Jumlah penderita obesitas meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir, yang memunculkan kesulitan beraktivitas bagi mereka yang mengalaminya. World Health Organization (WHO) menyebut, pada 2022 sebanyak 2,5 miliar orang dewasa—berusia 18 thaun ke atas—mengalami kelebihan berat badan. Dari jumlah itu, 890 juta orang mengalami obesitas. Jumlah ini setara dengan 43% orang dewasa berusia 18 tahun ke atas—43% pria dan 44% perempuan—yang mengalami kelebihan berat badan.
Jumlah itu meningkat dari tahun 1990, di mana 25% orang dewasa berusia 18 tahun ke atas mengalami kelebihan berat badan. Prevalensi kelebihan berat badan bervariasi menutur wilayah. Ada 31% di wilayah Asia Tenggara dan Afrika, serta 67% di Amerika.
Di Indonesia, berdasarkan survei Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2023 ada 23,4% orang dewasa berusia 18 tahun ke atas yang mengalami obesitas. Perempuan berusia 40-44 tahun banyak mengalami obesitas, angkanya mencapai 41,7% pada 2023. Sedangkan angka obesitas pada laki-laki banyak terjadi di usia 45-49 tahun, dengan persentase 19,3%.
WHO menjelaskan, obesitas adalah penyakit kronis kompleks yang ditandai dengan timbunan lemak berlebihan, yang bisa mengganggu kesehatan. Obesitas bisa menyebabkan peningkatan risiko diabetes tipe 2 dan penyakit jantung, memengaruhi kesehatan tulang dan reproduksi, serta meningkatkan risiko kanker tertentu.
Sudah diketahui, obesitas terkait dengan pola makan yang buruk, seperti makan dengan porsi berlebihan, frekuensi makan sering dan tak teratur, serta terlalu banyak mengonsumsi makanan manis, berlemak, atau gorengan.
Namun, penelitian yang dilakukan ilmuwan dari Rumah Sakit Universitas Tubingen, Pusat Penelitian Diabetes Jerman, dan Helmholtz Munich yang diterbitkan di jurnal Nature Metabolism (Februari, 2025) mengungkapkan, otak berperan sebagai pusat kendali penting dan asal mula obesitas serta diabetes tipe 2.
Hormon insulin memainkan peran kunci dalam perkembangan obesitas. Kepekaan otak terhadap insulin dikaitkan dengan penambahan berat badan jangka panjang dan distribusi lemak tubuh yang tak sehat.
“Temuan kami menunjukkan untuk pertama kalinya bahkan konsumsi singkat makanan olahan yang tidak sehat, seperti cokelat batangan dan keripik kentang, menyebabkan perubahan signifikan pada otak individu yang sehat, yang mungkin menjadi penyebab awal obesitas dan diabetes tipe 2,” ujar peneliti di Rumah Sakit Diabetologi, Endokrinologi, dan Nefrologi Universitas Tubingen, Stephanie Kullmann, yang juga salah seorang peneliti laporan itu, dikutip dari situs Deutshes Zentrum fur Diabetesforschung (DZD)
Sebanyak 29 relawan pria dengan berat badan rata-rata berpartisipasi dalam penelitian ini. Mereka dibagi menjadi dua kelompok.
Selama lima hari berturut-turut, kelompok pertama harus melengkapi pola makan rutin, dengan 1.500 kilokalori dari camilan berkalori tinggi. Kalori ekstra itu tidak dikonsumsi kelompok kontrol.
Kedua kelompok lalu menjalani dua pemeriksaan terpisah setelah evaluasi awal. Satu pemeriksaan dilakukan segera setelah periode lima hari. Pemeriksaan lainnya dilakukan tujuh hari setelah kelompok pertama melanjutkan pola makan rutin mereka.
Para peneliti menggunakan pencitraan resonansi magnetik untuk melihat kandungan lemak hati dan sensitivitas insulin otak. Kandungan lemak hati kelompok pertama tak hanya meningkat secara signifikan setelah lima hari peningkatan asupan kalori.
Anehnya, sensitivitas insulin yang secara signifikan lebih rendah di otak dibandingkan dengan kelompok kontrol juga bertahan satu minggu setelah kembali ke pola makan normal. Efek ini sebelumnya hanya diamati pada orang yang mengalami obesitas.
Insulin merupakan hormon polipeptida yang mengatur metabolisme karbohidrat. Insulin adalah “efektor” utama dalam homeostasis karbohidrat, juga berperan dalam metabolisme lemak dan protein.
Dalam keadaan sehat, insulin memiliki efek penekan nafsu makan di otak. Namun, pada orang dengan obesitas, insulin tak lagi mengatur perilaku makan dengan benar, yang mengakibatkan resistensi insulin.
“Menariknya, pada peserta studi kami yang sehat, otak menunjukkan penurunan sensitivitas terhadap insulin yang serupa setelah asupan kalori tinggi jangka pendek, seperti pada orang dengan obesitas,” ujar Kullmann.
“Efek ini bahkan dapat diamati seminggu setelah kembali ke pola makan seimbang.”