sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perang yang gamang terhadap para pembajak buku

Pembajakan buku menghantui penulis, penerbit dan pekerja perbukuan. Pembajakan dilakukan terang-terangan. Kini merambah pula ke online.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Selasa, 23 Apr 2019 21:37 WIB
Perang yang gamang terhadap para pembajak buku

Penulis buku fiksi Boy Candra mengeluh. Hampir seluruh buku yang ditulisnya sudah dibajak. Ia mengisahkan, ketika mengadakan diskusi bukunya, seorang peserta diskusi membawa buku bajakan karyanya untuk ditanda tangani.

“Dari sebelas buku yang dibawa, itu bajakan semua. Tapi saya enggak bilang, karena di depan umum nanti dia malu. Tetap saya tanda tangan, tapi acak-acakan,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (23/4).

Boy mengaku tidak tahu bagaimana alur pembajakan bisa terjadi. Ia menceritakan, bahkan untuk bukunya yang masih dalam tahapan pre order pun sudah beredar bajakannya.

“Saya enggak tahu bolongnya di mana, entah dari penerbit atau di mana. Belum juga resmi beredar, bajakannya sudah lebih dulu (dijual),” tutur penulis yang sudah menerbitkan 15 judul buku.

Pembajak mencari pembenaran

Tak hanya bagi penulis seperti Boy, pembajakan buku pun menghantui para pekerja perbukuan di Indonesia. Bahkan, buku bajakan bukan lagi bisa ditemui di toko-toko buku offline, tetapi merambah juga ke dunia maya, melalui situs marketplace dan media sosial.

Pemilik penerbit buku Ombak, Yogyakarta, Muhammad Nursam mengatakan, pembajakan buku sudah sampai pada tahap terang-terangan. Pelakunya tak malu-malu menjual buku bajakan di toko buku offline maupun secara online.

“Kalau kita lihat di marketplce besar, kita akan banyak menemukan buku-buku bajakan ini,” katanya saat dihubungi, Selasa (23/4).

Ia menuturkan, buku-buku yang asli tapi palsu ini bukan hanya buku-buku yang sudah tidak terbit, tetapi juga buku-buku baru dan banyak peminatnya. Bahkan, katanya, buku yang baru terbit selama dua minggu pun telah beredar bajakannya.

“Pembajakan buku di Indonesia sudah semakin menggurita dan sangat merugikan penulis dan penerbit,” ujarnya.

Ia mengatakan, hampir semua buku terbitan Ombak, mulai dari buku-buku sejarah hingga teks perguruan tinggi, telah dibajak. Nursam mengatakan, yang paling banyak dibajak adalah Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Francisco Rodrigues (2014) karya Tome Pires. Harga jual bajakannya Rp40.000, sangat jauh dari harga aslinya, yakni Rp200.000.

Dihubungi terpisah, Udin Choirudin, editor di penerbit buku Insist Press pun mengeluhkan hal yang sama. Ia mengatakan, buku lama tapi laku, seperti Sekolah itu Candu karya Roem Topatimasang yang diterbitkan Insist Press bahkan sudah sejak lama dibajak dan mudah ditemukan di toko buku offline maupun online.

Buku itu kali pertama terbit pada 1998. Kemudian diterbitkan ulang pada 2007, 2010, dan 2013.

Menurut Udin, buku baru seperti Sekolah Biasa Saja (2018) karya Toto Rahardjo pun dijual dengan embel-embel “KW” dan “premium” di situs-situs marketplace dan media sosial.

Lebih lanjut, Udin mengatakan, maraknya pembajakan buku terjadi karena alasan-alasan klasik yang terus dicari pembenarannya. “Kan alasannya selalu soal harga buku yang mahal, terus akses buku yang jauh, karena di daerah,” kata Udin saat dihubungi, Selasa (23/4).

Menurutnya, selama ini yang menjadi diskusi di kalangan internal penerbitannya adalah menganggap bahwa orang-orang yang menjual buku bajakan hanya sekedar mencari rezeki dari bisnisnya.

“Ya sudah akhirnya hanya menjadi rasan-rasan (gerutu) di internal aja,” katanya.

Udin mengaku tak tahu pasti berapa angka nominal hasil pembajakan buku-buku yang diterbitkan Insist Press. Untuk mengetahuinya, harus dilakukan riset tersendiri.

“Tapi siapa tahu juga yang melakukan pembajakan ternyata lebih kaya dibandingkan penerbit aslinya,” ucapnya.

Semua rugi, kecuali pembajak

Pengunjung memilih buku pada Festival Sejuta Buku Jateng di Gedung Wanita Semarang, Jawa Tengah, Kamis (4/4). /Antara Foto.

Nursam mengeluh, lantaran pembajakan buku-buku terbitan Ombak, omzet penjualan penerbitan miliknya turun hingga separuhnya, dalam dua tahun terakhir.

Sementara menurut Boy Candra, yang harus diperhatikan para pembajak ialah setiap terbitnya sebuah buku ada rantai produksi, melibatkan banyak orang. Mulai dari penulis, perancang sampul, penata letak, hingga pekerja buku lainnya.

“Menurut saya penerbit dan orang-orang yang menggantungkan hidupnya sepenuhnya dari buku itu yang paling dirugikan dengan pembajakan ini,” ujarnya.

Sedangkan Udin mengatakan, para pelaku pembajakan harus paham, dalam proses produksi sebuah buku, melibatkan banyak pihak. Ada ongkos produksi, royalti penulis, serta potongan dari penerbit dan distributor.

“Kalau dikalkulasi sebenarnya keuntungannya kecil,” katanya.

Hal senada disampaikan arsiparis Warung Arsip dan Radio Buku, Muhidin M Dahlan. Ia mengatakan, dampak yang paling terasa dari aksi pembajakan buku bagi penulis dan penerbit adalah kekecewaan yang berdampak pada turunnya produktivitas.

“Dampak pembajakan bagi penulis, terutama yang hidup dari royalti buku, pertama-tama bete, lalu mental drop, lalu malas datang (ke even buku), lalu trauma dengan dunia penulisan buku,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (23/4).

Meski merasa jengkel, Boy tak pernah menempuh jalur hukum untuk para pembajak bukunya. Penulis asal Sumatera Barat ini mengatakan, pembajakan terjadi karena ketidaktahuan atas penghargaan terhadap hak cipta dan kekayaan intelektual.

Menurut penulis Setelah Hujan Reda (2014), Catatan Pendek untuk Cinta yang Panjang (2015), dan Senja, Hujan, dan Cerita yang Telah Usai (2015) ini mengatakan, cara paling ampuh mengatasi pembajakan adalah mengedukasi publik.

“Yang bisa saya lakukan hanya dengan mengedukasi mereka dari sosial media saya,” katanya.

Agar jera, bagaimana?

Muhidin M Dahlan menuturkan, pembajakan sudah lama terjadi di Indonesia. Hanya, katanya, saat ini pembajakan dilakukan terang-terangan dengan kualitas yang sangat buruk.

Penulis novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelcur (2006) ini mengatakan, hukum harus ditegakkan untuk menciptakan efek jera kepada pembajak. Menurutnya, hal ini hanya bisa dilakukan bila ada tekanan kuat dari para pihak yang berkepentingan, terutama penerbit.

“Jika dibiarkan, pembajak merasa perbuatan mereka normal dan halal dalam praktik ekonomi buku,” katanya.

Muhidin menjelaskan, sebenarnya lapor-melapor sudah sering dilakukan penerbit skala kecil maupun besar. Namun, memang belum membuahkan hasil. “Beberapa penerbit besar sudah melaporkan ke polisi. Beberapa kali digerebek, tetapi lagi dan lagi muncul (pembajakan),” kata dia.

Namun, menurutnya, laporan ini masih bersifat parsial. Belum masif seluruh penerbit. Tak adanya perlawanan yang masif, kata dia, karena penerbit tak punya wadah yang efektif.

“Terutama di Yogyakarta, IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) Yogyakarta tak hanya vakum, tapi komplikasi strok, kanker, jantung, diabetes. Mati belum, tapi hidup juga sudah enggak ada guna,” tuturnya.

Sementara itu, Udin mengatakan, untuk mengatasi maraknya pembajakan buku, harus ada kerja sama dari berbagai pihak. Mulai dari penerbit, penulis, hingga perangkat hukum.

“Kita punya perangkat hukum yang mengatur soal ini, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,” katanya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pasal 113 mengenai ketentuan pidana, pembajak buku dapat dipidana paling lama 10 tahun kurungan penjara dan denda maksimal Rp4 miliar.

Hanya, kata Udin, lantaran delik aduan, maka yang seharusnya melaporkan pembajak adalah penerbit langsung. Namun, ia mengaku tidak tahu pasti bagaimana praktiknya di lapangan.

Nursam pun mengatakan hal serupa. Menurutnya, yang bisa mendorong persoalan ini agar dapat ditangani secara serius adalah dengan bersatunya penerbit yang tergabung dalam IKAPI.

“Harusnya IKAPI dan penerbit-penerbit yang bersatu melawan ini. Tapi sampai sekarang belum ada saya lihat,” kata Nursam.

Meski begitu, Nursam mengaku belum pernah menempuh jalur hukum. Saat ini, tindakan yang diambil Nursam hanya sebatas mengingatkan para penjual untuk tidak lagi menjual buku-buku bajakan.

Pengunjung membaca buku yang dijual saat bazar buku di Bentara Budaya Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (1/4). /Antara Foto.

Hukum yang gamang

Menanggapi masalah ini, pembina Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) Henry Sulistyo mengatakan, proses hukum untuk kasus pembajakan buku sama dengan pelanggaran hak cipta lainnya, seperti musik dan film. Akan tetapi, yang harus melaporkan dan membuat aduan ke polisi harus penerbit atau penulis langsung.

"Jika pun ada pembeli atau orang yang merasa dirugikan dengan buku bajakan dia tidak dapat melaporkan," katanya saat dihubungi, Selasa (23/4).

Namun, Henry melihat, dalam penindakan hukum, ada perbedaan antara kasus pembajakan film dan musik dengan kasus pembajakan buku. Menurutnya, buku menjadi satu perangkat untuk mencerdasakan kehidupan bangsa dan dijamin dalam konstitusi. Sementara film dan musik tidak.

"Itu kenapa menurut saya untuk kasus pembajakan buku pemerintah tidak bisa terlalu keras dan tegas dalam penanganannya," ujarnya.

Buku bajakan kini banyak dijual di dunia maya.

Ia melanjutkan, di satu sisi pemerintah harus melindungi hak cipta dan kekayaan intelektual sesuai dengan undang-undang yang berlaku, tetapi di sisi lain juga memiliki amanat konstitusi yang harus dijalankan.

"Selama pemerintah belum mampu menyediakan buku murah bagi warganya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan merata di seluruh daerah, pemerintah akan terus main mata dalam penindakannya," kata Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum ini.

Berita Lainnya
×
tekid