Sering makan daging ayam berisiko terkena kanker pencernaan
Daging ayam punya banyak manfaat. Sumber protein ini bisa diolah menjadi berbagai macam hidangan. Selain itu, harganya relatif terjangkau bagi banyak orang.
“Daging ayam adalah sumber protein berkualitas tinggi yang mengandung semua asam amino esensial, unsur penting yang dibutuhkan tubuh untuk membentuk protein,” ujar pengembang resep di Cheerful Choices, Mackenzie Burgess kepada Eating Well.
Menurut Burgess, protein memiliki beragam fungsi penting dalam tubuh, termasuk produksi hormon, sel imun, serta peningkatan pertumbuhan otot. Daging ayam pun bisa membantu mencapai target protein harian, mendukung metabolisme yang sehat, serta membantu mencapai tujuan penurunan berat badan.
Namun, Burgess mengingatkan, meski ayam bisa menjadi sumber protein dan mudah dimasak, jika pola makan tak punya asupan protein beragam, maka seseorang bakal kehilangan beberapa nutrisi penting, termasuk lemak esensial seperti omega-3.
Di samping itu, penelitian yang diterbitkan jurnal Nutrients pada April 2025 oleh para peneliti asal Italia menemukan dampak mengonsumsi unggas, termasuk ayam, berlebihan punya dampak yang lebih berbahaya. Mereka menemukan, makan lebih dari 300 gram (10,5 ons)—atau empat porsi—daging unggas per minggu bisa berakibat risiko kematian karena semua penyebab sebesar 27%.
Hasil studi ini sebagian besar bertentangan dengan penelitian sebelumnya. Daging unggas umumnya dianggap sebagai sumber protein sehat dan menjadi pilar dari pola makan sehat.
Para peneliti dari National Institute of Gastoenterology di Italia menghimpun data tentang pola makan 4.869 orang dewasa di Castellana Grotte dan Putignano, Italia, dan melacak kesehatan para peserta selama 19 tahun. Termasuk tinggi badan, berat badan, dan tekanan darah peserta dicatat, serta informasi tentang kebiasaan makan mereka.
Lewat wawancara, peserta memberikan informasi tentang latar belakang demografi, kondisi kesehatan umum, kebiasaan gaya hidup, dan riwayat medis. Mereka diminta untuk melaporkan jumlah daging unggas, daging merah, dan total daging yang mereka konsumsi. Data ini lalu diurutkan ke dalam empat tingkat asupan protein.
Hasilnya, dari 1.028 peserta yang meninggal selama penelitian, daging putih yang berasal dari kelinci dan unggas, menyumbang sekitar 41% dari asupan daging mingguan mereka. Sedangkan unggas mencakup 29% dari total asupan daging.
Mereka yang memakan lebih dari 300 gram unggas per minggu punya kemungkinan 2,27 kali lebih besar meninggal akibat kanker pencernaan dibandingkan mereka yang mengonsumsi kurang dari 100 gram.
Menariknya, para peneliti menemukan, risiko meningkat seiring bertambahnya porsi daging putih, dan lebih tinggi dibandingkan dengan mengonsumsi daging merah. Pria yang memakan lebih dari 300 gram daging unggas per minggu memiliki kemungkinan 2,6% lebih besar meninggal akibat kanker pencernaan.
“Hasil penelitian kami menunjukkan, pria memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan perempuan untuk meninggal akibat kanker gastrointestinal pada proporsi unggas yang sama yang dimakan,” kata para peneliti, dikutip dari New York Post.
Para peneliti menduga, perbedaan hormon seksual—terutama estrogen pada perempuan—dapat memengaruhi kemampuan tubuh untuk memetabolisme nutrisi dan mengembangkan penyakit tertentu.
Apa penyebabnya?
Para peneliti mengakui, belum jelas alasan mengapa memakan daging putih meningkatkan risiko kanker. Namun, mereka percaya, risiko itu sebagian disebabkan karena memasak ayam terlalu matang.
Menurut mereka, pembakaran daging dada ayam dapat menghasilkan mutagen tingkat tinggi, zat yang menyebabkan mutasi genetik. Selain itu, produksi dan pengolahan ayam secara industri juga bisa meningkatkan risiko kanker.
Penggunaan pestisida pada pakan, serta obat-obatan atau hormon yang diberikan pada ayam, dapat pula meninggalkan residu beracun dalam daging. Residu ini yang berpotensi membuat orang terpapar zat karsinogen.
Para peneliti mengakui keterbatasan dalam penelitian mereka. Kuesioner yang digunakan tidak merinci jenis potongan daging ayam, metode memasaknya, dan sejauh mana daging tersebut diproses. Padahal, semua itu dapat sangat memengaruhi dampak kesehatan.
Studi ini cukup kontroversial. Menurut ahli gizi yang tak terlibat dalam penelitian, Michelle Routhenstein, unggas umumnya dianggap sebagai pilihan protein yang lebih sehat daripada daging merah.
“Unggas memiliki lemak jenuh lebih rendah dan menghasilkan lebih sedikit TMAO (Trimethylamine N-oxide, senyawa kimia yang diproduksi di usus), yang dikaitkan dengan kekakuan arteri dan peningkatan risiko kanker,” ujar Routhenstein kepada Healthline.
“Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengonfirmasi studi ini dan mengeksplorasi mekanisme yang mendasarinya sebelum merevisi pedoman diet.”
Routhenstein melanjutkan, studi ini tidak membuktikan hubungan sebab-akibat. Sebagai contoh, penelitian tersebut tidak mencatat sumber unggas yang dikonsumsi. Walau begitu, dia mengakui, penggunaan antibiotik dan hormon dalam beberapa praktik peternakan unggas menimbulkan potensi masalah kesehatan jangka panjang.
“Studi juga harus meneliti mekanisme biologis dari konsumsi unggas, seperti peran metode memasak tertentu, cara pengolahan daging, dan pola diet (misalnya asupan serat),” kata Routhenstein.
Durasi dan suhu memasak ayam juga dapat memengaruhi kesehatan. “Sudah ada hipotesis kalau memasak unggas dapat menghasilkan pelepasan bahan kimia mutagenik atau karsinogenik,” ujar ahli onkologi bedan sekaligus Direktur Gastrointestinal and Hepatobiliary Program di Providence Saint John’s Cancer Institute, Anton Bilchik kepada Healthline.
Bilchik menekankan, meski hal ini masih sebatas hipotesis, tidak bisa dimungkiri kalau ada banyak cara mengolah daging unggas, dan masing-masing metode dapat memengaruhi komposisi kimianya.
Menurut Routhenstein, metode memasak dengan suhu tinggi, seperti memanggang atau menggoreng, dapat menghasilkan senyawa berbahaya yang dikaitkan dengna risiko kanker.
Meski begitu, bukan berarti seseorang harus meninggalkan memakan daging unggas, termasuk ayam. Routhenstein menyarankan agar lebih fokus pada kualitas pola makan secara keseluruhan. Hal ini mencakup, memperhatikan ukuran porsi, memilih makanan pendamping yang tepat saat menyantap ayam, serta menghindari konsumsi berlebihan.
Ukuran porsi yang sehat, menurut Routhenstein, sekitar 200 gram (7 ons) per minggu untuk unggas tanpa lemak dan yang tidak diproses. Dia juga merekomendasikan penggunaan metode memasak yang lebih sehat, seperti memanggang, mengukus, atau merebus tanpa menambahkan terlalu banyak lemak.
“Cara ini dapat membantu meminimalkan potensi risiko kesehatan,” ucap Routhenstein kepada Healthline.


