menentukan adiksi tersebut sebagai sebuah kondisi gangguan mental yang unik. Meski begitu, DSM-5 memasukkan gangguan kecanduan gim sebagai topik yang direkomendasikan untuk penelitian lebih lanjut, bersama dengan gangguan penggunaan kafein dan kondisi lainnya.

Salah seorang pendiri komunitas gim Blizzard Gamers Indonesia Dedy Sofyan sepakat, kecanduan gim pasti negatif. Namun, dia menuturkan, yang harus diperhatikan adalah bagaimana si gamers mengatur waktunya. Menurut Dedy, hal tersebut kembali ke individu gamers sendiri.

“Motivasi dia itu apa main gim? Cari hiburan kah? Cari semangat berkompetisi dan mengalahkan orang lain kah? Ingin mengejek dan mengecilkan lawan kah?” ujarnya, saat dihubungi, Rabu (17/10).

Sebuah turnamen gim daring Overwatch MOL Gamers Day 2016. (Blizzgamers.id).

Dedy mengatakan, banyak hal negatif yang dicap untuk gamers. Selain kecanduan, katanya, marak juga perilaku toxic.

Toxic merupakan sebutan yang disematkan kepada pemain yang biasanya memiliki tingkah laku buruk dalam permainan. Perilaku toxic berwujud kata-kata kotor kepada pemain lainnya, menyalahkan teman, hingga ujaran rasis.

Menurut Friska, toxic hal yang wajar, sebagai pengaruh interaksi sesama pemain gim. Jika bermain gim sendiri, sambung Friska, umpatan-umpatan saat bermain mungkin tak akan keluar.

“Saya melihat hal itu lebih kepada efek tambahan dari kompetisi, karena seperti di rental gim, bermainnya bersama orang banyak,” katanya.

Bagi Dedy sendiri, motivasinya bermain gim adalah untuk mencari hiburan dan menghilangkan stres. Bila dirinya merasa gim yang dimainkan tak memberikan nilai hiburan dan malah tambah stres, dia akan beralih ke gim lainnya.

Lebih lanjut, Friska mengatakan, bila sudah masuk ke dalam gangguan, sebaiknya gamers menemui psikolog. Proses penyembuhannya dilakukan secara bertahap.

Namun, kata Friska, yang perlu diingat tak semua pemain gim memiliki gangguan kecanduan. Dan, tak selamanya bermain gim punya dampak buruk.

“Ada juga gim yang membantu memperkuat daya ingat,” ujar Friska.

Tinggalkan bangku kuliah demi gim

Berdasarkan situs eSports internasional Newzoo.com, pada 2017 Indonesia menempati peringkat ke-16 negara berpendapatan dari gim terbesar sedunia. Indonesia memiliki 43,7 juta gamers, menghabiskan Rp11 miliar untuk bermain gim.

Sebanyak 44% merupakan gamers perempuan, dengan rentang usia 10 hingga 50 tahun. Sedangkan 56% adalah gamers laki-laki, dengan usia antara 10 hingga 50 tahun.

Dari jumlah sebanyak itu, bukan tak mungkin ada beberapa gamers yang berprestasi. Fajar Maulana salah satu contohnya.

Beberapa tahun lalu, sebelum memutuskan berhenti bermain gim Dota, Fajar adalah jagonya. Pria yang pernah bekerja di sebuah perusahaan gim di Jakarta pada 2015 hingga 2016 itu, mulai mengenal gim Dota sejak masih duduk di bangku SMA pada 2007. Lelaki yang tinggal di Bandung ini mulai keasyikan bermain Dota, dan berlangsung bertahun-tahun.

“Awalnya memang hobi, kemudian bertemu dengan yang lain (teman) dan membentuk tim. Dari situ saya lanjutkan untuk bermain profesional dan mengikuti banyak turnamen Dota,” kata Fajar, ketika dihubungi, Selasa (16/10).

Fajar mengisahkan, kemampuannya bermain gim Dota hingga bisa mumpuni diraih dengan proses panjang. Dia memiliki jadwal latihan dan bertanding rutin. Sepekan jelang kompetisi, latihan digenjot lebih intens lagi.

“Delapan hingga sepuluh jam di depan komputer (main Dota),” ujar Fajar.

Peraih medali emas di cabang olahraga eSports dalam ajang Asian Games 2018 lalu, Ridel Yesaya Sumarandak (tengah). (facebook.com.mobileagueid).

Keseriusan Fajar bermain gim Dota membuahkan pil pahit. Dia meninggalkan bangku kuliah demi menjadi pemain Dota profesional. Padahal, dia baru mencicipi bangku kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran selama seminggu, pada 2009.

“Tak mungkin melanjutkan kuliah, karena jadwal latihan padat dan biasanya sampai malam,” kata dia.

Fajar kemudian membuktikan keseriusannya, dengan segudang prestasi. Dua tahun kemudian, dia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Maranatha dengan menanggung biaya sendiri.

Di lingkungan teman-temannya, Fajar pemain gim Dota paling jago. Pada 2010, dia dan koleganya membentuk tim yang dinamakan Digi Ultimate.

“Tim ini menjadi salah satu yang terbaik dan disegani di Bandung,” katanya.

Mereka pun menyabet juara dalam kompetisi gim Dota se-Indonesia World Cyber Games pada 2010. Dari kemenangan itu, Fajar semakin termotivasi untuk meningkatkan kemampuannya main Dota.

Bersama timnya, Fajar pun makin sering ikut turnamen dan mendapat berbagai penghargaan. Selama setahun bertanding di berbagai kompetisi, mereka tidak pernah kalah. Bukan hanya di ajang nasional, namun juga tingkat dunia.

“Memenangkan kompetisi, menjadi juara, dan dapat penghargaan itu menjadi hal yang berharga dan bikin saya ketagihan,” kata dia.

Selain juara satu World Cyber Games 2010, prestasi Fajar dalam berbagai ajang turnamen gim Dota, antara lain juara satu Alienware Dota Tournament 2010 (Indonesia), peringkat ketujuh SMM Dota Tournament 2011 (internasional), juara ketiga Alienware Dota Tournament 2012 (Asia Tenggara), dan juara keempat Regional The International Qualifier 2014 (Asia Tenggara).

eSports di Indonesia

Kisah serupa datang dari salah seorang pendiri komunitas gim Blizzard Gamers Indonesia Dedy Sofyan. Dedy memiliki pengalaman indah saat menjadi pemenang dalam kompetisi gim HearthStone di Indonesia pada 2014.

Blizzard Gamers Indonesia sendiri berdiri pada akhir 2015. Mereka fokus mengangkat dan mempromosikan gim-gim besutan Blizzard Entertainment, seperti Overwatch, StarCraft, HearthStone, World of Warcraft, dan Diablo.

Komunitas ini sering mengadakan turnamen sejak 2016. Mereka merupakan salah satu pionir komunitas yang menggelar beberapa turnamen pertama gim keluaran Blizzard Entertainment di Indonesia, termasuk gim Overwatch.

Menjamurnya komunitas seperti Blizzard Gamers Indonesia melahirkan pula turnamen gim di tanah air. Kompetisi yang tadinya hanya sebatas berada dalam bilik sebuah rental, beberapa tahun belakangan menjelma menjadi perhelatan bergengsi yang digelar di tingkat nasional maupun internasional.

Pengalaman berkesan lain yang dirasakan Dedy, dia dan Stanley Tjia, rekannya sesama pendiri Blizzard Gamers Indonesia, menjadi bagian dari tim ofisial cabang olahraga elektronik (electronic sports/eSports) di ajang Asian Games 2018 lalu.

Di ajang ini, atlet eSports Indonesia memperoleh satu medali emas dan satu medali perak. Medali emas diraih Ridel Yesaya Sumarandak dalam nomor gim Clash Royale, sedangkan medali perak diraih Hendry “Jothree” Handisurya dalam nomor gim Hearthstone.

Vice President Brand and Communication Telkomsel Nirwan Lesmana (kiri) dan Head of Digital Lifestyle Crispin P Tristram (kedua kanan) berbincang dengan Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga Kemenpora Raden Isnanta (kedua kiri) saat peluncuran Liga eSport Dunia Games Telkomsel, di Jakarta, Rabu (17/10). (Antara Foto).

Di Asian Games 2018, eSports kali pertama dipertandingkan sebagai eksibisi. Perolehan medali dalam cabang olahraga ini tak dihitung. Ajang eSports bakal dipertandingkan di Asian Games 2022 nanti. Ada enam gim yang dipertandingkan di Asian Games 2018, yakni Arena of Valor, Clash Royale, League of Legends, StarCraft II, HearthStone, Pro Evolution Soccer 2018.

Menurut Dedy, standar menjadi seorang atlet eSports di Indonesia belum baku. Biasanya, atlet berharap bisa masuk tim eSports profesional dengan cara bermain, merekam video, berlatih, dan ikut banyak turnamen.

Atlet eSports Indonesia sendiri terhimpun dalam Indonesia eSport Association (IeSPA). Dilansir dari situs resminya, IeSPA terbentuk berawal dari sebuah ide yang terinspirasi perkembangan industri eSports dunia, yang berkembang pesat pada 2000-an. IeSPA secara organisasi berada di bawah Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI), dan sudah diakui Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Dedy Sofyan mengatakan, perolehan medali kontingen Indonesia di cabang eSports dalam ajang Asian Games 2018 yang lalu begitu membanggakan. Hal tersebut makin mendongkrak populernya eSports di Indonesia.

“Kemarin kita (Indonesia) medalinya sama dengan Korea Selatan, dengan satu emas dan satu perak,” katanya.

Dedy menambahkan, sudah saatnya sekarang pemerintah dan orang tua mulai memberikan dukungan kepada anak-anaknya, yang memiliki kecenderungan menjadi gamers berbakat.

“Saya ingat, ada seorang bapak atlet eSports kita yang terus ikut mendampingi anaknya hingga bertemu bapak Menpora Imam Nahrawi di Gedung DPR/MPR sewaktu mendapatkan penghargaan. Bapaknya bangga sekali dengan prestasi anaknya,” kata Dedy.

Fajar pun mengaku, gim daring mengajarkan banyak hal positif. Paling penting, menurut dia, kerja sama tim. Selain itu, mengasah fokus dan gigih berlatih.

Bermain gim, kini tak sekadar sebuah hobi atau aktivitas membunuh waktu semata. Saat ini, bermain gim bisa pula dijadikan sebuah kegiatan positif untuk mendulang prestasi, bahkan mungkin mencari nafkah.

Walau begitu, orang-orang yang ambil bagian dalam bermain gim mesti waspada dengan waktu yang mereka habiskan untuk bermain. Terutama ketika aktivitas main gim sudah masuk tahap mengabaikan aktivitas sehari-hari, perubahan pada kesehatan fisik maupun mental, dan fungsi sosial yang bisa terganggu akibat bermain gim.

Bila sudah begitu, bukan prestasi yang akan diraih, tapi candu.

Berita Lainnya
×
tekid