sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perang yang gamang terhadap para pembajak buku

Pembajakan buku menghantui penulis, penerbit dan pekerja perbukuan. Pembajakan dilakukan terang-terangan. Kini merambah pula ke online.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Selasa, 23 Apr 2019 21:37 WIB
Perang yang gamang terhadap para pembajak buku

Agar jera, bagaimana?

Muhidin M Dahlan menuturkan, pembajakan sudah lama terjadi di Indonesia. Hanya, katanya, saat ini pembajakan dilakukan terang-terangan dengan kualitas yang sangat buruk.

Penulis novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelcur (2006) ini mengatakan, hukum harus ditegakkan untuk menciptakan efek jera kepada pembajak. Menurutnya, hal ini hanya bisa dilakukan bila ada tekanan kuat dari para pihak yang berkepentingan, terutama penerbit.

“Jika dibiarkan, pembajak merasa perbuatan mereka normal dan halal dalam praktik ekonomi buku,” katanya.

Muhidin menjelaskan, sebenarnya lapor-melapor sudah sering dilakukan penerbit skala kecil maupun besar. Namun, memang belum membuahkan hasil. “Beberapa penerbit besar sudah melaporkan ke polisi. Beberapa kali digerebek, tetapi lagi dan lagi muncul (pembajakan),” kata dia.

Namun, menurutnya, laporan ini masih bersifat parsial. Belum masif seluruh penerbit. Tak adanya perlawanan yang masif, kata dia, karena penerbit tak punya wadah yang efektif.

“Terutama di Yogyakarta, IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) Yogyakarta tak hanya vakum, tapi komplikasi strok, kanker, jantung, diabetes. Mati belum, tapi hidup juga sudah enggak ada guna,” tuturnya.

Sementara itu, Udin mengatakan, untuk mengatasi maraknya pembajakan buku, harus ada kerja sama dari berbagai pihak. Mulai dari penerbit, penulis, hingga perangkat hukum.

Sponsored

“Kita punya perangkat hukum yang mengatur soal ini, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,” katanya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pasal 113 mengenai ketentuan pidana, pembajak buku dapat dipidana paling lama 10 tahun kurungan penjara dan denda maksimal Rp4 miliar.

Hanya, kata Udin, lantaran delik aduan, maka yang seharusnya melaporkan pembajak adalah penerbit langsung. Namun, ia mengaku tidak tahu pasti bagaimana praktiknya di lapangan.

Nursam pun mengatakan hal serupa. Menurutnya, yang bisa mendorong persoalan ini agar dapat ditangani secara serius adalah dengan bersatunya penerbit yang tergabung dalam IKAPI.

“Harusnya IKAPI dan penerbit-penerbit yang bersatu melawan ini. Tapi sampai sekarang belum ada saya lihat,” kata Nursam.

Meski begitu, Nursam mengaku belum pernah menempuh jalur hukum. Saat ini, tindakan yang diambil Nursam hanya sebatas mengingatkan para penjual untuk tidak lagi menjual buku-buku bajakan.

Pengunjung membaca buku yang dijual saat bazar buku di Bentara Budaya Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (1/4). /Antara Foto.

Hukum yang gamang

Menanggapi masalah ini, pembina Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) Henry Sulistyo mengatakan, proses hukum untuk kasus pembajakan buku sama dengan pelanggaran hak cipta lainnya, seperti musik dan film. Akan tetapi, yang harus melaporkan dan membuat aduan ke polisi harus penerbit atau penulis langsung.

"Jika pun ada pembeli atau orang yang merasa dirugikan dengan buku bajakan dia tidak dapat melaporkan," katanya saat dihubungi, Selasa (23/4).

Namun, Henry melihat, dalam penindakan hukum, ada perbedaan antara kasus pembajakan film dan musik dengan kasus pembajakan buku. Menurutnya, buku menjadi satu perangkat untuk mencerdasakan kehidupan bangsa dan dijamin dalam konstitusi. Sementara film dan musik tidak.

"Itu kenapa menurut saya untuk kasus pembajakan buku pemerintah tidak bisa terlalu keras dan tegas dalam penanganannya," ujarnya.

Buku bajakan kini banyak dijual di dunia maya.

Ia melanjutkan, di satu sisi pemerintah harus melindungi hak cipta dan kekayaan intelektual sesuai dengan undang-undang yang berlaku, tetapi di sisi lain juga memiliki amanat konstitusi yang harus dijalankan.

"Selama pemerintah belum mampu menyediakan buku murah bagi warganya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan merata di seluruh daerah, pemerintah akan terus main mata dalam penindakannya," kata Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum ini.

Berita Lainnya
×
tekid