sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Lucinta hingga Syahrini: Sensasi lebai selebritas dan topeng ‘palsu’ warganet

Selebritas Lucinta Luna hingga Syahrini kerap mengumbar sensasi seperti yang dilakukan warganet di media sosial. Apa tujuannya?

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Minggu, 01 Mar 2020 20:54 WIB
Lucinta hingga Syahrini: Sensasi lebai selebritas dan topeng ‘palsu’ warganet

Selebritas Lucinta Luna kembali menjadi sorotan usai ditangkap Satnarkoba Polres Jakarta Barat. Artis yang dikenal kontroversial ini pernah meramaikan jagat maya usai foto KTP-nya bernama lengkap Muhammad Fatah beredar.

Lucinta Luna pun pernah menggegerkan warganet dengan unggahan foto tengah berbadan dua dan pernikahannya dengan kekasih bule asal Filipina. Ia juga memiliki rekam jejak pertikaian dengan selebgram maupun sesama selebritas seperti, Raffi Ahmad, Barbie Kumalasari, hingga Deddy Corbuzier.

Lain cerita dengan Vicky Prasetyo yang terkenal berkat kasus penipuan yang menyeret pedangdut Zaskia Gotik. Uniknya, setelah bebas dari penjara, ia malah semakin eksis di dunia hiburan Tanah Air dengan gaya berbahasanya yang nyeleneh. Pria bernama asli Hendrianto ini kerap menebar kontroversi dengan memamerkan hubungan asmaranya bersama puluhan wanita, yang di antaranya disebut-sebut dibuat-buat alias settingan.

Lain lagi dengan Syahrini yang terkenal gemar mempertontonkan koleksi mobil mewah, barang-barang bermerek, naik jet pribadi, hingga liburan keliling dunia. Fenomena selebritas pamer kekayaan pun pernah heboh di akun YouTube Uya Kuya. Di situ, Barbie Kumalasari, Nikita Mirzani, Ria Ricis, Billy Saputra dan Raffi Ahmad pamer isi saldo ATM.

Para bintang itu sering pula membuat pernyataan, hingga sikap berlebihan. Namun, saat mereka semakin berlebihan, pundi-pundi uang pun mengalir kian deras.

Selebritas Lucinta Luna mengunggah foto pernikahan dengan pria asal Filipina yang belakangan disebut sebuah settingan. / Instagram @lucintaluna

Sensasi artis

Menanggapi hal itu, Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro menilai, sensasi bisa mengatrol popularitas dan ampuh menaikkan rating acara televisi. Sensasi pun dapat menaikkan nilai jual sang bintang agar bisa laku kembali.

Sponsored

Bagi selebritas yang dianggap nirbakat dan nirkarya, penonton bisa tertarik dengan sensasi, bisa berupa berbagai hal yang dipamerkan di media sosial. Sebab, kata dia, pesohor akan dikagumi bila memiliki sesuatu yang tidak dimiliki penggemarnya.

Penulis buku Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayah (2018) Idhar Resmadi mengungkapkan, sensasi telah menonjol dalam geliat industri hiburan Tanah Air sejak 1970-an. Usai rezim Orde Lama tumbang, siaran media terkait hiburan yang semula bermuatan propaganda budaya, mulai terasuki pengaruh Barat. Band dan pementasan musik rock eksis di berbagai kota di Indonesia dengan turut menyajikan aksi tetrikal yang sensasional.

Misalnya, Band AKA dan Godbless yang membawa peti mati ke panggung, Rawe Rontek menancapkan paku dan peniti terbakar, serta Micky Jaguar yang menyembelih dan meminum darah kelinci. Aksi panggung grup musik gantung diri atau gitaris banting gitar, juga memancing pemberitaan sensasional yang pada gilirannya semakin menggeser ke sensasi di luar panggung. 

“Yang paling sensasional sih Ucok AKA. Sampai sekarang kalau orang mengenal AKA ya sensasinya tadi,” ujar Idhar saat dihubungi Alinea.id, Minggu (1/3).

Bahkan, berita gosip telah terselip dalam berbagai media bergenre musik. Misalnya, majalah Aktuil telah menyajikan gosip pacaran vokalis-musisi, serta konflik antar aktor, band, genre lagu, hingga partai politik. Padahal, pendahulunya majalah musik Diskoria hanya menyajikan murni informasi musik, seperti chord gitar. 

“Benny Soebardja (rocker) lawan Rhoma Irama (pedangut dan juru kampanye PPP) itu sensasi yang di-blow up terus atau Micky Jaguar yang menjalin kasih,” ucapnya.

Penggemar pastinya penasaran dan menyukai sajian informasi terkait idolanya, sehingga wajar sensasi dan gosip direproduksi untuk konsumsi publik. Meski di era 1970-an, gosip dan sensasi telah melekat, tetapi kualitas karya terjaga karena kritik musik masih cukup kuat. 

Idhar menjelaskan, pengaruh perkembangan teknologi media dan infrastruktur musik telah menuntut industri hiburan turut memunculkan sensasi agar bisa laku (bertahan) karena tetap ramai diperbincangkan.

Sepak terjang vokalis-musisi atau selebritas di luar panggung semakin diperhitungkan di era digital. “Sekarang era yang mana tiap menit dan detik saya bisa melihat musisi favorit saya sedang ngapain. Tinggal buka Instagram. Beda dengan dulu, kita tidak tahu, misalnya vokalis Koes Plus sedang apa,” ujar Idhar.

Selebritas Syahrini kerap mengunggah aktivitas mewah, termasuk saat dia di Jepang setelah mengendarai helikopter. / Instagram @princessyahrini

Menular ke warganet

Pada kenyataannya, mencari sensasi dengan hal berlebihan yang tidak sesuai kondisi sebenarnya juga kerap dilakukan warganet. Koentjoro menilai, perilaku warganet mengunggah foto dan video di media sosial yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya, meniru selebritas sebagai role model.

Fungsi rekreasi sebagai wisata untuk melepas penat bergeser menjadi sarana eksistensi. “Mereka pergi kemana-mana untuk memotret dan membuat video agar bisa dipamerkan di media sosial. Jadi, tidak ada bedanya, manusia dan anjing. Anjing itu di mana-mana kencing, itu menandakan bahwa itu wilayah jajahannya,” ujar Koentjoro saat dihubungi secara terpisah, Kamis (27/2).

Menurutnya, hal itu bukanlah gangguan kejiwaan, tetapi justru terkait gaya hidup pamer untuk mencari sensasi. Warganet senang menikmati drama di media sosial yang bisa membakar emosi. Fenomena pamer di media sosial merupakan kesombongan untuk kepuasaan diri, bagian dari mekanisme pertahanan diri, dan kebutuhan untuk diakui.

Pamer hal yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya di media sosial juga berguna untuk meningkatkan kepercayaan diri. Semakin kurang percaya diri, maka bingkai di media sosial akan kian hebat atau berlebihan.

Bahkan, selebritas membutuhkannya meski telah memiliki kepercayaan diri. Sebab, harus tampil di depan publik. “Makanya, (mereka) menunjukkan identitas dan kehebatannya dari banyak segi. Memamerkan gonta-ganti pacar juga bisa disebut bagian dari (merawat) eksistensinya,” ucapnya.

Koentjoro menjelaskan, media sosial telah memfasilitasi apa yang disebutnya sebagai kegiatan prank – yang tidak sesuai dengan kebiasaan dan kesehariannya. Media sosial turut pula memfasilitasi kegiatan untuk memperkenalkan diri karena bisa dilihat oleh banyak orang.

“Jadi, media sosial itu bisa juga digunakan untuk mengenalkan siapa saya. Siapa saya adalah siapa yang bisa dilihat, yang bisa dimonitor melalui media sosial, tetapi yang sesuai kondisi sebenarnya tidak tahu,” tuturnya.

Ia mengingatkan, bahwa pada gilirannya hal itu bisa menyebabkan problematika karena merangsang orang lain untuk berekspektasi. Dan, setiap anggapan orang lain melekat tanggung jawab. Orang lain akan kecewa bila anggapannya tidak sesuai kenyataan yang diharapkan.

“Misalnya, sebanyak berapa followers-nya itu bisa direlasikan dengan seberapa banyak ia punya duit dan populernya. Oleh karena itu, dia membuat berbagai kegiatan untuk menarik banyak follower,” ucapnya.

Sementara itu, dosen antropologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Zamzam Fauzanafi menjelaskan, selebritas dan warganet memang sedang hidup dalam ‘masyarakat tontonan’ atau society of spectacle. Media sosial menyebabkan masyarakat tontonan semakin memiliki kemampuan untuk menyebar (pervasif).

Menurutnya, saat ini masyarakat sadar atau tidak sadar sedang memediasi dan mempertontonkan dirinya untuk menjalin relasi sosial-ekonomi dengan pihak atau orang lain sesuai kepentingan masing-masing. Setiap orang menjadi ‘performer’ dalam menunjukkan sisi yang diidealkan oleh dirinya dan ‘penontonnya’ - orang yang dibayangkan akan melihat apa yang dia tampilkannya.

“Ini tidak bisa disederhanakan sebagai semata-mata 'identitas palsu', tetapi sebagai upaya untuk 'menampilkan' diri yang dianggap 'ideal' itu,” ujar penulis buku Melampaui Penglihatan; Kumpulan Esai Antropologi Visual tentang Media (Audio) Visual, Seni, dan Penonton (2012) ini, saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Koentjoro menegaskan, perbedaan kepribadian seseorang di media sosial dan di dunia nyata belum tentu bisa disebut kepribadian ganda. Kepribadian berasal dari bahasa Inggris, personality atau personal atau persona yang berarti topeng teatrikal. “Ketika di media sosial atau kenyataan berbeda itu hal biasa saja karena topeng berbeda bisa dipakai menyesuaikan tempatnya,” ucapnya.

Elijas Aboujaude dalam buku Virtuality You; The Dangerous Powers of the E-Personality (2011) memperkenalkan istilah e-personality untuk menjelaskan terkait perbedaan sifat manusia di dunia nyata dan dunia maya. E-personality kemungkinan besar bisa mengarah ke gangguan mental yang disebabkan kekecewaan, obsesi, kebingungan, trauma, kemarahan, serta kekecewaan, yang terpendam dan terus menumpuk.

Lalu, warganet menumpahkannya ke media sosial dengan rupa kepribadian yang berbeda. Terputusnya dengan kepribadian asli, dalam kasus e-personality ini bisa membuka kemungkinan skizofrenia bila tidak diiringi pola pikir dan tindakan rasional.

Elijas menulis, dalam banyak kasus, e-personality bisa menyebabkan orang lain mulai mempercayai kesalahan representasi atau proses yang mana sebuah objek ditangkap indra seseorang. Betapa unik, populer, dan menariknya selebritas atau warganet di media sosial mendorong munculnya harapan untuk dikagumi dan keinginan bergaul dengan hanya orang-orang yang juga dianggap mengagumkan.

“Ini adalah salah satu cara kehidupan virtual dapat mendorong kecenderungan narsistik pada orang,” tulis Elijas.

Ilustrasi masyarakat kerap meniru tingkah selebritas untuk tampil di media sosial pribadinya. / Pixabay

Demi cuan

Bagi selebritas, kata Zamzam, apa yang ditampilkannya bertujuan untuk menarik perhatian fans dan haters-nya. Sebab, terpenting adalah mereka mau melihat atau mengeklik suguhannya di media sosial agar menambah nilai eksebisi (exhibition value). Di era digital ini, nilai eksebisi menjadi nyata karena adanya sistem sistem-algoritma yang disebut pay/bite atau click bite dan bisa ditukarkan dengan uang (demonetized).

Sementara bagi warganet, mereka ingin mencapai apa yang disebutnya sebagai ‘microselebritas’. Mereka ingin mencuri perhatian orang yang dibayangkannya olehnya akan melihat tampilan sosok atau identitasnya yang ideal. “Misalnya, ngopi di Starbucks (padahal biasanya di kedai kopi pinggir jalan) atau ganteng atau cantik ketika tampil di Instagram atau Tiktok dengan ‘memodifikasi’ wajah menjadi ‘glowing' pake kamera jahat, aplikasi atau make-up,” ucapnya.

Zamzam menjelaskan, fenomena ini lebih erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Ia mengungkapkan, kecanggihan teknologi pada media sosial bisa merekonstruksi citra diri seseorang dengan sangat plastis. Artinya, citra diri bisa dibentuk sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang diidealkan. Walhasil, penonton mempersepsikan bahwa apa yang mereka lihat serba lebih, entah lebih baik, lebih buruk, atau lebih indah.

“Bukan semata-mata ‘palsu’. Respons penonton, saat ini, terpolarisasi menjadi dua ekstrem, fans atau pemuja dengan haters atau pembenci. Beberapa selebritas dan warganet biasa terlihat sadar dengan kemungkinan respons suka dan benci ini. Tapi, sejauh tidak dianggap mengancam dan mengganggu keamanan. Haters bisa dikelola, sekali lagi, sebagai keuntungan juga karena toh mereka tetap menonton tayangan atau mengeklik foto atau comments,” tuturnya.

Ia menilai fenomena pamer di media sosial ini sangat erat kaitannya dengan budaya konsumsi yang dipicu kapitalisme lanjut – yang menekankan aspek konsumsi sebagai pendorong utama. Budaya konsumsi ini mempengaruhi orang dalam membentuk citra diri melalui yang merek yang dikonsumsinya, terkait pakaian, makanan, minuman, kendaraan, dandanan, tontonan, hingga rumah.

“Media sosial kemudian menjadi outlet utama untuk menampilkan atau memamerkan apa yang dikonsumsi, sekaligus menarik perhatian penonton atau follower untuk ikut mengkonsumsi. Misal dalam kasus endorsement,” ujar Zamzam.

Infografik artis-artis pengumbar sensasi di media sosial. Alinea.id/Hadi Tama

Berita Lainnya
×
tekid