Mi instan, sosis, pizza, burger, dan minuman bersoda memang sangat nikmat di lidah. Namun, makanan-makanan tadi ternyata berdampak buruk bagi kesehatan. Bahkan, bisa menyebabkan kematian lebih dini.
Klaim itu muncul dari penelitian yang dilakukan para ilmuwan dari Brasil, yang terbit di American Journal of Preventive Medicine (2025) berjudul “Premature Mortality Attributable to Ultraprocessed Food Consumption in 8 Countries”.
Banyak penelitian telah menemukan makanan ultra olahan kemungkinan buruk bagi kesehatan—dikaitkan dengan kanker, penyakit jantung, peradangan, penurunan kognitif, dan diabetes—karena kurangnya nutrisi utama. Penelitian ini, menyelidiki pola makan yang tinggi konsumsi makanan ultra olahan terhadap risiko mortalitas.
Mereka menganalisis data dari delapan negara, antara lain Australia, Brasil, Kanada, Chili, Kolombia, Meksiko, Inggris, dan Amerika Serikat, menemukan setiap kenaikan 10% dalam proporsi makanan ultra olahan dari total asupan kalori meningkatkan risiko kematian karena semua penyebab sebesar 3%.
Di negara-negara dengan konsumsi makanan ultra olahan tertinggi, seperti Amerika Serikat, hingga 14% kematian dini disebabkan oleh makanan ultra olahan. Para peneliti menemukan, pada 2018 misalnya, sebanyak 124.000 kematian dini di Amerika Serikat disebabkan konsumsi makanan ultra olahan.
“Makanan ultra olahan memengaruhi kesehatan di luar dampak individual dari kandungan tinggi natrium, lemak trans, dan gula karena perubahan dalam makanan selama pemrosesan industri dan penggunaan bahan-bahan buatan, termasuk pewarna, perasa, pemanis buatan, pengemulsi, dan banyak aditif, serta alat bantu pemrosesan lainnya,” kata peneliti utama studi, Eduardo Augusto Fernandes Nilson, dikutip dari Fortune.
Klasifikasi yang dikenal sebagai NOVA mendefinisikan makanan ultra olahan sebagai makanan yang mengandung zat aditif dan mengalami perubahan signifikan dari keadaan alaminya. Makanan ini cenderung padat kalori, rendah nutrisi, dan sering kali punya masa simpan yang lama.
Menurut Fortune, para peneliti menemukan, daging olahan, minuman manis dan pemanis buatan, makanan penutup berbahan dasar susu, dan makanan sarapan yang diproses secara berlebihan seperti sereal manis, dikaitkan dengan risiko mortalitas tertinggi.
“Kami mengamati risiko seseorang meninggal akibat mengonsumsi lebih banyak makanan ultra olahan antara usia 30 dan 69 tahun, saat seseorang dianggap meninggal sebelum waktunya,” ujar penulis studi dan profesor emeritus gizi dan kesehatan masayrakat di Sekolah Kesehatan Masyarakat Universitas Sao Paulo, Carlos Augusto Monteiro, dilansir dari CNN.
Menurut DW, dari delapan negara yang diteliti, negara-negara di Amerika Latin memiliki porsi makanan ultra olahan terendah dalam konsumsi mereka dan jumlah kematian dini terendah yang bisa dikaitkan dengan konsumsinya. Hal ini berbeda dengan empat negara dengan perekonomian yang maju, seperti Australia, Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat, yang memiliki angka kematian dini sangat tinggi dan proporsi makanan ultra olahan yang lebih besar dalam makanan rata-rata.
"Tidak mengherankan bahwa negara-negara yang memiliki budaya makanan yang lebih kuat, yang tidak banyak terpengaruh oleh makanan olahan, telah mempertahankan pola makan yang sehat," kata Nilson kepada DW.
"Kita berbicara tentang Jepang, Italia, Prancis, dan negara-negara Mediterania secara umum."
Meski demikian, Wakil Presiden Kebijakan Produk untuk Consumer Brands Association, Sarah Gallo mengatakan, studi baru ini menyesatkan dan akan menyebabkan kebingunan konsumen.
“Menjelek-jelekkan produk makanan dan minuman yang praktis, terjangkau, dan siap saji dapat membatasi akses dan menyebabkan penghindaran terhadap makanan yang padat nutrisi,” ucap Gallo kepada CNN.
Ahli statistik di MRC Biostatistics Unit di Universitas Cambridge, Stephen Burgess menuturkan, meski penelitian itu tidak dapat membuktikan konsumsi makanan ultra olahan berbahaya, tetapi riset tersebut memberikan bukti yang menghubungkan konsumsi dengan hasil kesehatan yang lebih buruk.
"Ada kemungkinan, makanan olahan bukanlah penyebab utama risiko tersebut. Sebaliknya, faktor lain seperti tingkat kebugaran fisik yang lebih baik mungkin menjadi penyebabnya, sementara makanan olahan hanya kebetulan terkait," kata Burgess kepada CNN.
"Namun, ketika pola hubungan ini muncul berulang kali di berbagai negara dan budaya, muncul dugaan bahwa makanan olahan mungkin memiliki peran lebih dari sekadar kebetulan."