

Mencegah kekerasan seksual dokter kandungan

Kurang dari 24 jam usai video yang memperlihatkan tindakan asusila di sebuah klinik di Garut, Jawa Barat, yang dilakukan seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn) atau dokter kandungan viral di media sosial, polisi menangkap terduga pelaku, Muhammad Syafril Firdaus.
Menurut Dirreskrimum Polda Jawa Barat, Surawan, korban dugaan pelecehan dokter itu sementara baru dua orang. Dalam video hasil rekaman CCTV yang tersebar di media sosial, dokter tersebut tengah memeriksa pasien dengan metode ultrasonografi (USG). Namun, pergerakan salah satu tangan sang dokter mengarah ke bagian dada pasien.
Di Amerika Serikat, awal tahun ini, lebih dari 100 perempuan menggugat dokter kandungan yang praktik di Baverly Hills, Barry J. Brock. Sebelumnya, ada 50 mantan pasien sang dokter yang juga menuding Brock melakukan pelecehan seksual, kekerasan seksual, kekerasan gender, dan lainnya. Brock merupakan dokter yang lebih dari 40 tahun berpraktik di bidang kebidanan dan ginekologi di Cedars-Sinai Medical Center dan fasilitas kesehatan lainnya.
Dosen hukum perdata di Universitas Ottawa Audrey Ferron Parayre, kepala riset hukum dan kebijakan kesehatan di Universitas Montreal Catherine Regis, ketua riset kesehatan mental dan akses terhadap keadilan di Universitas Ottawa Emmanuelle Bernheim, dan profesor departemen seksologi di Universitas Quebec Sylvie Levesque dalam tulisannya di The Conversation menyebut, perilaku, ucapan, tindakan, dan kelalaian—termasuk pelecehan seksual—terkait perawatan obstetri dan ginekologi dikenal sebagai kekerasan obstetri dan ginekologi.
Kekerasan obstetri dan ginekologi, menurut para penulis, sering terjadi. Dalam studi di Amerika Serikat yang diterbitkan jurnal Reproductive Health (2019) ditemukan, sebanyak 17,3% responden perempuan melaporkan mengalami perlakuan obstetri yang buruk.
Lalu, dalam penelitian di Australia yang diterbitkan di Sage Journals (2022) terhadap perempuan yang melahirkan ditemukan, 11,6% dari 8.546 responden mengalami kekerasan obstetri.
Berdasarkan studi di Kanada, para penulis membeberkan beberapa karakteristik yang termasuk kekerasan obstetri dan ginekologi, yakni pemeriksaan yang dilakukan tanpa persetujuan dan informasi dari pasien, praktik profesional dan organisasi yang menghilangkan otonomi reproduksi individu, dan penghargaan subjetif pasien terhadap pengalaman mereka dalam pemeriksaan kesehatan.
“Faktor sistemik juga memainkan peran penting dalam terjadinya kekerasan obstetri dan ginekologi, yang dikombinasikan dengan faktor interpersonal antara perempuan dan tenaga kesehatan,” tulis mereka.
“Faktor lainnya adalah stereotip, prasangka, dan bias gender tentang reproduksi perempuan yang masih umum terjadi.”
Menurut peneliti dari Universitas Columbia sekaligus anggota Komite Tetap Etika Asosiasi Psikiater Dunia, Paul Appelbaum kepada MedPage Today, dalam situasi apa pun saat pasien diminta membuka pakaian atau memperlihatkan sebagian dirinya kepada dokter, pasien itu mungkin tidak sepenuhnya memahami apa yang relevan secara medis untuk prosedur atau pemeriksaan tersebut.
“Seorang pasien datang ke ruang pemeriksaan karena dia khawatir mengenai kesehatannya dan dia mendatangi dokter untuk memberikan solusi,” ujar Appelbaum.
“Hal itu membuat mereka bergantung pada dokter, yang di sisi pasien dapat menyebabkan kesulitan mereka dalam menolak ‘keuntungan’ fisik yang tidak pantas dari dokter.”
Appelbaum mengatakan, serupa dalam kebanyakan kasus kekerasan seksual, pasien yang sudah dilecehkan mungkin bakal merasa bersalah karena menganggap membiarkannya terjadi. Selain itu, kekerasan tersebut dapat menyebabkan reaksi seperti gangguan stres pascatrauma yang membuat pasien takut, tidak percaya, atau menghindari profesi medis sama sekali.
“Anda mungkin mendengar cerita dari pasien yang telah mengalami hal ini dan kemudian tidak pergi ke dokter lagi selama bertahun-tahun, atau tidak mau pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan tahunan,” ucap Appelbaum.
“Itu konsekuensi yang sangat serius karena berpotensi membahayakan kesehatan dan nyawa pasien akibat perilaku buruk tersebut.”
Lebih lanjut, dalam The Conversation, Parayre, Regis, Bernheim, dan Levesque menjelaskan, inti dari banyaknya kasus kekerasan obstetri dan ginekologi adalah tidak adanya persetujuan, atau persetujuan diberikan tanpa menerima informasi yang memadai.
Mereka menyebut beberapa hak perempuan dalam pemeriksaan kesehatan reproduksi, antara lain hak untuk memberikan persetujuan atau menolak; diberi informasi tentang kondisi mereka dan berpartisipasi dalam keputusan yang memengaruhi rencana pemeriksaan; didampingi; meminta pendapat profesional kedua; memilih tenaga kesehatan dan institusi; serta menerima perawatan yang memadai dari sudut pandang ilmiah, kemanusiaan, dan sosial.
Sementara itu, menurut peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Otonom Nasional Meksiko, R. Uribe-Elias dalam riset yang diterbitkan di International Journal of Gynecology & Obstetrics (2003), dokter kandungan harus bertindak untuk memahami dan mencegah kekerasan terhadap perempuan, serta menetapkan pedoman bagi pendekatan yang lebih baik.
“Mereka harus berkomitmen pada diri mereka sendiri, serta pengetahuan profesi mereka. Mereka juga harus mengidentifikasi dan menjalankan dengan teguh aspek etika profesi,” tulis Elias.


Berita Terkait
Pola makan yang buruk terkait dengan risiko kanker paru-paru
Suara 100 Hz yang unik bisa mengatasi mabuk kendaraan
Otak bisa rusak akibat konsumsi alkohol berlebihan
Bagi warga Seoul usia tua dimulai pada usia 70

