close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gubernur Jawa Barat (Dedi Mulyadi) berbincang dengan anak-anak bermasalah yang tengah mengenyam pendidikan karakter di salah satu barak militer. /Foto Instagram @dedimulyadi71
icon caption
Gubernur Jawa Barat (Dedi Mulyadi) berbincang dengan anak-anak bermasalah yang tengah mengenyam pendidikan karakter di salah satu barak militer. /Foto Instagram @dedimulyadi71
Sosial dan Gaya Hidup - Pendidikan
Selasa, 06 Mei 2025 18:00

Sisi negatif mendidik remaja "nakal" di barak militer

Apakah remaja setelah dididik di kamp militer bakal menjadi patuh?
swipe

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mewujudkan gagasannya mengirim anak-anak “bermasalah” ke barak militer pada awal Mei 2025. Siswa bandel yang dikirim ke barak militer itu misalnya yang kecanduan gim daring, merokok, mengonsumsi alkohol, seks bebas, hingga tawuran. Ada dua tempat yang disiapkan, yakni di Lapangan Kujang Rindam III/Siliwangi, Bandung dan Markas Resimen Artileri Medan 1 Kostrad di Purwakarta.

Kebijakan Dedi itu, seakan diikuti daerah lainnya. Di Cianjur, mulai Selasa (6/5), siswa SMP yang dianggap bermasalah dikirim ke barak militer. Di Singkawang, Kalimantan Barat, pemkot melakukan pembekalan bela negara bagi para pelaku balap liar. Sedangkan di Bengkulu, anak nakal bakal digembleng TNI-Polri.

Kebijakan siswa bermasalah yang dikirim ke kamp militer, juga berlaku di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, China, Korea Selatan, dan Selandia Baru.

Dikutip dari Jakarta Globe, Dedi mengatakan, gagasannya tentang program disiplin ala militer terinspirasi dengan model reformasi pemuda di China. South China Morning Post menulis, menurut Federasi Pemuda Hong Kong di daratan China, pendidikan dan rehabilitasi untuk anak-anak bermasalah diwajibkan di sekolah koreksi khusus.

Pendekatan ini bertujuan mengatasi masalah mendasar, seperti dinamika keluarga dan lingkungan sekolah. Seseorang berusia 13 hingga 28 tahun yang melakukan pelanggaran ringan dapat ditempatkan di sekolah reformasi atau sekolah kerja-belajar, yang berfokus pada pendidikan dan pelatihan kejuruan. Beberapa orang tua di China juga mendaftarkan anak-anak mereka di kamp yang menekankan pengembangan karakter dan memberikan pelatihan militer.

Di Selandia Baru, pertengahan tahun lalu pemerintahnya meluncurkan program pengiriman remaja bermasalah ke kamp pelatihan militer. Program ini berada di bawah Oranga Tamariki atau kementerian anak.

“Program ini akan memiliki komponen bergaya militer serta pendekatan perawatan rehabilitatif dan berbasis trauma untuk membantu para remaja ini mengubah hidup mereka dan mengurangi risiko melakukan tindak pidana,” kata Menteri Anak Selandia Baru, Karen Chhour, dikutip dari 1 News.

Padahal, Pemerintah Selandia Baru pernah gagal terhadap program tersebut. Sebelumnya, Selandia Baru memperkenalkan kamp pelatihan bagi para pelaku kejahatan muda pada 2008. Namun, sebuah analisis menemukan, 85% hingga 87% dari mereka yang ikut program tersebut kembali mengulangi kejahatannya dalam waktu dua tahun.

“Saya terkejut ide ini muncul lagi setelah beberapa generasi upaya itu gagal,” ujar pengacara Amanda Hill, dikutip dari 1 News.

Para peneliti dari Universitas Victoria Wellington, yakni Simon Davies, Clare-Ann Fortune, Karen Salmon, dan Linda Fatialofa, dalam The Conversation menulis, setidaknya ada tiga kemungkinan mengapa kamp pelatihan ala militer diterapkan. Pertama, kamp pelatihan menarik bagi politisi yang ingin terlihat tegas terhadap kejahatan sekaligus menyatakan mereka mendukung opsi rehabilitasi.

Kedua, kamp pelatihan tampak masuk akal secara intuitif karena banyak orang percaya struktur dan disiplin militer dapat mengubah hidup remaja, dan keyakinan ini lebih kuat daripada bukti yang bertentangan.

Ketiga, kamp pelatihan dapat mengambil berbagai bentuk, sehingga bukti ketidakefektifannya bisa dihindari dengan mengklaim akan ada perbaikan.

Para peneliti menulis, masalah utama dengan asumsi remaja yang melakukan pelanggaran serius hanya butuh “disiplin” adalah mereka sering kali telah mengalami lebih banyak—dan lebih parah—disiplin daripada kebanyakan orang.

“Kita juga bisa menyebut ini sebagai ‘kekerasan’,” tulis para peneliti.

Penelitian menunjukkan, dampak penganiayaan dan trauma masa kanak-kanak bisa menyebabkan efek besar dalam perkembangannya. Anak-anak jadi cenderung punya pemahaman yang buruk tentang emosi, nilai diri yang rendah, masalah dalam membentuk hubungan yang sehat, dan kewaspadaan berlebihan terhadap ancaman yang dirasakan.

“Ketika remaja dengan kondisi demikian dikenakan disiplin keras di kamp pelatihan, mereka cenderung mengaitkan perlakuan tersebut dengan kerusakan fisik serius yang mereka alami di masa lalu, yang menyebabkan kecemasan dan stres lebih lanjut,” ujar pada peneliti.

“Tanpa cara yang sehat untuk mengelola emosi tersebut, perilaku yang lebih mengganggu, termasuk agresi, kemungkinan besar terjadi.”

Selain itu, dikutip dari Teen Boot Camps, kamp pelatihan menggunakan metode ala militer yang melibatkan prinsip pengajaran dan disiplin otoriter yang justru bakal membuat remaja lebih pemarah, lebih bingung, dan lebih menantang. Maka, kamp pelatihan tidak mengubah remaja bermasalah menjadi “prajurit yang patuh” seperti yang orang tua bayangkan.

“Faktanya, menurut penelitian dan laporan investigasi tentang kamp pelatihan remaja, kamp itu justru melakukan hal yang sebaliknya,” tulis Teen Boot Camps.

Alih-alih menerapkan terapi berbasis bukti untuk mengatasi masalah perilaku, seperti attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), kecemasan, gangguan perilaku atau pemberontakan oposisional, dan depresi berat, operator kamp menggunakan taktik menakut-nakuti dan hukuman untuk memaksa remaja melakukan apa yang diperintahkan.

“Pemimpin kamp akan meneriakkan ancaman kepada remaja, memaksa mereka melakuka ratusan push-up, atau bahkan memerintahkan remaja yang lebih tua untuk mengejek remaja yang lebih muda,” tulis Teen Boot Camps.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (kanan, duduk) tengah berbicara dengan salah seorang siswa di sebuah barak militer./Foto Instagram @dedimulyadi71

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan