close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi siswa SMA./Foto Ed Us/Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi siswa SMA./Foto Ed Us/Unsplash.com
Sosial dan Gaya Hidup - Pendidikan
Kamis, 17 April 2025 06:09

Mudarat membangkitkan kembali skema penjurusan di SMA

Mendikdasmen Abdul Mu’ti berencana menghidupkan lagi sistem penjurusan di SMA, mengganti skema peminatan.
swipe

Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyatakan, pihaknya akan kembali memberlakukan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA untuk menunjang pelaksanaan tes kemampuan akademik (TKA).

Sebab, TKA akan menjadi salah satu pertimbangan dalam penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi, dan mulai diuji coba pada siswa kelas 12 atau kelas 3 SMA pada November 2025.

“Dengan cara seperti itu, kemampuan akademik seseorang akan menjadi landasan ketika ingin melanjutkan ke perguruan tinggi di jurusan tertentu. Jadi, bisa dilihat dari nilai kemampuan akademiknya,” kata Mu’ti, dilansir dari Antara.

Sistem penjurusan tersebut sebagai pengganti peminatan yang diberlakukan dalam Kurikulum Merdeka, saat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dipimpin Nadiem Makarim.

Menurut Ketua Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, gonta-ganti sistem pendidikan ini bisa membuat bingung peserta didik, orang tua murid, dan guru.

“Kita khawatir saja kalau kualitas pendidikan kita tidak maju-maju, tapi mundur terus karena peserta didik selalu menjadi ‘kelinci percobaan’,” kata Ubaid kepada Alinea.id, Rabu (16/4).

Padahal, kata dia, realita di lapangan, penjurusan atau peminatan sama saja. Justru faktanya, siswa SMA yang dipersiapkan oleh peminatan maupun penjurusan, sebanyak 80%, malah salah jurusan saat melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

“Bahkan yang lulus (dari perguruan tinggi) kemudian bekerja itu juga berdasarkan penelitian menunjukkan, 80% dari mereka bekerja tidak sesuai dengan jurusan atau prodi yang digeluti di kampus,” ucap Ubaid.

Ubaid menjelaskan, masalahnya bukan ada penjurusan atau tidak. Namun, sistem pendidikan kita yang gagal mendeteksi minat, bakat, dan kecenderungan peserta didik, sehingga salah mengambil jurusan dan bekerja tak sesuai jurusan.

Di sisi lain, guru-guru di sekolah ketika punya kompetensi yang buruk, mereka tidak bisa memfasilitasi atau membantu peserta didik untuk bisa menemukan minat dan bakatnya. Terlebih, menurut Ubaid, labelisasi penjurusan di sekolah menimbulkan stigmatisasi. Misalnya, menganggap siswa yang mengambil jurusan IPA lebih superior dibandingkan IPS dan Bahasa.

“Itu menimbulkan diskriminasi sehingga yang IPA hanya bisa pelajaran IPA, yang IPS hanya bisa menekuni pelajaran IPS,” kata Ubaid.

“Padahal hari ini yang dibutuhkan adalah multidisiplin ilmu.”

Dia menyarankan, siswa SMA bisa fleksibel karena mereka masih meraba-raba minat dan bakatnya. Jika memilih jurusan, dan ternyata tak sesuai dengan minat dan bakatnya, maka malah menjadi masalah di masa depan.

Ubaid mengatakan pula, sebaiknya pemerintah membuat peta jalan pendidikan jangka panjang, 30 tahun misalnya. “Sehingga ini bisa dilaksanakan siapa pun menterinya, siapa pun presidennya,” tutur Ubaid.

“Jangan ganti presiden ganti kebijakan, ganti menteri ganti kebijakan. Peserta didik jadi kelinci percobaan. Ini bahaya, pendidikan kita malah bisa kembali ke zaman batu.”

Plus-minus

Sementara itu, Koordinator Nasional (Kornas) Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim mengatakan, rencana Mendikdasmen mengembalikan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA terkesan terburu-buru dan tanpa kajian evaluasi terhadap implementasi Kurikulum Merdeka yang baru seumur jagung.

“Menghidupkan kembali jurusan IPA dan IPS terkesan tanpa kajian matang,” ujar Satriawan, dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Senin (14/4).

Meski begitu, pihaknya menilai, ada plus-minus menghidupkan kembali skema jurusan di SMA. Keuntungannya, pertama, sekolah sudah punya pengalaman untuk mengelola penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA saat kurikulum 1994, 2006, dan 2013. Maka, keuntungannya, lebih cepat bisa beradaptasi dengan skema tersebut.

Kedua, harapan dalam Kurikulum Merdeka agar siswa memilih mata pelajaran sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan belum sepenuhnya tercapai. Buktinya, masih banyak SMA yang menerapkan skema pembuatan “menu” atau “paket” mata pelajaran.

“Banyak faktor penyebabnya, di antaranya kekurangan guru dan disinformasi tata kelola kurikulum,” ucap Satriawan.

Ketiga, lewat penjurusan, siswa dapat fokus belajar ke dalam satu kelompok rumpun ilmu pengetahuan secara spesifik. Misalnya, siswa jurusan IPA hanya fokus belajar matematika, biologi, kimia, dan fisika.

Sedangkan aspek negatifnya, pertama, penerapan kembali penjurusan di SMA akan menghidupkan lagi “kastanisasi” rumpun mata pelajaran.

“Ada labeling bahwa anak IPA itu paling pintar, adapun jurusan IPS anaknya baisa saja. Bahkan, yang tak terpilih di IPA masuk IPS dan Bahasa (dianggap) pilihan sisa,” kata Satriawan.

“Persepsi itu terbangun puluhan tahun.”

Kedua, pengkotak-kotakan IPA, IPS, dan Bahasa tidak relevan dengan perkembangan dunia keilmuan, dunia kerja, dan perubahan masyarakat global. Sebab, ilmu pengetahuan sudah bersifat multi dan interdisipliner.

Terkait TKA, Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zainatul Haeri menilai, hal itu akan merugikan siswa, terutama kelas 11 atau kelas 2—yang akan ikut tes itu pada November mendatang—yang mengambil rumpun campur IPA dan IPS tak sesuai dengan pilihannya.

“Sebenarnya, dengan adanya TKA, penjurusan sudah tak relevan lagi secara otomatis,” ujar Iman, dalam keterangan tertulis.

“Sebab, anak kelas 11 misal ambil pilihan mata pelajaran dengan formula Kurikulum Merdeka hingga saat ini, dia ingin ambil Jurusan Kedokteran, ya pada saat TKA mata pelajaran pilihan yang diteskan pastinya biologi dan kimia.”

Apalagi, menurut Iman, TKA banyak dampak negatifnya. Misanya, menyebabkan siswa alami demotivasi, bahkan deligitimasi profesi guru dan proses pembelajaran. Alasannya, siswa hanya akan mementingkan mata pelajaran yang akan diujikan dalam TKA dan rapor tak lagi berguna.

Selain itu, TKA juga akan menegasikan portofolio hasil prestasi non-akademik dan akademik siswa selama belajar dan mengakibatkan siswa hanya mengejar kemampuan kognitif.

“Dengan adanya TKA sebagai pengganti SNBP (seleksi nasional berdasarkan prestasi), pembelajaran di sekolah akan diisi target capaian nilai TKA untuk lima mata pelajaran utama,” tutur Iman.

“Mata pelajaran seni budaya, olahraga, agama, dan Pancasila rasanya menjadi tak penting bagi anak, sebab orientasinya lima mata pelajaran TKA.”

img
Nofal Habibillah.
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan