close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto:  Meic Cymru
icon caption
Foto: Meic Cymru
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 02 Juni 2025 18:38

Kaum muda rentan jadi korban glorifikasi tubuh kurus di media sosial

Di balik layar ponsel pintar dan linimasa yang tampak gemerlap, sebuah bahaya diam-diam mengintai remaja, khususnya perempuan muda.
swipe

Di balik layar ponsel pintar dan linimasa yang tampak gemerlap, sebuah bahaya diam-diam mengintai remaja, khususnya perempuan muda. Para ahli kesehatan mental memperingatkan: media sosial kini bukan sekadar hiburan—tetapi bisa menjadi pemicu gangguan makan yang serius.

Mereka yang rentan, terpapar oleh glorifikasi tubuh kurus dan saran diet ekstrem dari para influencer, perlahan terseret dalam arus misinformasi yang berbahaya. TikTok, Instagram, dan platform serupa—tempat di mana tubuh kurus dijadikan standar kecantikan, justru memperpanjang penderitaan banyak anak muda.

"Tak mungkin lagi kami menangani gangguan makan tanpa juga membahas media sosial," ujar Carole Copti, ahli gizi asal Prancis. Ia menyebutkan media sosial sebagai pemicu, akselerator, bahkan penghambat proses pemulihan.

Bahaya meningkat

Dalam kurun waktu hampir dua dekade, prevalensi gangguan makan melonjak tajam. Data global menunjukkan bahwa pada tahun 2000, hanya 3,5% orang yang mengalami gangguan makan seperti anoreksia, bulimia, dan binge eating. Namun angka itu melonjak menjadi 7,8% pada 2018—periode yang sejajar dengan lahir dan tumbuhnya media sosial.

Meskipun gangguan makan lebih sering menyerang perempuan muda, jumlah kasus pada laki-laki juga mengalami kenaikan. Penyebabnya kompleks—gabungan dari faktor psikologis, sosial, hingga genetis. Namun satu hal yang kini makin diperhatikan: pengaruh dunia digital.

"Media sosial bukan satu-satunya penyebab, tapi bisa menjadi tetes terakhir yang membuat seseorang runtuh," kata Nathalie Godart, psikiater anak dan remaja dari Student Health Foundation of France.

‘SkinnyTok’: Tagar, Likes, dan Bahaya Nyata
Salah satu fenomena yang menuai kekhawatiran adalah tren #skinnytok di TikTok. Di balik tagar ini tersembunyi konten-konten yang mengagung-agungkan tubuh kurus secara ekstrem. Dari video yang memamerkan tubuh kekurangan gizi hingga tutorial mengonsumsi obat pencahar dan “pembersihan” usai makan—semuanya ditayangkan secara gamblang.

“Perilaku seperti muntah atau melewatkan makan dianggap normal dan bahkan dirayakan,” ujar Charlyne Buigues, perawat spesialis gangguan makan. “Padahal, ini meningkatkan risiko kerusakan organ, kemandulan, bahkan serangan jantung.”

Anoreksia diketahui memiliki tingkat kematian tertinggi di antara semua gangguan kejiwaan. Di Prancis, gangguan makan menjadi penyebab kematian dini nomor dua di kalangan usia 15 hingga 24 tahun.

Ketika Penyakit Menjadi Konten
Kondisi semakin pelik ketika penderita gangguan makan justru mendapatkan validasi dari media sosial. Copti menjelaskan, banyak pasien yang memiliki harga diri rendah malah mendapat ‘like’ dan komentar pujian setelah memamerkan tubuh kurus mereka.

“Ini menciptakan lingkaran setan. Validasi itu memperparah penyakit dan memperpanjang penyangkalan mereka,” ungkapnya.

Lebih mencengangkan, beberapa bahkan mendapatkan penghasilan dari konten tersebut. Seorang pasien disebut rutin menayangkan dirinya muntah di TikTok—dan dibayar oleh platform tersebut. Uangnya? Digunakan untuk membeli makanan yang kemudian dimuntahkan lagi.

Misinformasi yang Sulit Dipatahkan
Bagi para tenaga medis, pertempuran melawan gangguan makan kini juga berarti melawan algoritma dan narasi palsu yang menyebar luas. Konsultasi gizi tak lagi cukup hanya menyarankan pola makan sehat—tetapi juga meluruskan mitos dan klaim keliru.

“Saya merasa seperti sedang diadili. Pasien menantang saya dengan ‘fakta’ dari TikTok,” kata Copti. “Bayangkan, saya hanya punya 45 menit seminggu, sedangkan mereka terpapar video-video itu berjam-jam setiap hari.”

Godart pun menyoroti maraknya “pelatih gizi palsu”—influencer yang tanpa latar belakang kesehatan namun berani menyebar informasi yang tak masuk akal dan bisa membahayakan.

Harus Dimulai dari ‘Unfollow’?
Beberapa tenaga medis bahkan mengambil langkah ekstrem: menyarankan pasien untuk menghapus akun media sosial mereka. “Kedengarannya keras, tapi bagi banyak remaja, TikTok saat ini terlalu berbahaya,” ujar Buigues.

Ia sendiri rutin melaporkan konten berbahaya ke platform seperti Instagram. Namun, banyak laporan tak ditanggapi. “Akun-akun itu tetap aktif. Rasanya melelahkan,” ujarnya.

Di tengah semaraknya tren digital, cerita-cerita ini menjadi pengingat bahwa tidak semua konten membawa manfaat. Dalam lautan informasi, remaja membutuhkan bimbingan, bukan likes. Dan kita semua—orang tua, guru, tenaga kesehatan, bahkan media—punya peran untuk menjaga agar ruang daring tetap sehat bagi generasi muda.(japantimes)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan