sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Parasosial, hubungan ilusif dengan idola

Horton dan Wohl mendefinisikan parasosial sebagai hubungan dekat dengan tokoh media saat menonton acara televisi.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Jumat, 15 Mar 2019 19:37 WIB
Parasosial, hubungan ilusif dengan idola

Interaksi dengan idola

Menurut Dimas Aldi Saifuddin dari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, cara paling mudah mengenali seseorang itu parasosial adalah melihat interaksi yang dilakukannya dengan sang idola.

Bersama Achmad Mujab Masykur, Dimas pernah meneliti tentang parasosial. Hasil risetnya itu berjudul Interaksi Parasosial (Sebuah Studi Kualitatis Deskriptif pada Penggemar JKT48) (2014).

“Paling gampang kalau kita ngefan sama orang kita ikuti kesehariannya, paling dengan mengikuti Instagram-nya, setiap gosip tentangnya, dan komunitasnya. Namun, dia (idola) tidak tahu apa-apa tentang kita,” katanya saat dihubungi, Jumat (15/3).

Sementara, dosen psikologi Universitas Tarumanegara Sandi Kartasasmita mengatakan parasosial lazimnya terjadi pada individu yang kurang memiliki hubungan sosial yang baik dengan individu lain, memiliki harga diri yang rendah, dan jarang atau sulit keluar rumah.

“Intensitas yang tinggi dengan media, baik itu televisi dan yang lainnya, membentuk hubungan imajiner dengan tokoh di media yang ia lihat sehari-hari,” katanya saat dihubungi, Jumat (15/3).

Ia juga mengatakan, individu dengan tingkat pendidikan yang lebih baik cenderung lebih minim mengalami parasosial daripada individu dengan pendidikan lebih rendah. Selain itu, jika dilihat dari proporsional gender, perempuan lebih banyak mengalami gejala ini dibandingkan dengan laki-laki.

Bisa berdampak buruk

Sponsored
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Yey, sosmedku dilike dan difollow artis! Article on https://goo.gl/NMaJc3 #ketemuartis #parasosial #mintafoto #medsos

Sebuah kiriman dibagikan oleh Joseph Marijanto (@josephmarijanto) pada

Untuk mengenali seseorang apakah mengalami parasosial atau tidak, menurut Sandi, perlu dilakukan tes terfokus. Sandi mengatakan, bisa jadi Siti yang mengidolakan G-Dragon hanya fan biasa.

“Namun untuk tahapan awal, biasanya si penggemar sering berkomentar ketika menonton idolanya,” tuturnya.

Bagi Sandi, fan hanya orang yang sekadar menyukai idolanya dan ingin dekat. Sedangkan parasosial merupakan tingkatan lanjut, di mana individu merasa dekat dan seakan-akan bisa berbicara dengan idolanya.

Sementara menurut Dimas Aldi Saifuddin, fan adalah bagian dari interaksi parasosial. Ia mengatakan, kasus Siti termasuk ke dalam interaksi parasosial, yang masuk kategori intense parasocial feeling. Dimas menyimpulkan, dalam tahap ini, seseorang masih tergolong normal.

Dimas mengatakan, parasosial bisa berdampak buruk, ketika individu tak lagi memiliki hubungan sosial dengan sekitarnya. Dan, seolah-olah merasa tidak lagi membutuhkan orang lain di kehidupannya.

“Jadi dia menganggap itu sebagai hubungan sosial utamanya, seolah-olah dia tidak membutuhkan orang lain. Itu yang berbahaya,” ucapnya.

Hal serupa juga disampaikan Sandi. Seseorang dengan gejala parasosial tidak berbahaya, selama tidak mengganggu kehidupan sosialnya.

“Namun, bila kehidupan nyata, hubungan dengan keluarga, kerabat, tetangga menjadi jauh maka bisa jadi berbahaya,” tuturnya.

Di sisi lain, psikolog Kasandra Putranto menuturkan, seseorang yang mengalami kondisi parasosial akut memiliki dampak buruk bagi kesehatan si penggemar. Ia bisa mengalami insomnia.

“Kerjaannya mantengin tayangan artis terus,” katanya saat dihubungi, Kamis (14/3).

Untuk kasus ekstrem, orang dengan gejala parasosial, menurut Dimas Aldi, dicontohkan dengan penggemar yang sampai menguntit idolanya ke rumahnya dan rela melanggar norma hukum yang berlaku.

“Beberapa contoh kasus ada di Korea (penggemar K-pop) di mana rumahnya dimasuki penggemar atau seperti penembakan John Lennon yang dilakukan oleh fannya itu. Nah, ini mungkin baru kelainan mental,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid