Kantor bukan hanya tempat kerja. Bagi sebagian orang, di sinilah cinta bermula—dan kadang, berakhir dengan luka. Entah karena kenyamanan, kedekatan, atau waktu yang terlalu sempit untuk bertemu orang di luar jam kerja, romansa di tempat kerja tetap menjadi fenomena yang tak kunjung usang. Skandal CEO Astronomer baru-baru ini hanya memperkuat satu hal: cinta di tempat kerja masih jadi topik hangat yang tak bisa diabaikan.
Budaya pop sudah lama menjadikannya bumbu cerita. Dari Jim dan Pam di The Office, sampai Mulder dan Scully di The X-Files, romansa antar rekan kerja sering dibingkai sebagai sesuatu yang manis, lucu, dan kadang menggemaskan. Tapi kehidupan nyata? Jauh lebih kompleks.
Sebuah survei dari Society for Human Resource Management (SHRM) pada 2024 menunjukkan bahwa sepertiga pekerja Amerika pernah menjalin hubungan asmara di kantor. Angka ini naik dari 27 persen sebelum pandemi. Dan yang menarik, mayoritas pekerja kini mengaku santai saja dengan rekan kerja yang berpacaran.
Tapi di balik semua itu, ada dinamika yang tidak bisa diabaikan. Cinta yang tumbuh di ruang rapat atau lewat percakapan singkat saat lembur bisa saja berubah menjadi drama yang pelik. Karena ketika dua orang yang terlibat dalam pekerjaan yang sama menjalin hubungan, batas antara profesionalisme dan perasaan pribadi jadi makin kabur.
Banyak yang mengaku cinta tumbuh dari kebiasaan sederhana: bertemu tiap hari, berbagi stres menghadapi klien, saling mendengarkan curhatan saat istirahat makan siang. Sekitar 65 persen pekerja menyebut kenyamanan sebagai alasan utama mereka menjalin asmara dengan rekan kerja. Sementara itu, 61 persen mengaku tidak punya cukup waktu untuk membangun hubungan di luar jam kerja. Tak heran jika hubungan profesional akhirnya bertransformasi menjadi hubungan personal.
Tapi kantor bukan sekadar tempat ketemu jodoh. Dalam banyak kasus, ia juga menjadi tempat awal dari perselingkuhan. Good Therapy menyebut bahwa 85 persen perselingkuhan dimulai di tempat kerja. Dan jangan salah sangka—bukan hanya staf junior yang terlibat. Data SHRM menunjukkan bahwa hampir 40 persen perselingkuhan melibatkan eksekutif atau pemilik perusahaan.
Soal apakah hubungan ini harus dilaporkan ke bagian SDM atau tidak, banyak yang memilih diam. Alasannya? Takut jadi bahan gosip, takut dihukum, atau karena memang tak tahu harus mulai dari mana. Bayangkan saja: apakah satu kali makan malam sudah pantas jadi laporan resmi? Atau apakah mereka yang berselingkuh harus jujur ke HR dulu sebelum jujur pada pasangan mereka? Semua ini masih jadi wilayah abu-abu.
Konsekuensinya tidak main-main. Lebih dari separuh orang yang terlibat asmara di kantor mengaku produktivitas mereka terganggu. Beberapa bahkan kehilangan keseimbangan hidup karena harus menyelipkan konflik pribadi di antara jadwal kerja yang padat. Ada pula yang merasa dikucilkan rekan kerja, atau malah pindah kerja demi mengejar—atau kabur dari—pasangan kerjanya. Tapi ada juga yang berakhir manis: 43 persen dari mereka akhirnya menikah dengan pasangan yang mereka temui di tempat kerja.
Namun ketika hubungan itu retak, dampaknya bisa sangat personal. Lebih dari 50 persen pekerja mengatakan bahwa berkencan di kantor mengubah cara mereka melihat diri sendiri. Mereka tak lagi dikenali karena prestasi atau keahlian, tapi karena “si pacarnya siapa”. Ini bisa terasa sangat menekan, apalagi bagi perempuan yang bekerja di bidang yang didominasi laki-laki.
Meski begitu, tak semua kisah cinta di kantor harus berakhir buruk. Faktanya, Anda dua kali lebih mungkin menikah dengan rekan kerja dibandingkan dengan seseorang yang Anda temui lewat aplikasi kencan. Kuncinya? Kejelasan dan kedewasaan. Jika dijalani dengan komunikasi yang jujur, batas yang sehat, dan rasa hormat terhadap etika profesional, hubungan ini tetap bisa tumbuh tanpa harus menghancurkan karier.
Perusahaan pun sebaiknya tak berpura-pura bahwa cinta di tempat kerja tak pernah terjadi. Justru, mereka perlu membuat kebijakan yang jelas: bagaimana cara mengungkapkan hubungan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, bagaimana menyikapi isu favoritisme, hingga menyediakan ruang aman seperti konseling jika hubungan itu berdampak negatif.
Pada akhirnya, jatuh cinta memang hak semua orang—bahkan di dalam gedung kantor. Tapi siapa pun yang memulainya harus sadar, di dunia kerja, cinta itu mungkin bersifat pribadi, tapi konsekuensinya hampir selalu bersifat publik.(gulftoday)