sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tradisi Halalbihalal dahulu dan sekarang

Halalbihalal untuk mempererat tali silahtuhraminya dan memperkuat Ukhwah Wathoniahnya atau ikatan kebangsaan.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 14 Jun 2018 12:30 WIB
Tradisi Halalbihalal dahulu dan sekarang

Lebaran datang dalam hitungan jam, tentunya momen hari besar ini pun sangat identik dengan tradisi Halalbihalal yang dahulu kerap dimanfaatkan oleh umat Islam Indonesia. Halalbihalal untuk mempererat tali silahtuhraminya dan memperkuat Ukhwah Wathoniahnya atau ikatan kebangsaan.

Tradisi Halalbihalal atau yang beken disebut dengan open hause ini memang terbilang sesuatu yang unik. Pasalnya tradisi perkara muamallah (sosial) ini, hanya ada dan lahir di Indonesia, sedari masa para wali bersiyar di tanah Jawa.

Menurut sosiolog legendaris Universitas Gadjah Mada, (alm) Umar Khayam, tradisi Halalbihalalal atau yang dulu dikenal dengan sungkeman ini, merupakan hasil dari alkulturasi budaya Jawa dan Islam. Tradisi dahulu tersebut berhasil dipadukan oleh para wali demi tercapainya kerukunan beragama di Tanah Jawa. 

Namun versi lain juga ada yang mengatakan bahwa tradisi Halalbihalal merupakan kepanjangan dari tradisi mataraman yang dulu digagas oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyowo, yang kala itu memimpin Kesunanan Surakarta pada tahun 1770-an. 

Awalnya setelah melakukan shlat ied Pangeran Sambernyawa dikisahkan mengumpulkan para bala tentaranya untuk melakukan tradisi sungkeman kepada Sang Raja dan Permaisurinya. Hal itu bertujuan agar tak menguras biaya dan tenaga yang besar dalam praktik feodalisme tersebut. 

Walhasil sejak saat itu, kunjungan terhadap orang yang lebih tua atau pun yang berkedudukan lebih tinggi saat lebaran menjadi kebiasaan tersendiri bagi masyarakat Jawa. Hal serupa namun tak sama juga kembali terjadi pada masa revolusi fisik tepatnya pada tahun 1948. 

Kala itu Indonesia sedang mengalami problema disintegrasi bangsa yang sebab musababnya berawal dari adanya pertikaian antar elite politik dalam menghadapi agresi Belanda. Plus, gerakan spratis, pertengkaran, berseberangan maupun sentimen antar kubu merupakan potret yang menghiasi politik Indonsesia saat itu.

Melihat keadaan yang semakin pelik tersebut, Soekarno selaku Presiden memanggil KH. Abdul Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk meminta sarannya dalam mengatasi suasana yang semakin memanas tersebut. Sesampainya di Istana Negara dan bertemu dengan Presiden Soekarno, Kyai yang sudah tak asing dikalangan kaum Nahdlyin ini langsung menyarankan kepada Soekarno untuk mengadakan silahtuhrahmi antar elite politik saat Hari Raya Lebaran tiba.

Sponsored

“Jadi para elite tidak mau bersatu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu dosa, dan haram hukumnya. Supaya mereka tidak punya dosa maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan dan saling menghalalkan. Sehingga silahtuhrahmi nanti kita pake istilah “Halalbihalal”,” papar Kyai Wahab dilansir dari nusakini.com.

Atas saran KH. Wahab Chasbullah tersebut, kemudian Bung Karno mengundang semua tokoh dan elite politik ke Istana Negara untuk melakukan silahtuhrami saat Hari Raya Lebaran kala itu.

Hasilnya, mereka yang tadinya manaruh curiga satu sama lain dapat dipersatukan kembali. Sehingga konsolidasi kebangsaan pun tercipta seiring adanya ancaman yang mendesak dari Belanda maaupun gerakan sparatis.

Sejak saat itulah tradisi Halalbihalal kembali digelorakan oleh bangsa Indonesia sebagai bentuk semangat kebersamaan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa dan negara. Seperti halnya yang dikatakan oleh antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz yang mengatakan, bahwa Hari Raya Lebaran di Indonesia adalah potret ritual nasionalis yang sengat serat dengan kesatuan budaya.

Nampaknya, apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo dan Sejarawan lainnya benar adanya. Sejarah akan selalu berulang.

Pasalnya, dinamika dan pola-pola sejenisnya kerap muncul kembali di era yang berbeda dengan manusia yang berbeda pula. Tradisi Halalbihalal dengan segala pernak perniknya telah menjadi satu kesatuan budaya bagi umat Islam di Indonesia, yang terbukti mampu mempersatukan ikatan kebangsaan ditengah-tengah masyarakat yang beragam.

Lalu yang menjadi pertanyaan akankah tradisi Halalbihalal ini dipakai kembali oleh para elite politik yang kini sedang berseberangan?

Mari, kita tunggu.. 

Berita Lainnya
×
tekid