sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Saat kematian manusia bisa diprediksi AI

Baru-baru ini terbit riset terkait model artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang bisa memprediksi kematian seseorang.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Minggu, 24 Des 2023 06:21 WIB
Saat kematian manusia bisa diprediksi AI

Sejak popularitas ChatGPT—kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang bekerja dengan format percakapan—mengemuka sekitar setahun lalu, muncul banyak diskusi terkait penggunaan AI di dunia akademis, layanan kesehatan, bahkan kehidupan sehari-hari. Segala manfaat dan potensi permasalahan etika pun timbul. Baru-baru ini, penelitian teranyar bakal membuka pintu lain soal potensi AI dalam memprediksi waktu kematian manusia.

Riset yang dikerjakan delapan peneliti itu—antara lain Germans Savcisens, Tina Eliassi-Rad, Lars Kai Hansen, Laust Hvas Mortensen, Lau Lilleholt, Anna Rogers, Ingo Zettler, dan Sune Lehmann dari Technical University of Denmark, Northeastern University, dan University of Copenhagen—bertajuk “Using sequences of life-events to predict human lives”, terbit di Nature Computational Science (Desember, 2023).

Dikutip dari New York Post, para periset meneliti populasi subjek yang heterogen sebanyak enam juta orang Denmark, dengan jenis kelamin dan usia bervariasi antara tahun 2008 dan 2020.

Dilansir dari the Independent, peserta penelitian adalah mereka yang berusia 35 hingga 65 tahun. “Setengah dari mereka meninggal antara tahun 2016 dan 2020,” tulis the Independent.

AI meramal kematian dan risikonya

Para peneliti menggunakan algoritma yang disebut life2vec untuk menemukan subjek mana yang kemungkinan akan hidup, setidaknya empat tahun setelah 1 Januari 2016. Life2vec, tulis the Independent, merupakan teknologi yang mampu melatih model bahasa besar, mengubah kumpulan data menjadi kata-kata. Informasi yang dikumpulkan, antara lain pendidikan, kunjungan ke dokter dan rumah sakit, hasil diagnosis, pendapatan, dan pekerjaan.

Laporan itu menyebut, skala kumpulan data memungkinkan para peneliti membangun representasi tingkat urutan lintasan kehidupan individu manusia, yang merinci bagaimana setiap orang bergerak sepanjang waktu.

“Mereka (para peneliti) menemukan bahwa prediksinya 11% lebih akurat dibandingkan model AI lain yang ada, atau metode yang digunakan perusahaan asuransi jiwa untuk menentukan harga polis,” tulis the Independent.

Sponsored

Para peneliti, dilansir dari New York Post, memberikan informasi khusus AI pada setiap peserta penelitian, dengan menggunakan bahasa sederhana. Mereka kemudian menetapkan token digital yang berbeda untuk setiap bagian data, yang semuanya dikategorikan secara spesifik. Misalnya, patah tulang lengan bawah direpresentasikan sebagai S52.

“Dengan menggunakan informasi yang diberikan, life2vec memperkirakan dengan sempurna siapa saja yang meninggal pada 2020, lebih dari tiga perempatnya,” tulis New York Post.

Disebutkan the Independent, para peneliti menemukan, individu yang berada dalam posisi kepemimpinan atau berpenghasilan tinggi mungkin hidup lebih lama. Sedangkan mereka yang berjenis kelamin laki-laki, memiliki keterampilan, atau punya diagnosis kesehatan mental dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi.

“Kami menggunakan teknologi di balik ChatGPT—disebut model transformator—untuk menganalisis kehidupan manusia, dengan merepresentasikan setiap orang sebagai rangkaian peristiwa yang terjadi dalam hidup mereka,” kata salah seorang peneliti, Sune Lehmann kepada New York Post.

Life2vec dimanfaatkan untuk menentukan angka harapan hidup seseorang, dengan akurasi 78%. Sedikit berbeda dengan ChatGPT, life2vec mampu menghitung usia kehidupan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, dengan memeriksa masa lalu mereka secara cermat.

“Model ini dapat memprediksi hampir semua hal,” ujar Lehmann. “Kami memprediksi kematian karena hal ini merupakan sesuatu yang telah dilakukan orang selama bertahun-tahun—misalnya, perusahaan asuransi.”

Meski begitu, Lehmann menekankan, tak ada peserta penelitian yang diberi tahu prediksi kematiannya. Privasi mereka yang terlibat dalam penelitian juga dijaga.

‘”Prediksi tersebut tidak digunakan untuk apa pun,” ujar Lehmann. “Inti dari life2vec adalah memahami apa yang mungkin dan tidak mungkin untuk diprediksi.”

Para ilmuan, seperti dikutip dari the Independent, juga mengingatkan model tersebut tak boleh digunakan perusahaan asuransi jiwa karena alasan etika. Selain itu, mereka menyebut, ada masaah etika lain seputar penggunaan life2vec, yakni perlindungan data pribadi, privasi, dan peran bias dalam data.

Menanggapi riset tersebut, psikolog klinis dan penulis buku Detox Your Thoughts: Quit Negative Self-Talk for Good and Discover the Life You’ve Always Wanted, Anrea Bonior menulis di Psychology Today, gagasan menggunakan karakteristik demografi dan kesehatan untuk memprediksi kematian bukanlah hal baru. Menurutnya, aktuaris asuransi telah melakukan hal itu selama beberapa dekade.

“Dan terdapat pemahaman yang kuat dalam penelitian kesehatan mental dan fisik bahwa faktor demografi memiliki pengaruh yang besar terhadap diagnosis kesehatan,” tulis Bonior.

“Hal-hal seperti gender, status pekerjaan, tingkat pendidikan, dan adanya berbagai diagnosis, secara statistik memengaruhi kemungkinan kematian dini.”

Namun demikian, Bonior mengakui, model AI terbaru itu lebih unggul dibanding model prediksi yang sudah ada. Ia menyebut, kesimpulan soal rentang usia saat kematian menunjukkan peningkatan akurasi dibandingkan dengan model apa pun yang sudah digunakan sebelumnya.

“Dan menunjukkan kemampuan yang secara umum kuat untuk menggunakan peristiwa masa lalu sebagai prediktor peristiwa masa depan,” kata Bonior.

Di sisi lain, Bonior khawatir, model AI ini bisa mengembangkan bias yang sangat mirip dengan manusia. Ia juga mengingatkan soal pelanggaran privasi terhadap informasi kesehatan. “Jika suatu peristiwa dalam hidup, atau yang lebih mengerikan lagi, tanggal kematian kita dapat diprediksi dengan semakin akurat, apakah itu sesuatu yang ingin kita ketahui?” tutur Bonior.

“Dan jika AI disempurnakan sampai pada titik di mana ia benar-benar dapat melihat masa depan dengan keandalan luar biasa, bagaimana hal itu akan mengubah cara kita berpikir tentang kehidupan dan otonomi kita di dalamnya?”

Sebelumnya, ada pula prediksi kematian yang memanfaatkan AI. Usaha itu dilakukan tim di OSF HealthCare di Illinois, Amerika Serikat yang menggunakan model AI untuk membantu dokter menemukan pasien mana yang punya peluang lebih tinggi untuk meninggal selama mereka dirawat di rumah sakit. Tujuannya, seperti dikutip dari Fox Newsagar para dokter dapat melakukan diskusi perencanaan perawatan lanjutan, terutama saat-saat akhir hidup pasien.

Penelitian itu diterbitkan dalam Journal of Medical Systems (Juli, 2023). Model AI diuji pada kumpulan data lebih dari 75.000 pasien dari berbagai ras, etnis, jenis kelamin, dan faktor sosial-ekonomi. Riset itu menemukan, di antara semua pasien, angka kematian adalah satu dari 12 orang.

“Namun, bagi mereka yang ditandai oleh model AI sebagai orang yang lebih mungkin meninggal selama dirawat di rumah sakit, angka kematiannya meningkat menjadi satu dari empat-tiga kali lebih tinggi dari rata-rata,” tulis Fox News.

Tim peneliti mengembangkan model AI, yang dirancang untuk memprediksi risiko kematian pasien dalam waktu lima hingga 90 hari setelah masuk rumah sakit. Model tersebut sudah diuji sebelum dan selama pandemi Covid-19. Prediktor kematian pasien dilatih pada 13 jenis informasi pasien yang berbeda.

“Itu termasuk tren klinis, seperti bagaimana organ pasien berfungsi, seberapa sering mereka mengunjungi sistem layanan kesehatan, intensitas kunjungan tersebut, dan informasi lain seperti usia mereka,” kata salah seorang peneliti, Johathan Handler kepada Fox News.

“Kemudian kecerdasan buatan menggunakan informasi tersebut untuk membuat prediksi tentang kemungkinan pasien akan meninggal dalam lima hingga 90 hari ke depan.”

Akan tetapi, seorang dokter pengobatan darurat di Dallas, Harvey Castro mengingatkan, model itu punya beberapa risiko. Di samping masalah data pribadi, bias, dan ketergantungan yang berlebihan pada AI, Castro mengingatkan potensi positif palsu.

“Jika model AI salah dalam memprediksi risiko kematian yang tinggi pada pasien yang sebenarnya tidak berisiko, hal ini dapat menimbulkan tekanan yang tak perlu bagi pasien dan keluarganya,” ujar Castro kepada Fox News.

Berita Lainnya
×
tekid